Senin, 21 September 2009

PELAYANAN TERPADU DAN BERKELANJUTAN TERHADAP PENYANDANG CACAT (ANAK)

Machdar Somadisastra *)

Keinginan dan Pemikiran

Anak adalah amanah dari Tuhan Yang Maha Pencipta, baik bagi orang tua, dewasa lainnya, masyarakat, bangsa maupun negara. Anak ada yang ditakdirkan dalam keadaan tidak cacat dan ada pula yang ditakdirkan dalam keadaan cacat, baik cacat fisik, mental maupun cacat fisik dan mental atau cacat ganda.

Sebagian orang tua, masyarakat dan negara telah mengerti akan amanah ini khususnya terhadap penyandang cacat anak. Sejak berdirinya Republik ini sudah ditegaskan tujuannya baik dalam pembukaan maupun dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan kesejahteraan umum, sudah barang tentu tentu termasuk untuk anak-anak. Kemudian secara khusus dikeluarkan pula berbagai perundangan dan sebagian dengan peraturan pemerintahnya, seperti Undang-Undang Kependudukan, Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Peradilan Anak, Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat berikut Peraturan Pemerintah No 43 tahun 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.

Undang-Undang No 4 tahun 1997 selain mengutarakan berbagai kewajiban, juga mengatur tentang berbagai hak penyandnag cacat termasuk cacat (anak). Beberapa pasal yang perlu diutarakan di sini diantaranya pasal 6 berbunyi:
Setiap penyandang cacat berhak memperoleh:
1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan;
2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya;
3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya;
4. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya;
5. Rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial dan;
6. Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Khusus pasal 6 ayat 6 dijelaskan dalam Undang-Undang ini bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar penyandang cacat anak memperoleh:
a. Hak untuk hidup menjalani separuhnya kehidupan kanak-kanak dalam suatu keadaan yang memungkinkan dirinya meningkatkan martabat dan kepercayaan diri, serta mampu berperan aktif dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat
b. Hak untuk mendapat perlakuan dan pelayanan secara wajar baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.
c. Hak untuk sedini mungkin mendapatkan akses pendidikan, latihan ketrampilan, perawatan kesehatan, rehabilitasi dan rekreasi sehingga mampu mandiri dan menyat dalam masyarakat.

Kesemua itu merupakan keharusan atau keinginan. Realisasi dari keinginan itu masih jauh dari harapan. Masih ada celah antara keinginan dan kenyataan.

Kenyataan sekarang dan masalahnya

Sejak pemerintah kolonial hingga Pemerintah Republik sekarang sudah ada usaha pelayanan terhadap penyandang cacat anak baik pelayanan kesehatan, pelayanan sosial maupun pelayanan pendidikan. Oleh karena berbagai keterbatasan pelayanan itu, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun pelayanan yang dilaksanakan oleh masyarakat termasuk keluarga, masih jauh dari harapan. Masih banyak ditemukan masalah-masalah yang merupakan indikator masih lemahnya pelayanan terhadap penyandang cacat anak.

Hingga kini masih cukup banyak keluarga yang menyembunyikan anaknya yang cacat dalam rumahnya, tidak disosialisasikan dengan anak-anak lainnya dalam komunitasnya. Tidak dikeluarkannya anak cacat dari rumah karena dianggap aib keluarga, malu dengan keluarga lain. Dikurungnya anak di dalam rumah merupakan masalah pertama dan utama dari penyandang cacat anak. Masalah ini merupakan hambatan utama proses sosialisasi anak.
Mungkin karena ketidaktahuan, keterbatasan dan atau fasilitas atau mungkin juga karena kelalaian, masih cukup banyak keluarga yang tidak membawa anak balitanya ke posyandu / puskesmas untuk mendapat pelayanan Deteksi Dini Kelainan Tumbuh Kembang Anak. Akibat dari itu banyak orang tua tidak dapat cepat mengenali cacat tidaknya anak. Berdasarkan Deteksi Dini Kelainan Tumbuh Kemabng Anak dapat diketahui apakah anak itu cacat atau tidak.

Pelayanan pendidikan terhadap anak tidak cacat meliputi Taman Kanan-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP), Sekolah Menengah Umum (SMU) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan selanjutnya ada yang masuk perguruan tinggi. Sedang anak cacat dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok, yaitu mampu didik, mampu latih dan mampu rawat. Anak mampu rawat tidak dapat dididik dan dilatih, mereka dimasukan ke Panti Rawat Anak. Yayasan Bhakti Luhur di Kota Malang merupakan perintis yang telah menyelenggarakan Panti Rawat Anak yang memadai. Sebagian besar kota dan kabupaten di Jawa Timur belum memiliki Panti Rawat Anak, padahal anak mampu rawat mungkin cukup besar di wilayah-wilayah itu. Anak mampu didik dan anak mampu latih masuk sekolah khusus yang disebut Sekolah Luar Biasa (SLB). Ada SLB untuk tuna netra, tuna rungu wicara dan SLB untuk tuna grahita. Jenjangnya mulai TKLB, SDLB, SLTPLB dan SMLB. Untuk perguruan tinggi tidak ada khusus. Apakah lulusan SMLB yang mampu masuk ke perguruan tinggi dapat dilayani oleh perguruan tinggi yang ada? Semoga.

Ada beberapa masalah berkaitan dengan penyelenggaraan SLB sekarang ini. Masalah pertama terpencarnya tempat tinggal anak cacat menyebabkan jauh dan mahalnya ongkos transportasi anak dari rumah ke sekolahnya. Hambatan ini dialami oleh banyak anak cacat hingga dapat menyebabkan anak cacat tidak sekolah sama sekali atau putus sekolah. Masalah kedua, lulusan SLB khususnya SLTP dan SMLB sebagian besar kualitas ketrampilannya rendah, tidak memadai hidup mandiri maupun untuk bekerja. Latihan ketrampilan yang lebih memadai mungkin yang diselenggarakan oleh Panti Rehabilitasi Sosial (PRS) untuk bina daksa di Bangil, untuk tuna netra di Panti Budi Mulia Malang dan lain-lain. Hubungan fungsional antara PRS-PRS dengan SLB-SLB mungkin belum efektif. Masalah ketiga, sebagian besar lulusan SLTPLB dan SMLB belum pernah memperoleh kesempatan mengikuti program latihan kerja. Masalah keempat, oleh karena berbagai alasan seperti rendahnya kualitas lulusan, sempitnya lapangan kerja yang tersedia terutama di sektor formal dan belum terbukanya sikap industri untuk menerima penyandang cacat sebagai tenaga kerja, menyebabkan sangat kecilnya jumlah tenaga kerja penyandang cacat yang dapat dislaurkan. Sedang masalah kelima adalah terpisahnya lembaga pendidikan ana cacat dengan anak tidak cacat merupakan praktik yang menyebabkan diferensiasi sosial yang tidak manusiawi.

Pelayanan terpadu dan berkelanjutan

Merujuk kepada permasalahan dan keinginan yang merupakan dasar yuridis dan dasar pemikiran di muka maka pelayanan Sekolah Luar Biasa selayaknya tidak berdiri sendiri, akan tetapi merupakan bagian integral dari pelayanan terhadap anak sebagai suatu sistem, mulai dari anak dalam keluarga, dalam kelompok sebaya (Play Group, Pendidikan Dini Usia, Taman Kanak-Kanak) anak dalam sekolah (SD, SLTP, SMU) sampai anak dalam latihan kerja akan masuk latihan kerja.

Kegiatan pelayanan terpadu dan berkelanjutan meliputi:

Kegiatan pertama yang perlu dilaksanakan adalah intensifikasi penyuluhan masyarakat yang ditujukan kepada keluarga-keluarga yang masih menyembunyikan anaknya yang cacat sehingga membolehkan anaknya bergaul dengan anak lainnya. Di samping itu khususnya kepada keluarga balita untuk melaksankan deteksi dini kelainan tumbuh kembang anak balita. Sudah barang tentu posyandu dan puskesmas harus sudah sedia untuk melayaninya.

Kegiatan kedua, semua keluarga melaksanakan deteksi dini kelainan tumbuh kembang anak balita didampingi dan di bawah pengawsan Kader Kesehatan, Poliklinik, Rumah Sakit. Instrumen deteksi dini terdiri dari kartu resiko keluarga, pengukuran lingkar kepala anak, kuesioner pra scoring perkembangan, kuesioner perilaku anak usia pra sekolah dan test penglihatan anak usia pra sekolah. Hasil dari kegiatan kedua ini dapat dikenali anak tidak cacat dan anak cacat.

Kegiatan ketiga, pemeriksaan kemampuan anak cacat yang dilaksanakn oleh dokter, psikolog, sarjana pendidikan Luar Biasa kerjasama Dinas kesehatan dan Dinas Pendidikan serta sekolah-sekolah luar biasa yang ada. Hasil pemeriksaan ini dapat mengetahui anak cacat mampu didik, mampu latih dan mampu rawat.
Kegiatan keempat pembukaan dan pelayanan Panti Rawat Anak Cacat pada Rumah Sakit di setiap kabupaten / kota.

Kegiatan kelima, setahap demi setahap melaksanakan rintisan pendidikan integrasi atau pendidikan inklusi, dimana anak cacat dilayani pendidikannya oleh sekolah biasa. Di sekolah biasa tersebut guru-guru yang melayani pendidikan khusus untuk anak cacat. Kegiatan kelima merupakan solusi terhadap masalah SLB sekarang ini.

Kegiatan keenam, peningkatan kualitas latihan ketrampilan anak cacat dan menghantarkan anak pada latihan kerja. Kegiatan ketujuh, negosiasi dengan perusahaan-perusahaan dan badan usaha lainnya untuk dapat menerima tenaga kerja penyandang cacat lulusan SLTPLB dan SMLB sesuai dengan Undang-Undang No 4 tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah No 43 tahun 1998.

Kepedulian, perhatian dan pelayanan terhadap penyandang cacat tidak dapat timbul dengan sendirinya tanpa pertemuan, tanpa komunikasi, tanpa pergaulan yang terus-menerus dengan penyandnag cacat. Oleh karena itu berikan akses kepada mereka sehingga terjadi proses integrasi sosial antara penyandang cacat dengan yang tidak cacat.


the laterrs

Peran Pendidikan Inklusi Bagi Anak Berkelainan

Written by Hatta Harris Rahman

Oleh Drs Sukadari SE MM

Edisi 142

PENGERTIAN tentang Pendidikan Inklusi belum banyak disosialisasikan apalagi tentang bentuk Pelaksanaan dan Sistem Pendidikan tersebut, karena merupakan hal baru. Pendidikan Inklusi sebenarnya merupakan model Penyelenggaraan Program Pendidikan bagi anak berkelainan atau cacat dimana penyelenggaraannya dipadukan bersama anak normal dan tempatnya di sekolah umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga bersangkautan. Latar belakang mucnulnya pendidikan inklusi ini karena terbatasnya Sekolah luar Biasa (SLB) atau Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) yang masih sangat terbatas jumlahnya dan sebatas tempat tertentu yaitu baru di tingkat Kecamatan, itupun milik swasta, sementara yang SLB Negeri berada di tingkat Kabupaten.

Sementara menurut data Penyandang Cacar dari Direktorat PLB baru sekitar 5 % yang bersekolah. Hal ini terjadi karena lokasi SLB dan SDLB yang sulit dijankau karena terbatasnya jumlah sekolah yang ada.Oleh karena itu Pemerinntah mengambil kebijakan untuk menyelenggarakan Pendidikan Inklusi dengan tujuan memberikan kesempatan bagi anak untuk menngembangkan kemampuan yang dimiliki seoptimal mungkin.

Tidak kalah pentinganya adalah untuk memudahkan layanan pendidikan anak cacat yan keberadaannya menyebar di berbagai daerah pedesaaan atau pelosok yang tidak berkesempatan sekolah di SLB. Memberi kesempatan kepada anak cacat untuk berintegarasi dengan anak normal baik d dalam mengikuti pendidikan maupun adaptasi dengan lingkungannya sangat diperlukan, karena dasar dari pelaksanaan Pendidikan Inklusi sangat jelas yaitu UUD 1945, UU No. 29 Tahun 2003, juga dijelaskan pada UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacar, PP No. 72 Tahun 1991 tentang PLB dan SE Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003.

Dalam menangani anak berkelainan diperlukan keahlian tersendiri karena tidak semua aktivitas di sekolajh namun dapat diikuti oleh anak cacat, missal anak cacat netra tak mampu mengikuti pelajaran menggambar atau olah raga begitu pula anak tuna rungu sulit mengikuti pelajaran seni suara dan cacat yang lain perlu penanganan khusus karena keterbatasannya. Maka sangat diperlukan guru pembimbing khusus yang mampu memehami sekaligus menangani keberadaan anak cacat termasuk di dalamnya memahami karakter dari masing-masing jenis kecacatannya.

Di samping membutuhkan guru khusus, juga perlu membekali pengetahuan tentang karakter anak cacat terhadap guru umum, siswa yang normal maupun masyarakat sekitar dnegan harapan anak cacat tersbut dapat diperlalukan secara wajar.

Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi memang tidak sesederhana menyelenggarakan sekolah umum. Kenyataan di lapangan memerlukan sarana yang cukup, misalnya gedung sekolah dengan menyesuaikan kondisi anak. Peralatan pendidikan yang memadai, contoh bagi tuna netra perlu alat tulis Braille, tuna rungu perlu alat Bantu dengar, tuna daksa perlu kursi roda dan masih banyak lagi fasilitas yang harus disediakan dengan harapan anak cacat dapat berkembang kemampuannya secara optimal.

Mengingat mahalnya fasilitas yang harus disediakan maka sampai tahun 2005, di seluruh Indonesia baru ada 504 Sekolah Inklusi yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Sebenarnya cukup banyak sekolah regular yang mengajukan menjadi Sekolah Inklusi, yakni 1200 sekolah, sedang yang dilaksanakan baru 504 sekolah dan yang lain perlu dipelajari kesiapan karena konsekuensinya Pemerintah memebrikan subsidi Rp. 5 juta di setiap sekolah dan fasilitas lain sebagai penunjang kegiatan bagi anak yang cacat tersebut.

Keberadaan anak cacat (diffable) tak lepas dari peran serta tenaga ahli. APabila Pendidikan Inklusi benar-benar diselenggarakan secara ideal setiap sekolah harus ada, sebab tanpa pengawasan dan penanganan secara khusus dapat erakibat fatal. Suatu contoh : anak cerebral Palsy (jenis tuna dasa) perlu dokter syaraf, orthopedic dan psikolog, sebab anak seperti ini memerlukan ketenangan jiwa sehingga mampu menjaga kondisi yang prima. Belum lagi cacat yang lain.

Konsekuensi dari penyelenggaraan program ini harus embutuhkan biaya yang mahal, sehingga idealnya pemerintah mengambil peran agar benar-benar pendidikan ini dapat terlaksana dengan baik. Untuk menopang suksesnya penyelenggaraan Pendidikan Inklusi perlu kerjasama dengan semua pihak mengingat kemampuan Pemerintah untuk membantu masih sangat terbatas sementara anak cacat yang belum tertampung mengikuti pendidikan formal semakin banyak sehingga dapat menjadikan kendala suksesnya Wajar 9 Tahun.

Keterpaduan kerjasama sangat mendesak sehingga pemerintah tak perlu menunggu waktu lama dengan alasan dana pendidikan terbatas. Alokasi 20 % masih sangat jauh dan sebagainya. Namun, memfungsikan beberapa unsur terkait dapat mengalokasikan program ini. Apabila di sekolah-sekolah umum kekurangan guru khusus dapat mengangkat lulusan SGPLB dan S1 PLB atau mengoptimalkan guru-guru khusus di sekolah terpadu dengan system guru kunjung.

Tentang masalah tenaga ahli dapat kerjasama dengan puskesmas atau rumah sakit terdekat dengan cara menjalin kerjasama antara departemen atau institusi dengan diperluas adanya SKB (Surat keputasan Bersama) para pejabat pemerintah.

Pendidikan Inklusi dalam penyelenggaraannya memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pendidikan terpadu atau pendidikan khusus (segregasi) sehingga sangat tepat apabila pemerintah menyelenggarakan dan mengembangkan program ini.

Dengan diselenggarakannya pendidikan Inklusi bukan berarti SLB (Sekolah Luar Biasa), sekolah terpadu dan SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) ditutup, akan tetapi dijadikan mitra kerja yang baik dengan penyelenggaraan Sekolah Inklusi , bahkan kalau perlu dijadikan laboratorium sekolah dan nara sumber bagi guru0guru khusus yang mengajar di sekolah inklusi.

Munculnya sekolah inklusi karena memiliki beberapa keistimewaan antara lain : 1) keberadaan anak cacat diakui sejajar dengan anak normal; 2) lingkungan mengajarkan kebersamaan dan menghilangkan diskriminasi; 3) memberi kesan pada orang tua dan masyarakat bahwa anak cacat pun mampu seperti anak pada umumnya; 4) anak yang berkelainan akan belajar meerima dirinya sebagaimana adanya dan juga tidak menkadi asing lagi di lingkungannya; 5) aktivitas yang mungkin dapat diikuti anak cacat ada kesempatan untk berpartisipasi sehingga dapat menunjukkan kemampuannya di lingkungan anak normal; dan 6) membutuhkan pegangan diri yaitu dnegan belajar secara kompetitif, eksistensi anak caat akan teruji dalam persaingan secara sehat dengan anak pada umumnya.

Penyelenggaraan tersebut pada hakekatnya memebrikan kesempatan yang sama setiap peserta didik dalam mengikuti pendidikan denganSistem Persekolahan Reguler sesuai dengankebutuhan individunya tanpa membedakanlatar belakang agama, budaya, social, sekonomi maupun suku. Namun menngharap anak manusia yang berkualitas sekalipun cacat.

Sungguh merupakan harapan kita semua Program Penyelenggaraan Sekolah Inklusi ini dapat terlaksana dengan baik atas dasar kepedulian Pemerintah dan kepedulian kita bersama. ***

(Penulis adalah Dosen Negeri DPK pada STKIP Catur Sakti Yogyakarta,

Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan STKIP Catur Sakti Yogyakarta,

Mahasiswa S3 Prodi Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.)

http://www.madina-sk.com/index.php?option=com_content&task=view&id=812&Itemid=10

Baru 64.000 Anak Cacat Mendapat Pendidikan Khusus

Jakarta (ANTARA News) - Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi (YAB) Jakarta Ny RA Aryanto.

"Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu.

Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain.

"Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya.

Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembang dan memiliki keterampilan untuk mandiri.

Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.

Karena itu, dia menilai keliru jika ada masyarakat atau keluarga yang "malu" memiliki anak penyandang cacat, tapi perlu meberikan pelayanan yang sama dengan anak normal, seperti menyekolahkan ke SLB atau memberikan keterampilan tertentu.

Ny Aryanto menegaskan, YAB yang dipimpinnya bergerak menyelenggrakan pendidikan bagi anak tuna grahita di Jakarta yakni tanpa dikenakan biaya dari keluarga miskin, para anak tuna grahita mendapat pendidikan dan keterampilan, seperti menjahit dan pertukangan.

"Selain itu, anak tuna grahita dapat berprestasi bagus dalam olah raga, seperti dalam olimpide tuna grahita di Shanghai, Cina, 2007, tim Indonesia berhasil mendapatkan 9 medali emas dan 11 perak," katanya.

Pada HUT ke-50 YAB tersebut diisi lomba gerak jalan yang diikuti 300 anak tuna grahita dan 200 pembina, lomba olahraga futsal, pentas seni serta pameran hasil kerajinan anak tuna grahita se-Jakarta.(*)

http://www.antara.co.id/view/?i=1197779450&c=NAS&s=

Minggu, 20 September 2009

Pelayanan Pendidikan Di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (Y.P.A.C)

Dibawakan pada Workshop Pendidikan Kecacatan Regional Sumatera dan Jawa tahun 2009 di Bukittinggi.

Pendahuluan :

Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) didirikan pada 5 Februari 1953 di Surakarta atas prakarsa Prof. Dr. Soeharso. Waktu itu beliau adalah Direktur Rumah Sakit Orthopedi (RSO) yang merawat korban-korban Perang Kemerdekaan. Pada th 1953 terjadi wabah polio myletis yang menyebabkan banyak anak-anak penderita polio di bawa ke RSO.
Prof. Dr. Soeharso kemudian menyadari bahwa perawatan terhadap anak tidak sama dengan perawatan terhadap orang dewasa. Karenanya beliau mengajak isterinya, ibu Djohar Soeharso dan beberapa kawan isterinya untuk membentuk Yayasan, YPAC bagian D.
Pada saat ini, YPAC tersebar di 16 (enam belas) Daerah di seluruh Indonesia.

Pelayanan di YPAC :

Prof. Dr. Soeharso berpendapat, bahwa pembinaan / rehabilitasi terhadap anak cacat sebaiknya merupakan rehabilitasi terpadu di bawah satu atap (total care).
Rehabilitasi tersebut adalah :
Rehabilitasi pendidikan
Rehabilitasi medik
Rehabilitasi sosial
Rehabilitasi pra vokasional

Dalam Rehabilitasi Pendidikan : YPAC mendirikan sekolah-sekolah Luar Biasa bagian D (SLB-D) dari mulai Taman Kanak-kanak hingga SMA / SMU.

Di Rehabilitasi Medik selain memerlukan dokter, dr. gigi, psikolog dan psikater juga terapi fisik, hydraterapi (terapi air), terapi okupasional, terapi musik.

Di Rehabilitasi Sosial, anak-anak melaksanakan kegiatan Pramuka, kesenian, pengenalan terhadap kehidupan masyarakat seperti ke Kantor Pos, ke pasar, dsb, ada juga asrama / Panti, kunjungan ke rumah.

Dalam bidang Pra Vokasional diperkenalkan berbagai kerajinan, bercocok tanam, dsb. Masih disebut Pra vokasional karena masih anak-anak sampai dengan usia 18 tahun dan belum bisa dikategorikan sebagai vokasional yang sebenarnya.

Seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan situasi-kondisi masyarakat dimana polio jauh berkurang, sedangkan hal-hal lain muncul ; maka kini anak yang dibina di YPAC lebih banyak terdiri dari anak-anak penderita Cerebral Palsy (CP), anak autis dan anak-anak dengan kecacatan lain yaitu anak tuna rungu wicra (bagian B) anak tuna grahita (bagian C), yakni apabila didaerah tsb. belum ada yang menangani jenis kecacatan tsb.
Karena anak-anak CP selain terkena syaraf motoriknya, juga bisa disertai dengan gangguan pada kemampuan bicara, atau pada pendengaran, dan penglihatan ataupun intelegensianya, maka sebagian besar anak-anak CP merupakan anak-anak tuna ganda.

Dengan demikian jenis terapi yang diperlukan di YPAC makin bervariasi. Terapi wicara menjadi sangat penting.
Jelaslah, untuk mencapai tujuan YPAC agar anak bisa mandiri ( sesuai dengan potensi yang dimilikinya ) anak yang kualitas hidupnya baik, kami memerlukan SDM yang handal dan memadai jumlahnya.

Pelayanan Pendidikan di YPAC :

Sekalipun dapat dikatakan terdiri dari bermacam rehabilitasi yang harus dilaksanakan bersamaan, tak dapat dimungkiri bahwa rehabilitasi Pendidikan merupakan rehabilitasi yang pertama-tama di selenggarakan.

Tidak semua YPAC Daerah memiliki ke seluruhan rehabilitasi yang secara ideal harus ada, tetapi Pendidikan selalu ada. Faktor terpenting dari pelayanan Pendidikan adalah guru. Guru merupakan penopang utama dari keberhasilan pendidikan.

Untunglah YPAC mempunyai banyak guru lulusan pendidikan luar biasa (PLB) yang sebagian besarnya adalah PNS bantuan Departemen Pendidikan Nasional. Guru-guru PLB dengan sendirinya dibekali pengetahuan yang cukup mengenai kecacatan termasuk masalah psikiatri anak cacat. Kegiatan rehabilitasi sosial dan rehabilitasi pra vokasional bisa ditangani guru-guru ini, lebih-lebih kalau guru khusus untuk kegiatan itu belum ada.

Untuk mempertinggi mutu SDM ini, YPAC Nasional menyelenggarakan pelatihan-pelatihan bagi guru dan / atau terapis, dan semua yang terlibat dalam penanganan anak YPAC, bagi seluruh YPAC Daerah.
Pelatihan ini antara lain : pelatihan asisten terapi wicara (pesertanya hanya boleh melatih di YPAC) yang telah dilaksanakan 2 x, pengenalan mengenai autisme, cara mengajar yang menyenangkan, dll.
Semua pelatihan dilaksanakan di dan oleh tenaga-tenaga Pusat Pengembangan dan Pelatihan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (PPRBM) di Solo, yang didirikan oleh YPAC Nasional pada th 1987. Menyadari bahwa pelayanan di institusi hanya mampu melayani anak-anak di sekitar perkotaan, maka agar dapat menyediakan pelayanan di pedesaan, YPAC mengembangkan konsep RBM. Program ini telah dilaksanakan dibeberapa YPAC Daerah.
Pernah pula satu YPAC Daerah mengajukan keinginan untuk mengembangkan mutu pelayanan pendidikannya dan YPAC Nasional (dengan bantuan dana fihak tertentu) menyelenggarakan program study banding bagi guru-guru YPAC tersebut ke sekolah-sekolah khusus kecacatan tertentu. Menurut laporan, mereka mengalami kemajuan pesat setelah mengetahui cara mengajar yang tepat.

Setelah guru, dan sarana prasarana sekolah, yang menjadi faktor keberhasilan pendidikan yang lain, adalah orangtua. Kadang-kadang orang tua justru menjadi penghambat misalnya karena tidak tega anaknya dilatih, disamping sebab-sebab luar seperti kurang mampu, rumah jauh dari sekolah. Kadang-kadang anak yang bersangkutan yang menjadi penyebab, misalnya tidak mau sekolah, cape, dsb.

YPAC membuat program RDK (Rehabilitasi Dalam Keluarga) karena berpendapat bahwa keluarga adalah faktor pertama dan utama dalam penanganan anak. Disini orangtua atau keluarga diberi latihan yang sesuai dengan kebutuhan anak agar bisa turut melatih dirumahnya sendiri.

Menyadari bahwa setelah usia 18 th banyak anak YPAC tidak dapat melanjutkan sekolah maupun memperoleh pekerjaan, di YPAC-YPAC Daerah dibentuk kelas karya. Di tingkat nasional, YPAC bekerja sama dengan Yanagia membentuk Bina Kemandirian Penca.
Di kelas-kelas karya maupun di Bina Kemandirian Penca diberikan latihan-latihan kerajinan ataupun bertaman dan kerja-kerja lain sesuai situasi kondisi setempat.

Kesimpulan :
Belajar, mengembangkan diri, hidup layak dan mandiri adalah merupakan hak anak.
Dibutuhkan guru-guru yang berkualifikasi dengan sarana prasarana yang memadai.
Perlu kerjasama yang baik dengan terapis maupun orang tua anak.
Penting pula : tersedia dana yang mencukupi.

Jakarta, 20 April 2009



Ny. F.P. Sidharta Soerjadi, SE
Ketua Umum YPAC Nasional

Selasa, 15 September 2009

Anak Tunarungu

Definisi :
Keadaan kehilangan pendengaran meliputi seluruh gradasi/tingkatan baik ringan, sedang, berat dan sangat berat, yang akan mengakibatkan pada gangguan komunikasi dan bahasa. Keadaan ini walaupun telah diberikan alat bantu mendengar tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

Klasifikasi Ketunarunguan :

Berdasarkan Tingkat Kerusakan/Kehilangan Kemampuan Mendengar
Ringan 20 – 40 dB
Sedang 40 – 60 dB
Berat 70 – 90 dB
Berat sekali 90 dB ke atas

Masalah yang Ditimbulkan Akibat Ketunarunguan
(Menurut: Arthur Boothroyd) :
Persepsi Auditif
Bahasa Dan Komunikasi
Kognisi Dan intelektual
Pendidikan
Vokasional
Masy & Ortu
Sosial
emosi

Gangguan Pendengaran bukan sejak Lahir dapat terdeteksi dengan pemeriksaan speech audiometry

Behaviorial audiometry memeriksa adanya respon anak terhadap rangsang suara-suara tertentu

Landasan Pemberian Layanan Khusus :
Akibat ketunarunguannya atr tidak mengalami masa pemerolehan bahasa
Akibat berikutnya atr tidak berkembang bahasanya
Akibat miskin bahasa atr mengalami masalah dalam komunikasi dan belajarnya/ pendidikannya

Cat : Yang harus diingat kapan terjadi ketunarunguan tersebut

Mengatasi Berbagai Permasalahan yang Timbul Akibat Ketunarunguan :
Dengan memberikan keterampilan berkomunikasi dan berbahasa
Dengan mengembangkan intelektual, mental, sosial dan emosi
Mengembangkan seluruh aspek kecakapan hidup
Kata: Ludwig Wetgenstein: Batas bahasaku adalah batas duniaku. Berikan anak tunarungu kemampuan berbahasa dan berkomunikasi yang cukup agar dunia mereka menjadi lebih luas

Cara berkomunikasi dengan Tunarungu :
Bicara harus berhadapan dan diusahakan sejajar
Harus melihat muka pembicara
Jarak harus sesuai dengan daya jangkau penglihatan
Bicara wajar dan jangan dibuat-buat
Berekspresi dan melodius
Cahaya harus cukup terang
Mulut tidak tertutup oleh benda lain
Artikulasi jelas
Kalimat sederhana
Pemakaian Isyarat harus simultan

Yanti D.P.

ditulis ulang dari ceramah Pendidikan Inklusi Pak Parto
http://bintangbangsaku.com/artikel/2009/02/anak-tunarungu/

Terapi Terpadu untuk Anak Tuna Rungu

By yefvie


Prinsip Dasar Terapi Ellen
(Terapi terpadu = terapi mendengar + terapi wicara)

1. Mendengar melalui telinga yang dibantu ABD, bukan karena melihat gerakan tangan atau gerakan mulut.

2. Keterbatasan si anak dalam merespon pembicaraan kita adalah karena belum mengerti kata/kalimat yang didengar (keterbatasan kosa kata, karena baru mulai mendengar selama 2 tahun), sehingga perlu dibantu dengan gambar/gerakan tangan. Tetapi bantuan inipun sifatnya hanya sesaat dalam rangka memasok kata baru, setelah kata tersebut dimengerti, bantuan visual dihilangkan.

3. Karena itu yang penting adalah memasok kosa kata ke telinga Ellen, tanpa menuntut dia segera/langsung dapat mengerti apalagi mengucapkan. John Tracy Clinic menuliskan: untuk dapat mengerti suatu kata si anak harus mendengar 100 kali, untuk dapat mengucapkan ia harus mendengar 1000 kali. Jadi sejak Ellen memakai ABD kami konsentrasi memasok dan memasok kata ke telinganya (saat bercakap-cakap normal, maupun saat spesifik mengajarkan kata-kata baru).

4. Teknik berbicara adalah dengan volume suara normal di dekat telinganya. Hal ini bertujuan agar suluruh konsonan dapat ditangkap. Bicara pada jarak yang lebih jauh dengan suara keras (berteriak) menyebabkan yang ditangkap hanya vokal saja.

5. Kami telah menerapkan point 1-4 selama 1 tahun dan telah terbukti menunjukkan hasil yang baik. Pada akhir tahun pertama, dia baru memiliki bahasa reseptif (paham beberapa kata yang kami ucapkan tanpa dia melihat gerak bibir, tapi dia belum bisa mengucapkannya), lalu setelah itu mulai muncul kata-kata pertamanya (walau pengucapan tidak sempurna, tetapi konsisten), dan langsung disusul dengan kata-kata berikutnya. Metode ini biasa disebut teknik auditory verbal. Ini yang kami terapkan…

6. Kendala yang muncul adalah pengucapan yang masih sangat lemah, karena itulah atas saran John Tracy Clinic kemudian Ellen dibantu terapi wicara (di suatu RS). Terapis wicara membantu membentuk pengucapan Ellen dengan teknik terapi wicara terhadap kata-kata yang sudah dimengerti Ellen tetapi belum bagus pengucapannya. Walaupun hanya 4 bulan (terpaksa quit karena tidak tertampung jadwal baru mereka yang hanya pagi–siang), pola ini telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Metode auditory verbal + terapi wicara ini biasa disebut auditory oral. Ini yang kami lanjut-terapkan saat ini (dengan bantuan terapis wicara di sekolah).

Catatan:
- Penelitian modern menyatakan hampir semua anak tuna rungu masih punya sisa pendengaran (tidak 100% tuli). Sisa pendengaran ini dapat dioptimalkan dengan bantuan alat bantu dengar (ABD, walaupun tidak secanggih implan koklea).
- Tetapi memakai ABD tidak sama dengan orang memakai kaca mata, yang langsung bisa melihat dengan lebih jelas. Karena respon atas stimuli visual adalah langsung, sedangkan respon atas stimuli auditori adalah melalui tahap pemahaman/interpretasi dulu. Untuk mencapai tahap pemahaman yang penting adalah harus sering mendengar dan mendengar, dengan pengucapan yang jelas, kalimat pendek, dan jika perlu disertai bantuan visual: gambar & gerakan tangan (kadang tanpa bantuan akan sulit anak memahami kata-kata baru, mirip kita nonton film berbahasa asing dimana kita mendengar pemain berbicara cas-cis-cus tanpa kita menangkap artinya). Tetapi bantuan itu perlahan dihilangkan, sehingga nantinya hanya akan berkomunikasi secara verbal.(by: mama Ellen, edited by papa Ellen)

MEMAHAMI PERKEMBANGAN,HAMBATAN PERKEMBANGAN DAN HAMBATAN BELAJAR PADA ANAK

Oleh
Zaenal Alimin
Program Studi Pendidkan Kebutuhan Khusus
Sekolah Pascasarjan UPI


A. Perkembangan Anak

Makna perkembangan pada seorang anak adalah terjadinya perubahan yang besifat terus nenerus dari keadaan sederhana ke keadaan yang lebih lengkap, lebih komleks dan lebih berdiferensiasi (Berk, 2003). Jadi berbicara soal perkembangan anak yang dibicarakan adalah perubahan. Pertanyaannya adalah perubahan apa saja yang terjadi pada diri seorang anak dalam proses perkembangan ? Untuk menjawab pertanyaan itu maka perlu dipahami tentang aspek-aspek perkembangan.

1. Aspek-Aspek Perkembangan
Perkembangan fisik yaitu perubahan dalam ukuran tubuh, proporsi anggotata badan, tampang, dan perubahan dalam fungsi-fungsi dari sistem tubuh seperti perkembangan otak, persepsi dan gerak (motorik), serta kesehatan.
Perkembangan kognitif yaitu perubahan yang bervariasi dalam proses berpikir dalam kecerdasan termasuk didalamnya rentang perhatian, daya ingat, kemampuan belajar, pemecahan masalah, imajinasi, kreativitas, dan keunikan dalam menyatakan sesuatu dengan mengunakan bahasa.
Perkembangan sosial-emosional yaitu perkembangan berkomunikasi secara emosional, memahami diri sendiri, kemampuan untuk memahami perasaan orang lain, pengetahuan tentang orang lain, keterampilan dalam berhubungan dengan orang lain, menjalin persabatan, dan pengertian tentang moral.

Harus dipahami dengan sungguh sungguh bahwa ketiga aspek perkembangan itu merupakan satu kesatuan yang utuh (terpadu), tidak terpisahkan satu sama lain. Setiap aspek perkembangan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aspek lainnya. Sebagai contoh perkembangan fisik seorang anak seperti meraih, duduk, merangkak, dan berjalan sangat mempengaruh terhadap perkembangan kognitif anak yaitu dalam memahami lingkungan sekitar di mana ia berada. Ketika seorang anak mencapai tingkat perkembangan tertentu dalam berpikifr (kognitif) dan lebih terampil dalam bertindak, maka akan mendapat respon dan stimulasi lebih banyak dari orang dewasa, seperti dalam melakukan permaianan, percakapan dan berkomunikasi sehingga anak dapat mencapai keterampilan baru (aspek sosial-emosional). Hal seperti ini memperkaya pengalaman dan pada gilirannya dapat mendorong berkembangnya semua aspek perkembangan secara menyeluruh. Dengan kata lain perkembangan itu tidak terjadi secara sendiri-sendiri.

2. Periode Perkembangan
Para peneliti biasanya membagi segmen perkembangan anak ke dalam lima periode (Berk, 2003). Ketika anak mencapai perkembangan pada periode tertentu maka akan dipereroleh kemampuan dan pengalaman sosial-emosional yang baru.
Periode pra-lahir : sejak masa konsepsi sampai lahir. Pada periode ini terjadi perubahan yang paling cepat.
Periode masa bayi dan kanak-kanak: Sejak lahir sampai usia 2 tahun. Pada periode ini terjadi perubahan badan dan pertumbuhan otak yang dramatis, mendukung terjadinya saling berhubungan antara kemampuan gerak, persepsi, kapasitas kecerdasan, bahasa dan terjadi untuk pertama kali berinteraksi secara akrab dengan orang lain. Masa bayi dihabiskan pada tahun pertama sedanga masa kanak-anak dihabiskan pada tahun kedua.
Periode awal masa anak : dari usia 2 tahun sampai 6 tahun. Pada periode ini ukuran badan menjadi lebih tinggi, keterampilan motorik menjadi lebih luwes, mulai dapat mengontrol diri sendiri dan dapat memenuhi menjadi lebih luas. Pada masa ini anak mulai bermain dengan membentuk kelompok teman sebaya.
Periode masa anak-anak: dari usia 6 sampai 11 tahun. Pada masa ini anak belajar tentang dunianya lebih luas dan mulai dapat menguasai tanggung jawab, mulai memahami aturan, mulai menguasai proes berpikir logis, mulai menguasai keterampilan baca tulis, dan lebih maju dalam memahami diri sendiri, dan pertemanan.
Periode masa remaja: dari usia 11-20 tahun. Periode ini adalah jembatan antara masa anak-anak dengan masa dewasa. Terjadi kematangan seksual, berpikir menjadi lebih abstrak dan idealistik.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Untuk melihat faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan seorang anak, maka muncul pertanyaan: apakah perkembangan itu prasyarat untuk bisa belajar atau perkembangan itu hasil dari proses belajar ? Pertanyaan itu bisa dijawab ya, bahwa perkembangan itu prasyarat untuk bisa belajar. Artinya jika seorang anak belajar perlu didasari oleh kesiapan (kematangan) yang dicapai dalam perkembangan. Misalnya seorang anak tidak mungkin akan bisa belajar bahasa dan bicara jika belum mencapai kesiapan (kematangan), meskipun lingkungan diciptakan sedemikian rupa agar anak dapat belajar bahasa dan bicara. Sebaliknya, pertanyaan itu bisa dijawab ya bahwa perkembangan itu adalah hasil belajar. Artinya perubahan yang terjadi pada diri seorang anak diperoleh melaui proses interaksi dengan lingkungannya. Misalnya meskipun setiap anak memiliki potensi untuk belajar bahasa dan bicara dan telah mencapai kematangan untuk siap belajar, tetapi anak tersebut sama sekali tidak mendapatkan rangsangan dari luar (lingkungan) untuk belajar, maka anak itu tidak akan memperoleh keterampilan berbahasa.
Oleh karena itu terdapat hubungan timbal balik atau saling mempenagruhi antara proses belajar dalam lingkungan dengan kematangan perkembangan. Dengan kata lain pada saat tetentu belajar ditentukan oleh kematangan perkembangan, tetapi pada saat yang lain perkembangan adalah hasil dari proses belajar. Konsekuensi dari keadaan ini maka jika seorang anak mengalami hambatan dalam mencapai kematangan perkembangan karena ada gangguan pada aspek fisik atau kognitif atau sosial-emosional maka dapat dipastikan akan mengalami hambatan belajar, dan anak yang mengalami hambatan belajar akan mengalami hamabtan perkembangan. Anak yang mengalami hambatan belajar dan atau hambatan perkembangan, memerlukan layanan khusus dalam pendidikan dan disebut anak berkebutuhan khusus.

B. Hambatan Perkembangan-Hambatan Belajar Anak Berkebutuhan
Khusus

1. Konsep Anak Berkebutuhan Khusus (Children with Special Needs)
Istilah anak berkebutuhan khusus memiliki cakupan yang sangat luas. Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus keberagaman anak sangat dihargai. Setiap anak memiliki latar belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang berbeda-beda, dan oleh kaarena itu setiap anak dimungkinkan akan memiliki kebutuhan khusus serta hambatan belajar yang berbeda beda pula, sehingga setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang disesuiakan sejalan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak. Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual.
Cakupan konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementra (temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang besifat menetap (permanent).

a. Anak Berkebutuhan Khusus Bersifat Sementra (Temporer)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Misalnya anak yang yang mengalami gangguan emosi karena trauma akibat diperekosa sehingga anak ini tidak dapat belajar. Pengalaman traumatis seperti itu bersifat sementra tetapi apabila anak ini tidak memperoleh intervensi yang tepat boleh jadi akan menjadi permanent. Anak seperti ini memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan yang disesuikan dengan hambatan yang dialaminya tetapi anak ini tidak perlu dilayani di sekolah khusus. Di sekolah biasa banyak sekali anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus yang bersifat temporer, dan oleh karena itu mereka memerlukan pendidikan yang disesuiakan yang disebut pendidikan kebutuhan khusus.
Contoh lain, anak baru masuk Kls I Sekolah Dasar yang mengalami kehidupan dua bahasa. Di rumah anak berkomunikasi dalam bahasa ibunya (contoh bahasa: Sunda, Jawa, Bali atau Madura dsb), akan tetapi ketika belajar di sekolah terutama ketika belajar membaca permulaan, mengunakan bahasa Indonesia. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan munculnya kesulitan dalam belajar membaca permulaan dalam bahasa Indonesia. Anak seperti ini pun dapat dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus sementra (temporer), dan oleh karena itu ia memerlukan layanan pendidikan yang disesuikan (pendidikan kebutuhan khusus). Apabila hambatan belajar membaca seeperti itu tidak mendapatkan intervensi yang tepat boleh jadi anak ini akan menjadi anak berkebutuhan khusus permanent.

b. Anak Berkebutuhan Khusus yang Bersifat Menetap (Permanen)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gannguan perkembangan kecerdasan dan kognisi, gannguan gerak (motorik), gannguan iteraksi-komunikasi, gannguan emosi, sosial dan tingkah laku. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanent sama artinya dengan anak penyandang kecacatan.
Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata lain dari anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup spektrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak berkebutuhan khusus permanent (penyandang cacat). Oleh karena itu apabila menyebut anak berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk anak penyandang cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota dari anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan pendidikan khusus yang hanya menyangkut anak penyandang cacat.

2. Memahami Hambatan Belajar dan Hambatan Perkembangan
a. Pengertian Hambatan Belajar
Dalam paradigma pendidikan khusus/PLB, label kecacatan dan karakteristiknya lebih menonjol dan dijadikan patokan dalam memberikan layanan pendidikan dan intervensi. Anak yang memiliki kecacatan tertentu dipandang sebagai kelompok yang memiliki karakteristik yang sama. Cara pandang seperti ini menghilangkan eksistensi anak sebagai individu. Anak-anak yang didiagnosis sebagai anak penyandang cacat tertentu (misalnya tunanetra) diperlakukan dalam pembelajaran dengan cara yang sama berdasarkan label kecacatannya. Cara pandang seperti ini lebih mengedepankan aspek identitas kecacatan yang dimiliki dari pada aspek individu anak sebagai manusia.
Dalam konsep pendidikan khusus/PLB (special education) lebih banyak menggunakan diagnosis untuk menentukan label kecacatan. Berdasarkan label itulah layanan pendidikan diberikan dengan cara yang sama pada semua anak yang memiliki label kecacatan yang sama, dan tidak memperimbangkan aspek-aspek lingkungan dan faktor-faktor dalam diri anak. Sebagai contoh jika hasil diagnosis menunjukkan bahwa seorang anak dikategorikan sebagai anak autisme, maka semua anak autisme akan diperlakukan dengan cara dan pendekatan yang sama berdasarkan label dan karakteristik nya.
Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus (special needs education), anak yang mempunyai kebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat permanent akan berdampak langsung kepada proses belajar, dalam bentuk hambatan untuk melakukan kegiatan belajar (barrier to learning and development). Hambatan belajar dan hambatan perkembangan dapat muncul dalam banyak bentuk, untuk mengetahui dengan jelas hambatan belajar, hambatan perkembangan dan kebutuhan yang dialami oleh seorang anak sebagai akibat dari kebutuhan khusus tertentu/kecacatan tertentu, dilakukan dengan mengunakan asesmen.
Hasil asesmen akan memberikan gambaran yang jelas mengenai hambatan belajar setiap anak. Berdasarkan data hasil asesmen itulah pembelajaran akan dilakukan. Tidak akan terjadi dua orang anak yang mempunyai kebutuhan khusus/kecacatan yang sama, memiliki hambantan belajar, hambatan perkembangan dan kebutuhan yang persis sama. Oleh karena itu pendidikan kebutuhan khusus difokuskan untuk membantu menghilangkan atau sekurang-kurangnya meminimalkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan sebagai akibat dari kondisi yang dialami oleh setiap anak secara individual. Inilah yang disebut dengan pembelajaran yang berpusat kepada anak (child center approach).
Dalam perspektif pendidikan kebutuhan khusus diyakini bahwa ada faktor-faktor lain yang sangat penting untuk dipertimbangkan yaitu faktor lingkungan, termasuk sikap terhadap anak pada umumnya dan terhadap anak tertentu karena lingkungan yang tidak responsive, kurang stimulasi, pemahaman guru dan kesalahpahaman guru akan proses pembelajaran, isi, pendekatan pembelajaran dan materi pembelajaran dapat memimbulkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan.
Selain faktor lingkungan, hal lain yang juga sangat penting untuk dipertimbangkan adalah faktor-faktor pada diri anak, seperti rasa ingin tahu, motivasi, inisiatif, interaksi/komunikasi, kompetensi sosial, kreativitas, temperamen, gaya belajar dan kemampuan potensial. Pendidikan kebutuhan khusus memandang anak sangat komprehensif dan memandang anak sebagai anak, bukan memandang anak berdasarkan label yang diberikan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa hambatan belajar dapat terjadi juga pada anak yang tidak memiliki kecacatan. Dengan pandangan yang luas seperti ini, akan meningkatkan pemahaman kita tentang keunikan setiap individu anak.
Konsep hambatan belajar dan hambatan perkembangan sangat penting untuk dipahami karena hambatan belajar dapat muncul di setiap kelas dan pada setiap anak. Semua anak mempunyai kemungkinan yang sama untuk mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan. Pendidikan kebutuhan khusus menekankan pada upaya untuk membantu anak menghilangkan atau sekurang-kurangnya mengurangi hambatan belajar dan hambatan perkembangan sebagai akibat dari kondisi tertentu, agar anak dapat mencapai perkembangan optimum. Oleh karena itu Hambatan belajar baik pada anak-anak berkebutuhan khusus maupun pada anak pada umumnya dapat diartikan sebagai sesuatu yang menghentikan atau memperlambatm, merintangi laju kemajuan belajar seorang anak akibat dari faktor yang ada pada diri anak itu sendiri maupun karena faktor yang terjadi diluar diri anak (lingkungan).

b.Penyebab Munculnya Hambatan Belajar
Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak bisa disebabkan oleh (1) faktor internal pada diri anak itu sendiri, (2) faktor ekternal di luar diri anak dan, (3) faktor internal dan eksternal.

1) Faktor Internal
Hambatan belajar bisa terjadi akibat adanya kerusakan secara fisik pada diri anak (impairment), misalnya kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, dan gangguan pada pada gerak motorik, serta anak yang mengalami hambatan perkembangan intelektual. Keadaan impairment seperti itu menimbulkan kesulitan atau ketidakmampuan tertentu (disability), sehingga merintangi anak untuk belajar. Sebagai contoh, anak yang kehilangan fungsi penglihatan (anak tunanetra) memiiki keterbatasan dalam belajar yang berhubungan dengan informasi visual. Mereka harus mengubah informsi visual ke dalam bentuk informasi auditif, taktual atau kinestetik, tetapi tidak semua informasi visual dapat diubah ke dalam bentuk auditif, taktual dan kinestetik. Oleh karena itu pemahaman anak tunanetra terhadap informasi visual sangat terbatas dan tidak utuh dibandingkan anak awas.
Anak yang kehilangan fungsi pendengaran (tunarungu) mengalami kesulitan untuk belajar sesuatu yang berhubungan dengan informasi auditif, sehingga mereka sulit memahami konsep yang bersifat verbal. Padahal banyak sekali konsep-konsep yang harus dipahami dengan menggunakan bahasa secara abstrak.
Anak yang mengalami gangguan perkembangan intelektual (anak tunagrahita) mengalami kesulitan untuk memahami konsep abstrak yang dipelajarinya karena keterbatasan dalam menglah informasi secara kognitif. Anak-anak seperti ini bisanya mengalami kesulitan untuk memahami konsep dan prinsip dari apa yang dipelajarinya. Padahal sesungguhnya belajar lebih banyak berhubungan dengan penguasaan konsep dan prinsipkah. Hambatan belajar yang bersifat internal lainnya adalah gangguan perhatian dan hiperaktifitas, gangguan tiingkah laku, dan gangguan interaksi dan komunikasi.

2) Faktor Eksternal
Hambatan belajar pada seorang anak bisa disebabkan oleh faktor-faktor di luar diri anak itu sendiri. Anak mengalami kesulitan-kesulitan tertentu untuk belajar karena eksternal misalnya, anak sering mendapat perlakuan kasar, sering diolok-olok, tidak pernak dihargai, sering melihat kedua orang tuanya bertengkar dsb. Keadsaan seperti ini dapat menimbulakan kehilangan kepercayaan diri, sulit untuk memusatkan perhatian,cemas, gelisah, takut yang tidak beralasan dsb.
Bentuk-bentuk hambatan belajar yang dapat teridentifikasi akibat dari keadaan seperti itu misalnya, anak tidak memiliki keberaian untuk bertanya mesikipun ada yang ingin ia tanyakan kepada gurnya, tidak bisa menyatakan bahwa dia tidak mengerti sesuatu karena takut, tidak dapat mengikuti intruksi, tidak dapat mengemukakan pendapat atau keinginan secara lisan karena tidak berani. Anak-anak seperti ini tidak mungkin dapat belajar dengan benar.
Faktor eksternal lainnya yang dapat menjadi hambatan belajar bagi seorang anak seperti, pengalaman belajar di kelas yang sangat keras dan sangant kompetitif, pengalaman belajar di kelas yang terlalu mudah, sehingga tidak ada tantangan untuk belajar lebih lanjut, pembelajaran yang tidak sesuai dengan gaya belajar anak, kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak secara personal , dan ketidaktersediaan sumber belajar dan media pembelajaran.

3. Faktor Internal dan Eksternal
Hambatan belajar bisa terjaidi karena komibinasi antara faktor intenal dan faktor eksternal. Misalnya seorang anak yang mengalami gangguan perkemabngan intelektual (internal) belajar pada lingkungan kelas yang keras dan kompetip (eksternal). Sudah dapat dipastikan bahwa hambatan bejar yang dialami oleh anak ini akan berakibat lebih buruk pada perkembangan hasil belajar anak. Anak menghadapi dua hambatan bejar secara bersamaan.














Referensi

Alimin, Zaenal (2004) Reorientasi Pemahaman Konsep Pendidikan Khusus Ke Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Implikasinya terhadap Layanan Pendidikan. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus. Vol.3 No 1 (52-63)

Foreman, Phil (2002), Integration and Inclusion In Action. Mc Person Printing Group: Australia.

Hauschild, AT & Watterdal, TM (2006) Kompendium: Perjanjian, Hukum dan
Peraturan Menjamin Semua anak Memperoleh Kesamaan Hak untuk
Kualitas Pendidikan dalam Cara Inkluisif. IDP Norway: Jakarta

International Symposium (2005) Inclusion and Removal Barrier to Learning, Partisipation and development. Departeman Pebdidikan Nasional: Jakarta


Johsen, Berit and Skjorten D. Miriam, (2001) Education, Special Needs Education an Intoduction. Unifub Porlag: Oslo


Lewis, Vicky (2003), Development and Disability. Blckwell Publishing Company: Padstow, Cornwall.

Stubbs, Sue (2002) Inclusive Education: Where there are few resources. The
Atlas

UNESCO (2003) Overcoming Exclusion through Inclusive Approach in Education
A Challenge and A Vision. Division for Early Childhood and Inclusive
Education: Pari

Jumat, 14 Agustus 2009

Anak Berbakat

ANAK BERBAKAT
(Gitted Learnes)
Oleh: Achyar
Wiyaiswara PPPG Tertulis Bidang Studi IPA, Mahasiswa Pascasarjana (S2) UPI.
Membahas masalah sistem pendidikan di Indonesia, kita tahu bahwa anak usia sekolah ditempatkan secara berjenjang sesuai dengan usianya. Mulai anak usia TK, SD, SLTP dan SMU. Kurikulum yang digunakan bersifat centralized (terpusat), artinya kurikulum yang dipakai untuk seluruh wilayah Indonesia secara umum sama.
Dengan keterbatasan ini, maka ada beberapa hal yang belum tertangani dengan baik, misalnya penanganan anak berbakat. Anak berbakat perlu dipikirkan bagaimana menanggulanginya, sehingga segala kemampuan yang ada pada dirinya dapat tersalurkan melalui suatu lembaga pendidikan khusus. Seperti halnya sekolah luar biasa (SLB) yang menangani anak-anak yang memiliki kelemahan dikarenakan tidak berfungsinya salah satu bagian pada tubuhnya (tuna netra, tuna rungu, tuna wicara dan sebagainya).
Pendidikan anak berbakat, sebagaimana halnya pendidikan pada umumnya, hama dilihat secara sistematik meliputi program, fasilitas, guru, masukan dan tujuan (Raka Joni, 1982). Tujuan pendidikan Indonesia tersirat dalam cita-cita bangsa Indonesia yang telah dirumuskan dalam falsafah hidup bangsa, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 dinyatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh pengajaran, dan pemerintah mengusahakan dan melaksanakan satu sistem pengajaran (pendidikan) nasional.
Berdasarkan kenyataan yang universal dan alamiah bahwa manusia itu berbeda satu sama lain dalam berbagai hal, seperti dalam hal intelegensi, bakat, kepribadian, kondisi jasmani dan sebagainya. Oleh karena itu perlu dipikirkan bagaimana menangani penyaluran berbagai perbedaan ini.
Pendidikan anak berbakat merupakan bagian integrasi pendidikan pada umumnya, dengan kekhususan memberi kesempatan maksimal bagi anak berbakat untuk berfungsi sesuai dengan potensinya, dengan harapan bahwa pada suatu saat anak juga akan memberi sumbangan yang maksimal bagi peningkatan kehidupan sesuai dengan aktualisasi potensinya itu. Hal itu sesuai dengan citra masyarakat yang kita anut dengan memperhatikan kaitan fungsional antara individu dengan masyarakat (Raka Joni,1982).
Apa Yang Dimaksud Dengan Anak Berbakat?
a. Pengertian anak berbakat
Menurut definisi yang dikemukakan Renzuli, anak berbakat memiliki pengertian, "Anak berbakat merupakan satu interaksi diantara tiga sifat dasar manusia yang menyatu ikatan terdiri dari kemampuan umum dengan tingkatnya di atas kemampuan rata- rata, komitmen yang tinggi terhadap tugas'tugas dan kreativitas yang tinggi. Anak berbakat ialah anak yang memiliki kecakapan dalam mengembangkan gabungan ketiga sifat ini dan mengaplikasikan dalam setiap tindakan yang bernilai. Anak-anak yang mampu mewujudkan ketiga sifat itu masyarakat memperoleh kesempatan pendidikan yang luas dan pelayanan yang berbeda dengan program-program pengajaran yang reguler (Swssing, 1985).
Pengertian lain menyebutkan bahwa anak gifted adalah anak yang mempunyai potensi unggul di atas potensi yang dimiliki oleh anak-anak normal. Para ahli dalam bidang anak-anak gifted memiliki pandangan sama ialah keunggulan lebih bersifat bawaan dari pada manipulasi lingkungan sesudah anak dilahirkan.
Keunggulan lain yang telah disepakati oleh para ahli ialah anak-anak gifted mempunyai superioritas dalam bidang akademik. Kiranya hal itu tidak sulit untuk dimengerti, sebab salah satu syarat penting untuk meraih prestasi akademik tertentu ialah persyaratan intelegensi.
Kepribadian memang merupakan salah satu sumbangan yang dapat diberikan oleh anak atau orang-orang gifted. Dengan dasar kepribadian yang baik maka akan dilahirkan pula karya-karya yang baik pula, sehingga masahat yang diberikan menjadi lebih besar dibandingkan mudharatnya. Seperti kita ketahui bahwa sebuah karya yang besar tentu saja akan memberikan pengaruh yang besar pula kepada hidup dan kehidupan manusia.
b. Karaktehstik anak berbakat
ebagai mahluk sosial, anak berbakat mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat, pemikiran, sikap dan aktivitas anggota masyarakat yang lain. Dalam pergaulan inilah emosi mereka merasa sedih atau bahagia.
Ditinjau dari budaya, anak berbakat mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang dipengaruhi tingkat kebudayaan di mana mereka memperoleh pengalaman budaya. Selain itu faktor agama akan memberikan dasar dan norma pribadi anak berbakat.
Untuk mengenali karakteristik anak-anak berbakat dapat dilihat beberapa segi diantaranya sebagai berikut
1. Potensi
2. Cara menghadapi masalah
3. Kemampuan (prestasi) yang dapat dicapai.
1. Potensi
Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa anak-anak berbakat memiliki potensi yang unggul. Potensi ini dapat disebabkan oleh faktor keturunan, seperti studi yang dilakukan U. Branfenbrenner (1972) dan Scarr Salaptek (1975) terhadap tingkat kecerdasan. U. Branfenbrenner dan Scarr Salaptek menyatakan secara tegas bahwa sekarang tidak ada kesangsian mengenai faktor genetika mempunyai andil yang besar terhadap kemampuan mental seseorang (Kitano,1986).
Dilihat dari sudut ilmu pendidikan untuk menjelaskan hal tersebut di atas, kita dapat mengikuti penjelasan dari Jane Healy. Penjelasan itu menyatakan bahwa semua wanita harus menyadari pentingnya nutrisi yang baik demi anak yang dikandungnya. Selain itu janin harus terhindar dari keracunan atau pengaruh sinar x yang datang dari luar (Healy, 1978). Dari sudut proses belajar maka faktor kesadaran seperti yang disarankan oleh Healy adalah satu prestasi belajar yang sebelumnya melibatkan proses kompleks. Faktor intelegensi, motivasi, emosi dan sosialisasi sangat menentukan pencapaian hasil atau prestasi belajar dalam bentuk kesadaran.
Menurut penelitan Terman (1925) pada saat anak berbakat dilahirkan memiliki berat badan diatas berat badan normal. Dari segifisik pada umumnya mereka juga memiliki keunggulan seperti terlihat dari berat dan tinggi badan, koordinasi, daya tahan tubuh dan kondisi kesehatan pada umumnya (French, 1959). Mereka juga sangat energik (Meyen, 1978) sehingga orang salah mendiagnosa sebagai anak yang hyperactive (Swassing, 1985).
Anak-anak berbakat berkembang lebih cepat atau bahkan sangat cepat bila dibandingkan dengan ukuran perkembangan yang normal. Bila guru menemukan anak seperti itu maka guru dapat menduga bahwa itu anak-anak yang berbakat. Hal ini disebabkan anak berbakat memiliki superioritas intelektual (Gearheart, 1980), mampu dengan cepat melakukan analisis (Sunan, 1983), dan dalam irama perkembangan kemajuan yang mantap (Swassing, 1985). Bahkan dalam berfikir mereka sering meloncat dari urutan berfikir yang normal (Gearheart, 1980)
Selain potensi intelegensi anak-anak berbakat memiliki keunggulan pada aspek psikologis yang lain, yaitu emosi. Menurut French (1959) dan Gearheart (1980) anak-anak yang berbakat memiliki stabilitas emosi yang mantap sehingga mereka akan mampu mengendalikan masalah-masalah personal (Heward, 1980). Rasa tanggung jawab mereka sangat tinggi serta mempunyai cita rasa humor yang tinggi pula.
Karakteristik sosial yang dimiliki anak-anak berbakat ialah cakap mengevaluasi keterbatasan dan kelebihan yang dimiliki dirinya dan orang lain. Sifat ini akan membuat anak berbakat, tampil bijaksana.
2. Cara menghadapi masalah
Cara menghadapi masalah disini adalah keteriibatan seluruh aspek psikologis dan biologis setiap anak berbakat pada saat mereka berhadapan dengan masalah tersebut. Mereka akan memilih metode, pendekatan dan alat yang strategis sehingga diperoleh pemecahan masalah yang efisien dan efektif. Langkah awal dapat dilihat bahwa setiap anak berbakat mempunyai keinginan yang kuat untuk mengetahui banyak hal (Gearheart, 1980) kemudian mereka akan melakukan ekspedisi dan eksplorasi terhadap pengukuran saja. Setelah berfikir dengan baik maka mereka akan memunculkan hasil pemikiran dalam bentuk tingkah laku. Tingkah laku yang dimunculkan ialah mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara kritis. Pertanyaan ini ditujukan pada diri sendiri atau orang lain (sebaya atau orang dewasa).
Karakteristik yang dimiliki anak berbakat dalam menghadapi masalah diantaranya:
a). Mereka mampu melihat hubungan permasalahan itu secara komprehensif dan juga mengaplikasikan konsep-konsep yang kompleks dalam situasi yang kongkrit.
b). Mereka akan terpusat pada pencapai tujuan yang ditetapkan (Gearheart, 1980)
c). Mereka suka bekerja secara independent dan membutuhkan kebebasan dalam bergerak dan bertindak
d). Mereka menyukai cara-cara baru dalam mengerjakan sesuatu dan mempunyai ntens untuk berkreasi (Meyen, 1978)
3. Prestasi
Prestasi anak berbakat dapat ditinjau dari segi fisik, psikologis, akademik dan sosial. Prestasi fisik yang dapat dicapai oleh anak-anak berbakat ialah mereka memiliki daya tahan tubuh yang prima serta koordinasi gerak fisik yang harmonis (French, 1959).
Anak berbakat mampu berjalan dan berbicara lebih awal dibandingkan dengan masa berjalan anak-anak normal (Swanson, 1979).
Secara psikologis anak berbakat memiliki kemampuan emosi yang unggul dan secara sosial pada umumnya mereka adalah anak-anak yang populer serta lebih mudah diterima (Gearheart, Heward,1980).
Berdasarkan prestasi akademik, anak berbakat pada dasarnya memiliki sistem syaraf pusat (otak dan spinal cord) yang prima. Oleh karena itu anak-anak berbakat dapat mencapai tingkat kognitif yang tinggi. Menurut Bloom kognitif tingkat tinggi meliputi berfikir aplikasi, analisis, sintesis, evaluasi dan kognitif tingkat rendah terdiri dari berfikir mengetahui dan komprehensif.
Dalam usia yang lebih muda dari anak-anak normal, anak-anak berbakat sudah mampu membaca dan kemampuan ini berkembang terus secara konsisten (Swassing, 1985, French, 1959). Mereka mampu menggunakan perbendaharaan kata yang sudah maju (Ingram, 1983).
Selain memiliki keunggulan-keunggulan diatas anak-anak berbakat mempunyai karakteristik negatif diantaranya (menurut Swassing):
1. Mampu mengaktualisasikan pernyataan secara fisik berdasarkan pemahaman pengetahuan yang sedikit
2. Dapat mendominasi diskusi
3. Tidak sabar untuk segera maju ke tingkat berikutnya
4. Sukaribut
5. Memilih kegiatan membaca dari pada berparfsipasi aktifdalam kegiatan masyarakat, atau kegiatan fisik
6. Suka melawan aturan, petunjuk-petunjuk atau prosedur tertentu
7. Jika memimpin diskusi akan membawa situasi diskusi ke situasi yang harus selalu tuntas.
8. Frustasi disebabkan tidak jalannya aktivitas sehari-hari
9. Menjadi bosan karena banyak hal yang diulang-ulang
10. Menggunakan humor untuk memanipulasi sesuatu
11.Melawan jadwal yang (hanya) didasarkan atas pertimbangan waktu saja bukan atas pertimbangan tugas
12. Mungkin akan kehilangan interns dengan cepat.
Bagaimana Menangani Anak Berbakat ?
Kemampuan dasar atau bakat luar biasa yang dimiliki seorang anak memerlukan serangkaian perangsang (stimulasi) yang sistematis, terencana dan terjadwal agar apa yang ada, yang dimiliki menjadi aktual dan berfungsi sebaik-baiknya. Membiarkan seorang anak berkembang sesuai dengan azas kematangan saja akan menyebabkan perkembangan menjadi tidak sempurna dan bakat-bakat luar biasa yang sebetulnya memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi tidak berfungsi.
Peran lingkungan sebagai pemicu rangsang sangat besar dalam ikut menentukan sampai di mana tahapan, terealitas dan hasil akhir dari suatu perkembangan dicapai.
Pendidikan khusus yang direncanakan diberikan kepada anak-anak khusus (anak berbakat luar biasa), jelas mempunyai tujuan mengaktualisasikan seluruh potensi yang dimiliki seorang anak agar bisa mencapai prestasi yang luar biasa, sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pendidik, masyarakat dan pemerintah.
Dalam usaha mempengaruhi perkembangan anak untuk mengaktualisasikan seluruh potensi yang dimiliki agar berfungsi secara optimal terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan agar mencapai hasil yang diharapkan, ialah :
a. Faktor yang ada pada anak itu sendiri, yaitu mengenal anak. Mengenali dalam arti mengetahui semua ciri khusus yang ada pada anak secara obyektif. Dalam usaha memberikan pendidikan khusus kepada anak berbakat perlu terlebih dahulu membedakan beberapa pengertian, yakni:
1) Berbakat luar biasa pada fungsi-fungsi yang berhubungan dengan proses informasi (kognitif) dan karena itu mempengaruhi aspek-aspek lain.
2) Berbakat luar biasa hanya pada salah satu atau beberapa aspek, bisa mengenai aspek kognitif atau aspek yang berhubungan dengan keterampilan-keterampilan khusus. Sedangkan aspek-aspek lain secara umum tergolong biasa saja.
b. Faktor kurikulum yang meliputi:
1) Isi dan cara pelaksanaan yang disesuaikan dengan keadaan anak (Child centered) dan dengan sendirinya telah dilakukan identifikasi mengenai keadaan khusus yang ada pada anak secara obyektif.
2) Perlu ditekankan bahwa kurikulum pada pendidikan khusus hendaknya tidak terlepas dari kurikulum dasar yang diberikan untuk anak lain, Perbedaan hanya terletak pada penekanan dan penambahan sesuatu bidang sesuai dengan kebutuhannya dan tetap terpadu dengan kurikulum dasar.
3) Kurikulum khusus diarahkan agar perangsangan yang diberikan mempunyai pengaruh untuk menambah atau memperkaya program (enrichment program) dan tidak semata-mata untuk mempercepat (accelerate) berfungsi sesuai bakat luar biasa yang dimiliki.
4) Isi kurikulum hams mengarah .pada perkembangan kemampuan anak yang berorientasi inovatif dan tidak reproduktif serta berorientasi untuk mencapai sesuatu dan tidak hanya sekedar memunculkan apa yang dimiliki tanpa dilatih menjadi kreatif.
Kreativitas yang diarahkan agar tertanam sikap hidup yang mau mengabdi, melayani dan mengamalkan pengetahuannya untuk kemajuan mesyarakat bangsa dan negara.
Pelaksanaan pendidikan anak berbakat
a. Percepatan (akselerasi) Ada 2 cara melaksanakan percepatan ini yakni:
1) Meloncatkan anak pada kelas-kelas yang lebih tinggi (skipping).
Sesuai dengan keadaannya di mana usia mental (mental age) pada anak berbakat lebih tinggi dari usia sebenarnya (cronological age), maka mudah timbul perasaan tidak puas belajar bersama dengan anak-anak lain seumurnya. Meskipun banyak aspek perkembangan lain pada anak ternyata memang lebih maju dari pada anak-anak seumurnya, misalnya aspek sosial, akan tetapi cara percepatan dengan meloncatkan anak pada kelas-kelas yang yang lebih 'tinggi dianggap kurang baik, antara lain karena mempermudah timbulnya' masalah-masalah penyesuaian, baik disekolah, di rumah maupun di lingkungan sosialnya. Kecuali norma yang dipakai adalah norma dari kelas tinggi, yang belum tentu sesuai seluruhnya bagi anak karena norma yang diikuti bukan norma dari anak berbakat itu sendiri.
Percepatan yang diberikan kepada anak berbakat untuk menyelesaikan bahan pelajaran dalam waktu yang lebih singkat sesuai dengan kemampuannya yang istimewa.
Cara seperti ini oleh Samuel A. Klik dan James Gallagher disebut sebagai "telescoping grades", Sebenarnya cara ini tergolong cara yang baik karena diberikan dan diselesaikan ditentukan oleh keadaan, kebutuhan dan kemampuan anak itu sendiri.
Kesulitannya ialah pengaturan administrasi sekolah yang meliputi pengaturan-pengaturan tenaga pengajaran karena hams memberikan pelajaran secara individual kepada anak. Pada anak sendiri dikhawatirkan oleh para ahli akan timbul kesulitan dalam penyesuaian diri, baik sosial maupun emosional karena terbatasnya hubungan-hubungan sosial dengan teman-teman sebayanya.
b. Pendidikan dalam kelompok khusus (special grouping segregation)
Ada beberapa kemungkinan untuk melaksanakan ini, yakni:
1) Model A
Kelas biasa penuh ditambah kelas khusus (mini). Cara ini bisa dilakukan disetiap sekolahkarena anak berbakat mengikuti secara penuh acara di sekolah dan setelah itu memperoleh pelajaran tambahan dalam kelas khusus.
Waktu belajarnya bertambah dan mata pelajaran dasar atau yang berhubungan dengan kemampuan khusus (misalnyamatematika) ditambah.kerugian pada anak ialah :
a) Berkurangnya waktu untuk melakukan kegiatan lain yang diperlukan untuk memperkembangkan aspek kepribadiannya, misalnya pergaulan, olah raga dan kesenian.
b) Pada waktu anak mengikuti kelas biasa, ia merasa bosan dan pada anak-anak yang masih kecil, kemungkinan mengganggu teman-temannya bertambah.
c) Di kelas biasa anak tidak terlatih bersaing dan bekerja keras untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya.
2) Model B
Pada model ini anak mengikuti kelas biasa tetapi tidak seluruhnya (bisa 75%, 60%, 50%) dan ditambah dengan mengikuti kelas khusus.
Jumlah jam pelajaran tetap dan hal ini menguntungkan anak sehingga ia masih mempunyai waktu untuk melakukan dalam mengembangkan aspek-aspek kepribadiannya.
Keuntungan lain ialah jumlah jam belajar. yang cukup lama di kelas khusus (meskipun mungkin kelas mini) masih memperoleh kesempatan bersaing dengan teman-teman yangmempunyai potensi berbeda.
Kerugian pada anak sendiri ialah seperti pada model A yakni ketika berada di kelas bisatumbuh perasaan bosan dan mungkin mengganggu semua mata pelajaran adalahmudah akibat mudah tumbuhnya perasaan sombong dan terlalu percaya diri.
3) Model C
Pada model ini semua anak berbakat dimasukan dalam kelas secara penuh. Kurikulum dibuat secara khusus demikian pula guru-gurunya. Keuntungan pada model ini ialah mudah mengatur pelaksanaannya dan pada murid sendiri merasa ada persaingan dengan teman-temannya yang seimbang kemampuannya dan jumlah pelajaran serta kecepatan dalam menyelesaikan suatu mata pelajaran bisa disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan anak. Kerugian akan terjadi pada anak-anak normal yang sebaya, sehinga proses sosialisasi di sekolah menjadi berkurang. Perlakuan istimewa oleh pihak sekolah dan guru-guru mudah menimbulkan perasaan harga diri yang berlebihan (superiority Complex) Karena dalam kenyataannya ia berada dalam kelas yang eksklusif.
4) Model D
Pada model ini, merupakan sekolah khusus yang hanya mendidik anak berbakat. Dari sudut administrasi sekolah jelas mudah diatur. Tapi dari sudut anak banyak kerugiannya karena dengan mengikuti pendidikan sekolah khusus, anak terlempar jauh dari lingkungan sosialnya dan menjadi anggota kelompok sosial khusus dan istimewa. Perkembangan aspek kepribadian sangat mengkhawatirkan karena kurangnya kemungkinan untuk mendefinisasikan aspek-aspek kepribadian seluas-luasnya. Dalam hal ini bisa dicapai melalui pergaulan yang luas dan bervariasi, nilai sebagai anggota masyarakat, ia akan mudah merasa sebagai anggota masyarakat dengan kelas dan tingkatan tersendiri dan sulit menyesuaikan diri.
Beberapa kegiatan dalam implementasi kurikulum bidang studi tertentu.
Beberapa kegiatan khusus akan diuraikan secara kongkrit sebagai sampel (contoh-contoh) program dalam menjalankan kurikulum anak berbakat di SD.
a. Membaca
Mata pelajaran yang paling mudah dipenuhi dan paling banyak manfaatnya adalah memberikan bacaan-bacaan yang sangat berguna dan memberikan pendalaman tentang masalah yang diminatinya.
Seandainya sekolah tidak mempunyai perpustakaan, maka materi dapat diambil dari perpustakaan lembaga lain. Selain itu pemberian bacaan itu dapat dibarengi dengan tugas memberikan komentar dan catatan tentang buku tersebut. Juga "display" tentang materi bacaan yang dikumpulkan dari surat kabar, majalah atau sumber lain. (clipping) tentang topik-topik yang lagi "hangat" dibicarakan di sekolah atau masyarakat banyak membantu. Meskipun anak berbakat gemar membaca, tidak semua masalah dijangkau oleh minatnya. Pengarahan terhadap topik-topik yang relevan perlu diperhatikan gurunya. Demikian pula majalah yang tidak merusak pembentukan kepribadiannya merupakan masalah cukup penting. Pengarahan terhadap catatan, komentar, sugesti yang bagaimana harus diberikan anak berbakat terhadap bacaan berasal dari guru, umpamanya diarahkan; sesudah selesai membaca, beritahu karakter mana yang paling kau sukai atau kagumi dan mengapa ?. Tokoh mana yang paling tidak di sukai dan mengapa ?. Apakah dalam buku itu ada deskripsi Jelas tentang pribadinya secara nyata atau hanya disimpulkan dari kejadian-kejadian yang diceritakan. Moral apa yang terkandung dalam buku tersebut. Pengayaan melalui pelajaran membaca dapat juga dilaksanakan dalam kelompok kecil untuk memperoleh "interaksi yang hidup" dengan teman sebaya.
b. Menulis Kreatif (mengarang)
Kehidupan imaginasi anak berbakat biasanya sangat aktif dan mengarang merupakan sesuatu yang biasanya gemar dilakukannya. Namun ada anak berbakat yang cenderung minatnya ke ilmu pengetahuan alam (I PA) kadang memperoleh kesukaran dalam menyatakan dirinya, meskipun ide-ide dirinya banyak.
Mengarang adalah suatu sarana yang dalam memperoleh keterampilan menyatakan dirinya.
Kebimbangan memilih judul yang sesuai dapat dipancing dan diarahkan melalui.
1) Gambar seseorang atau sesuatu yang diperhatikan
2) "Passage" dalam bacaan seperti "Penerbang roket mengambil tempat duduknya dalam kapsul, menunggu tanda keberangkatannya .
c. Ilmu Pengetahuan Sosial
Pelajaran Sejarah, Pendidikan Kewarga-negaraan (PPKn), dan Ilmu Bumi dapat dikaitkan dengan membaca dan mempelajari berbagai tajuk sejarah maupun ilmu bumi melalui berbagai bacaan.Integrasi dari kedua bacaan ini memungkinkan pendalaman suatu penguasaan yang kongkrit dalam kaitan dengan kedua pelajaran tersebut. Juga menyuruh anak berbakat menemui beberapa tokoh tua di tempat tinggalnya untuk menanyakan peranan dalam perang kemerdekaan kita, dan memungkinkan kaitannya dengan PPKn. Suatu pameran tentang mata uang logam kuno dari negeri sendiri atau negara lain, tata cara pakaian, alat perang dan benda lain dari masa lalu serta pembangunan kini dapat menghidupkan sejarah, ilmu bumi dan PPKn secara integral.
Kejadian aktual seperti perjuangan bangsa Asia dan Afrika, perubahan dalam sistem transportasi, penemuan baru seperti "concorde" dan sebagainya, dengan sendirinya merupakan hal-hal yang akan sangatmenumbuhkan motivasi belajaranak berbakat.
Mata pelajaran lain seperti politik, ekonomi, antropologi sosiologi dan psikologi dapat diberikan secara ilmiah populer. Umpamanya masalah "Intel-group relation" adalah suatu topik yang dapat diperdalam dalam menggunting surat kabar atau majalah mengenai contoh konflik ada atau kerjasama dari kelompok tertentu. Demikian juga kejadian aktual seperti pemilu merupakan permasalahan politik yang dapat dijelaskan dalam kaitan dengan pemerintah. Suatu aktivitas longitudinal dalam hubungan denganekonomi adalah investasi dalam bidang bisnis yang berhubungan dengan usaha sekolah.
Demikian juga suatu masalah antropologi perlu dijelaskan melalui ensiklopedi, misalnya karakteristik mana dalam masyarakat kita yang bersifat universal?
d. IPA dan Pendidikan Kesehatan
Keterampilan proses (proses skills) dalam IPA pada akhir abad ini telah digalakan sebagai metodologi IPA yang membantu anak didik mengaitkan IPA dengan dasar kehidupan. Dalam memecahkan masalah IPA bukan lagi menghapal hukum dan aksioma saja, tetapi pengembangan aktivitas dan eksperimen yang membantu anak didik memperoleh keterampilan mengamati, mengelola, meramalkan suatu gejala serta menilai proses tersebut. Dalam hubungan dengan ini berbagai lomba ilmiah dapat diselenggarakan, atau mengadakan seminar para ahli di bidang IPA dan Kesehatan.
e. Matematika
Untuk mencari jalan terpendek atau termudah dalam menyelesaikan suatu soal matematika patut dilakukan anak berbakat. Pemahaman terhadap hubungan angka dengan membandingkan berbagai metode perkalian, pengurangan atau penambahan merupakan sesuatu yang menarik anak berbakat. Persoalan matematika yang dikaitkan dengan cerita akan sangat melatih keterampilannya.
Demikian pula teka-teki angka akan banyak memberi kesempatan melatih keluwesan kemampuan berhitung.
f. Kesenian dan Bahasa
Kreativitas anak berbakat dalam berbagai jenis kesenian dapat kesempatan berkembang dan mudah dikaitkan dengan perkembangan bahasa (umpama drama, deklamasi), Tetapi ada juga kegiatan kesenian yang secara khusus memperkaya perkembangan kesenian tertentu, seperti musik (band sekolah), melukis, membatik dan lain-lain. Kreativitas merupakan satu ciri khas dari anak berbakat. Kreativitas dapat diarahkan melalui berbagai kegiatan positif dan menantang.
g. Metode belajardan guru
Metode belajar yang paling cocok untuk anak berbakat adalah belajar melalui kelompok kecil atau individual. Bila anak berbakat harus belajar dalam kelas besar, maka prinsip pendekatan full-out enrichment dan akselerasi harus menjadi dasar untuk pengembangan pada perbedaan potensinya. Beberapa persyaratan yang diperlukan guru ialah guru harus seseorang yang memiliki intelegensi tinggi dan mempunyai minat luas dalam berbagai bidang. Minat guru yang ada harus dapat disampaikan dengan baik yang dimiliki orang lain. Keinginan guru belajar mendalami ilmu bersama murid terus menerus merupakan syarat lain yang harus dipenuhi guru anak berbakat.
Bagaimana Pendidikan anak Berbakat dalam Konteks Pendidikan Indonesia
Pembinaan bakat dan prestasi berkualitas tinggi penting bagi kelangsungan hidup serta kejayaan bangsa. Hal ini berarti bahwa pendidikan anak berbakat harus berangkat dari landasan konseptual filisofis yang sama untuk digunakan dalam pendidikan biasa. Sebagaimana halnya dengan anak-anak yang mengalami hambatan (handicap) anak berbakat perlu mendapat layanan yang berbeda dari yang diberikan kepada anak-anak. pada umumnya untuk memungkinkan mereka mewujudkan potensinya secara maksimal.
Di Indonesia sampai saat ini layanan khusus untuk anak-anak berbakat yang dimaksud praktis belum ada, meskipun pemikiran ke arah itu telah pernah dirintis, salah satunya pemberian beasiswa (T. Raka Joni,1982).
Tinjauan sekilas di sejumlah negara lain memberikan gambaran yang tidak terlalu jauh berbeda, perhatian jauh lebih banyak ditujukan kepada anak-anak yang mengalami hambatan, bukan kepada anak-anak berbakat istimewa. Dan apabila kita ingin mulai merintis layanan khusus yang dimaksud, maka seharusnya kerangka acuan dengan wawasan ke pendidikan yang lebih luas, perlu dimantapkan terlebih dahulu, dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti berikut ini
1) Apakah yang dimaksud dengan bakat (istimewa) itu Apa bidang-bidangnya, dan bagaimana diungkapkannya?
2) Untuk apa, baik dilihat dari segi individu maupun dari segi pemerintah dan masyarakat, bakat-bakat istimewa tersebut terbina?
3) Bagaimana pembuatan bakat yang dimaksud dilaksanakan? Perlukah dilakukan penetapan urutan prioritas? Apa isi program pembinaannya dan apa pula persyaratan sarana, prasarana serta personelnya? Bagaimana program tersebut diorganisasikan serta diadministrasikan sehingga dapat tercapai tujuan dengan efektiftetapi efisien?
4) Bagaimana kita bisa tahu bahwa prediksi prestasi berkualitas tinggi yang dibuat itu efektif? Bagaimana kita tahu bahwa program pembinaan bakat istimewa itu berhasil? Apa indikator keberhasilannya?
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mudah-mudahan pemikiran untuk mewujudkan lembaga pendidikan anak berbakat bisa terwujud. Tentu saja disesuaikan dengan kondisi yang ada di masyarakat dan pemerintah Indonesia. Demikianlah uraian yang menggambarkan anak berbakat, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua.

http://www.depdiknas.go.id/publikasi/Buletin/Pppg_Tertulis/08_2001/Anak_berbakat.htm

Oleh: Dr. Reni Akbar-Hawadi, Psi
________________________________________
Learning Disability
Kesulitan belajar (Learning Disability) adalah cacat syaraf (neurological handicap) yang mempengaruhi kemampuan otak anak untuk mengerti, mengingat, dan mengkomunikasikan informasi. Kerusakan syaraf yang terjadi ini dapat berakibat menganggu pada fungsi otak lainnya, yang menyebabkan masalah akademik anak dalam bidang seperti:
• persepsi visual (misalnya anak tidak bisa membedakan huruf b dan d, huruf w dan m, huruf p dan q)
• pemprosesan bahasa (misal salah dalam menangkap dan memahami instruksi)
• kemampuan motorik halus (misal: tulisannya susah dibaca, belum bisa menggunting)
• kemampuan memusatkan perhatian (misalnya tugas-tugas tidak pernah selesai tetapi ingin mengerjakan tugas lainnya)
Anak yang mengalami LD (Learning Disability) nyaris tidak terlihat, karena anak-anak LD memiliki taraf kecerdasan yang normal, bahkan jauh melampaui diatas rata-rata. Mereka biasanya tampak tertinggal dalam beberapa area kemampuan tetapi masih normal dalam area kemampuan yang lain. Sebenarnya yang dialami anak-anak LD ini adalah mendapatkan prestasi yang tidak sesuai dengan harapan (unexpected underachievement), yaitu adanya kesenjangan antara yang seharusnya mampu mereka lakukan dengan apa yang sebenarnya dapat mereka lakukan.
Kondisi yang dialami mereka menyebabkan mereka dicap dengan kesan yang salah seperti “anak dungu, anak kurang ajar, atau anak malas”. Dan pernyataan ini membuat anak semakin depresi.
Masalah Perilaku LD
Beberapa masalah perilaku yang biasanya muncul pada anak LD adalah :
• Jangka perhatian yang pendek: sangat mudah terganggu, cepat bosan dengan aktivitas baru, pindah dari satu kegiatan ke kegiatan lain dan sering meninggalkan pekerjaannya yang belum selesai.
• Kesulitan mengikuti arah: seringkali bertanya berulang kali, minta petunjuk untuk hal-hal yang mudah sekalipun, karena intruksi yang diberikan tidak sepenuhnya dipahami.
• Ketidak matangan sosial: berperilaku seperti anak dengan usia dibawahnya, bersifat kekanak-kanakan.
• Kesulitan dalam melakukan percakapan: seringkali kesulitan menemukan kata yang tepat dalam melakukan percakapannya.
• Tidak Fleksibel: keras kepala dalam hal mempertahankan caranya mengerjakan sesuatu, ia menolak untuk menerima saran ataupun mau menerima pertolongan orang.
• Perencanaan dan keterampilan organisasi buruk: seringkali terlambat dan jika diberikan beberapa tugas sekaligus, ia tidak memiliki gagasan harus memulainya dari mana.
• Absentmindedness: seringkali lupa membuat PR, kehilangan baju dan miliknya yang lain, bermasalah dengan janji yang dibuatnya.
• Ceroboh: tampak kikuk dan kurang terkoordinasi; sering terbentur, dan menjatuhkan barang, menumpahkan sesuatu, tulisan tangan buruk.
• Pengendalian diri buruk: Anak LD akan menyentuh apapun yang menarik minatnya, mengomentari apa yang ia lihat tanpa berpikir panjang sebab akibatnya, memotong pembicaraan, dan menerobos antrian.
Pedoman Tanda adanya LD (Learning Disability)
Masalah-masalah yang dihadapi anak LD adalah masalah yang menyangkut kemampuan akademik dasar seperti calistung (membaca, menulis dan berhitung). Hal ini menyebabkan anak-anak LD sulit diidentifikasi. Apalagi untuk mengidentifikasi anak LD diperlukan waktu yang cukup untuk observasi, wawancara dan penilaian satu persatu. Disarankan agar orangtua tidak menunggu waktu lama untuk memutuskan anaknya mengidap LD, dengan mengenal 6 tanda dibawah ini:
1. Perkembangan yang terlambat.
LD baru dapat diketahui pada saat anak memasuki masa sekolah. Performance anak yang jauh berbeda atau tertinggal dengan teman-teman seusianya menjadi salah satu indikator bahwa ada sesuatu yang salah pada diri anak. Jadi bandingkanlah perilaku anak anda dengan perilaku anak seharusnya pada usia kalendernya.
2. Penampilan yang tidak konsisten.
Anak LD menampilkan perilaku yang tidak konsisten. Ia bisa saja mampu melakukan soal matematika yang diberikan guru saat ini tetapi kemudian jika diminta lagi melakukan soal tersebut pada pekan depan, maka ia tidak mampu melakukannya. Ada juga anak yang tulisannya jelek tetapi hasil lukisannya baik.
3. Kehilangan minat belajar
Sebenarnya anak-anak ini suka belajar, namun antusiasme mereka semakin berkurang begitu masuk sekolah karena mereka mengalami gangguan dalam pemprosesan informasi, dimana dibutuhkan daya ingat dan pengorganisasian informasi dalam jumlah besar. Biasanya tanda yang amat jelas adalah:
o suka menunda pekerjaan (prokastinator),
o anak sering mengeluh pusing, sakit perut, dan ijin untuk tidak masuk sekolah.
o Anak sering mengeluh hal-hal yang tidak berhubungan dengan kegiatan belajar
o Anak mengeluh pelajarannya terlalu susah.
o Anak mengeluh pelajarannya membosankan
o Jika ditanya tentang sekolah, anak hanya menjawab tidak ada apa-apa, baik.
o Anak tidak menunjukkan hasil pekerjaan sekolahnya pada orangtua.

• Tidak dapat mencapai prestasi seperti yang diharapkan
Adanya kesenjangan antara potensi dan prestasi yang ditunjukkan anak dapat menjadi tanda utama bagi orangtua. Meskipun nilai anak sudah mencapai tingkat rata-rata, orangtua harus tetap memantau perkembangan anak, karena bagi anak-anak dengan IQ tinggi, prestasi yang dihasilkannya dapat mencapai jauh diatas rata-rata.
• Masalah tingkah laku yang menetap
Anak LD umumnya bermasalah dalam berperilaku. Dan hal ini sudah terlihat sejak bayi. Bagi anak yang mengalami kesulitan dalam persepsi visual dan bahasa, mereka mengalami kesulitan dan memahami dan mengingat informasi, sehingga sering terkesan anak sukar diatur dan kasar. Ada perubahan mood yang menyolok. Anak LD kemudian dianggap sebagai anak yang keras kepala, malas, tidak peka, tidak bertanggung jawab, dan tidak mau bekerja sama. Beberapa tanda yang mudah dikenali yaitu:
• Kemarahan besar yang diekspresikan secara verbal (
• Kecemasan yang berlebihan
• Depresi, memisahkan diri dari orang lain, sedih dan pesimis tentang masa depan, kehilangan minat pada aktivitas yang dulu digemari, merasa bersalah dan tidak berharga dan tidak mampu membuat keputusan.
• Perilaku melarikan diri
• Perilaku menantang bahaya
• Perilaku antisosial
• Kurangnya kepercayaan dan harga diri
Anak sering menganggap dirinya bodoh yang akan menurunkan motivasi akademis mereka. Anak LD rentan terhadap situasi yang disebut learned helplessness, kondisi dimana mereka sudah putus asa dan berhenti mencoba.
Anak berbakat dan LD
Memiliki anak berbakat sudah berat, apalagi ditambah dengan gejala LD. Anak LD dengan kecerdasan tinggi tidak menjadikan dia sebagai seorang yang disebut gifted karena dengan konsep diri yang buruk dan motivasi yang rendah membuat potensi anak tidak teraktualisasi.
Seseorang dikatakan berbakat dalam bidang tertentu jika dia mampu menunjukkan hasil karyanya dalam bidang tertentu yang hasilnya jauh diatas rata-rata orang lain dengan karya yang sama dalam bidang tersebut.
Keberbakatan selalu menunjuk pada keunggulan dalam area tertentu. Suatu hal yang kontradiktif jika kita mengatakan seorang berbakat namun berkesulitan belajar. Keberbakatan yang dimaksud adalah suatu potensi kecerdasan yang ia miliki dalam katagori taraf kecerdasan very superior.
Tentu saja ada hal-hal yang harus dikejar oleh anak LD agar ia dikatakan gifted, yaitu dari sisi komitmen terhadap tugas, mengacu pada ciri-ciri kepribadian seperti ulet, tekun, persistensi, disiplin, bersemangat, kerja keras dan tidak mudah menyerah.
Seandainya anda memiliki anak dengan taraf kecerdasan 130 keatas, namun memiliki tanda-tanda atau karakteristik LD seperti itu maka sebaiknya segera ke dokter spesialis neurologi anak untuk memperoleh cara penanganan yang tepat.

Anak Berbakat

DETEKSI TERHADAP ANAK-ANAK BERBAKAT
1. Pengertian Anak berbakat
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan antara lain bahwa "warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus" (Pasal 5, ayat 4). Di samping itu juga dikatakan bahwa "setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya" (pasal 12, ayat 1b). Hal ini pasti merupakan berita yan gmenggembirakan bagi warga negara yang memiliki bakat khusus dan tingkat kecerdasan yang istimewa untuk mendapat pelayanan pendidikan sebaik-baiknya.

Banyak referensi menyebutkan bahwa di dunia ini sekitar 10 – 15% anak berbakat dalam pengertian memiliki kecerdasan atau kelebihan yang luar biasa jika dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Kelebihan-kelebihan mereka bisa nampak dalam salah satu atau lebih tanda-tanda berikut:
• Kemampuan inteligensi umum yang sangat tinggi, biasanya ditunjukkan dengan perolehan tes inteligensi yang sangat tinggi, misal IQ diatas 120.
• Bakat istimewa dalam bidang tertentu, misalnya bidang bahasa, matematika, seni, dan lain-lain. Hal ini biasanya ditunjukkan dengan prestasi istimewa dalam bidang-bidang tersebut.
• Kreativitas yang tinggi dalam berpikir, yaitu kemampuan untuk menemukan ide-ide baru.
• Kemampuan memimpin yang menonjol, yaitu kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan harapan kelompok.
• Prestasi-prestasi istimewa dalam bidang seni atau bidang lain, misalnya seni musik, drama, tari, lukis, dan lain-lain.
Pada zaman modern ini orang tua semakin sadar bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang tidak bisa ditawar-tawar. Oleh sebab itu tidak mengherankan pula bahwa semakin banyak orang tua yang merasa perlu cepat-cepat memasukkan anaknya ke sekolah sejak usia dini. Mereka sangat berharap agar anak-anak mereka "cepat menjadi pandai." Sementara itu banyak orang tua yang menjadi panik dan was-was jika melihat adanya gejala-gejala atau perilaku-perilaku anaknya yang berbeda dari anak seusianya. Misalnya saja ada anak berumur tiga tahun sudah dapat membaca lancar seperti layaknya anak usia tujuh tahun; atau ada anak yang baru berumur lima tahun tetapi cara berpikirnya seperti orang dewasa, dan lain-lain. Dapat terjadi bahwa gejala-gejala dan "perilaku aneh" dari anak itu merupakan tanda bahwa anak memiliki kemampuan istimewa. Maka dari itu kiranya perlu para guru dan orang tua bisa mendeteksi sejak dini tanda-tanda adanya kemampuan istimewa pada anak agar anak-anak yang memiliki bakat dan kemampuan isitimewa seperti itu dapat diberi pelayanan pendidikan yang memadai.

2. Tanda-tanda Umum Anak Berbakat
Sejak usia dini sudah dapat dilihat adanya kemungkinan anak memiliki bakat yang istimewa. Sebagai contoh ada anak yang baru berumur dua tahun tetapi lebih suka memilih alat-alat mainan untuk anak berumur 6-7 tahun; atau anak usia tiga tahun tetapi sudah mampu membaca buku-buku yang diperuntukkan bagi anak usia 7-8 tahun. Mereka akan sangat senang jika mendapat pelayanan seperti yang mereka harapkan.

Anak yang memiliki bakat istimewa sering kali memiliki tahap perkembangan yang tidak serentak. Ia dapat hidup dalam berbagai usia perkembangan, misalnya: anak berusia tiga tahun, kalau sedang bermain seperti anak seusianya, tetapi kalau membaca seperti anak berusia 10 tahun, kalau mengerjakan matematika seperti anak usia 12 tahun, dan kalau berbicara seperti anak berusia lima tahun. Yang perlu dipahami adalah bahwa anak berbakat umumnya tidak hanya belajar lebih cepat, tetapi juga sering menggunakan cara yang berbeda dari teman-teman seusianya. Hal ini tidak jarang membuat guru di sekolah mengalamai kesulitan, bahkan sering merasa terganggu dengan anak-anak seperti itu. Di samping itu anak berbakat istimewa biasanya memiliki kemampuan menerima informasi dalam jumlah yang besar sekaligus. Jika ia hanya mendapat sedikit informasi maka ia akan cepat menjadi "kehausan" akan informasi.

Di kelas-kelas Taman Kanak-Kanak atau Sekolah Dasar anak-anak berbakat sering tidak menunjukkan prestasi yang menonjol. Sebaliknya justru menunjukkan perilaku yang kurang menyenangkan, misalnya: tulisannya tidak teratur, mudah bosan dengan cara guru mengajar, terlalu cepat menyelesaikan tugas tetapi kurang teliti, dan sebagainya. Yang menjadi minat dan perhatiannya kadang-kadang justru hal-hal yan gtidak diajarkan di kelas. Tulisan anak berbakat sering kurang teratur karena ada perbedaan perkembangan antara perkembangan kognitif (pemahaman, pikiran) dan perkembangan motorik, dalam hal ini gerakan tangan dan jari untuk menulis. Perkembangan pikirannya jauh ebih cepat daripada perkembangan motoriknya. Demikian juga seringkali ada perbedaan antara perkembangan kognitif dan perkembangan bahasanya, sehingga dia menjadi berbicara agak gagap karena pikirannya lebih cepat daripada alat-alat bicara di mulutnya.
3. Pelayanan Bagi Anak Berbakat
Mengingat bahwa anak berbakat memiliki kemampuan dan minat yang amat berbeda dari anak-anak sebayanya, maka agak sulit jika anak berbakat dimasukkan pada sekolah tradisional, bercampur dengan anak-anak lainnya. Di kelas-kelas seperti itu akan terjadi dua kerugian, yaitu:
(1) anak berbakat akan frustrasi karena tidak mendapat pelayanan yang dibutuhkan, dan (2) guru dan teman-teman kelasnya akan bisa sangat terganggu oleh perilaku anak berbakat tadi.

Beberapa kemungkinan pelayanan anak berbakat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1). Menyelenggarakan program akselerasi khusus untuk anak-anak berbakat. Program akselerasi dapat dilakukan dengan cara "lompat kelas", artinya anak dari Taman Kanak-Kanak misalnya tidak harus melalui kelas I Sekolah Dasar, tetapi misalnya langsung ke kelas II, atau bahkan ke kelas III Sekolah Dasar. Demikian juga dari kelas III Sekolah Dasar bisa saja langsung ke kelas V jika memang anaknya sudah matang untuk menempuhnya. Jadi program akselerasi dapat dilakukan untuk:
(a) seluruh mata pelajaran, atau disebut akselerasi kelas, ataupun
(b) akselerasi untuk beberapa mata pelajaran saja.
Dalam program akselerasi untuk seluruh mata pelajaran berarti anak tidak perlu menempuh kelas secara berturutan, tetapi dapat melompati kelas tertentu, misalnya anak kelas I Sekolah Dasar langsung naik ke kelas III. Dapat juga program akselerasi hanya diberlakukan untuk mata pelajaran yang luar biasa saja. Misalnya saja anak kelas I Sekolah Dasar yang berbakat istimewa dalam bidang matematika, maka ia diperkenankan menempuh pelajaran matematika di kelas III, tetapi pelajaran lain tetap di kelas I. Demikian juga kalau ada anak kelas II Sekolah Dasar yang sangat maju dalam bidang bahasa Inggris, ia boleh mengikuti pelajaran bahasa Inggris di kelas V atau VI.

2) Home-schooling (pendidikan non formal di luar sekolah).
Jika sekolah keberatan dengan pelayanan anak berbakat menggunakan model akselerasi kelas atau akselerasi mata pelajaran, maka cara lain yang dapat ditempuh adalah memberikan pendidikan tambahan di rumah/di luar sekolah, yang sering disebut home-schooling. Dalam home-schooling orang tua atau tenaga ahli yang ditunjuk bisa membuat program khusus yang sesuai dengan bakat istimewa anak yang bersangkutan. Pada suatu ketika jika anak sudah siap kembali ke sekolah, maka ia bisa saja dikembalikan ke sekolah pada kelas tertentu yang cocok dengan tingkat perkembangannya.

3) Menyelenggarakan kelas-kelas tradisional dengan pendekatan individual.
Dalam model ini biasanya jumlah anak per kelas harus sangat terbatas sehingga perhatian guru terhadap perbedaan individual masih bisa cukup memadai, misalnya maksimum 20 anak. Masing-masing anak didorong untuk belajar menurut ritmenya masing-masing. Anak yang sudah sangat maju diberi tugas dan materi yang lebih banyak dan lebih mendalam daripada anak lainnya; sebaliknya anak yang agak lamban diberi materi dan tugas yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. Demikian pula guru harus siap dengan berbagai bahan yang mungkin akan dipilih oleh anak untuk dipelajari. Guru dalam hal ini menjadi sangat sibuk dengan memberikan perhatian individual kepada anak yang berbeda-beda tingkat perkembangan dan ritme belajarnya.

4) Membangun kelas khusus untuk anak berbakat.
Dalam hal ini anak-anak yang memiliki bakat/kemampuan yang kurang lebih sama dikumpulkan dan diberi pendidikan khusus yang berbeda dari kelas-kelas tradisional bagi anak-anak seusianya. Kelas seperti ini pun harus merupakan kelas kecil di mana pendekatan individual lebih diutamakan daripada pendekatan klasikal. Kelas khusus anak berbakat harus memiliki kurikulum khusus yang dirancang tersendiri sesuai dengan kebutuhan anak-anak berbakat. Sistem evaluasi dan pembelajarannyapun harus dibuat yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

5.Pergaulan Anak Berbakat
Anak berbakat seringkali lebih suka bergaul dengan anak-anak yang lebih tua dari segi usia, khususnya mereka yang memiliki keunggulan dalam bidang yang diminati. Misalnya saja ada anak kelas II Sekolah Dasar yang sangat suka bermain catur dengan orang-orang dewasa, karena jika ia bermain dengan teman sebayanya rasanya kurang berimbang. Dalam hal ini para orang tua dan guru harus memakluminya dan membiarkannya sejauh itu tidak merugikan perkembangan yang lain.

Di dalam keluarga pun orang tua hendaknya mencarikan teman yang cocok bagi anak-anak berbakat sehingga ia tidak merasa kesepian dalam hidupnya. Jika ia tidak mendapat teman yang cocok, maka tidak jarang orang tua dan keluarga, menjadi teman pergaulan mereka. Umumnya anak berbakat lebih suka bertanya jawab hal-hal yang mendalam daripada hal-hal yang kecil dan remeh. Kesanggupan orang tua dan keluarga untuk bergaul dengan anak berbakat akan sangat membantu perkembangan dirinya.

Disleksia

BAB I
PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang
Membaca merupakan kebutuhan individu yang amat penting dan menduduki posisi sentral bagi kehidupan manusia di era globalisai. Tanpa membaca manusia akan miskin informasi, pengetahuan, dan tertinggal dari berbagai kemajuan dan perubahan zaman.
Membaca merupakan proses ganda dan simultan, yang mengandung dua proses dan merupakan perpaduan antara proses mental dan fisik. Selama kegiatan membaca berlangsung bukan artikulator saja yang terlibat, melainkan mental psikologis pun turut campur dalam menentukan kualitas dan hasil baca yang dilakukan individu.
Ketidakmampuan membaca pada anak sering digeneralisir sebagai kelemahan intelegensi. Padahal, bisa jadi ia mengalami disleksia. Disleksia atau gangguan berupa kesulitan membaca, menurut Jacinta F. Rini, M.Psi, dari Hermawan Consulting, pada dasarnya disebabkan kelainan neurologis. Gejalanya, kemampuan membaca si anak berada di bawah kemampuan yang semestinya dengan mempertimbangkan tingkat intelegensi, usia dan pendidikannya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh John Bradford (pendiri Direct Learning, sebuah lembaga pengembangan program untuk Learning Disabilities di Amerika), disleksia lebih banyak diderita pria daripada wanita. Gangguan ini bukanlah bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti kesulitan visual. Ia lebih mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut.
Gangguan ini merupakan gangguan dalam memperlakukan huruf-huruf dan kata-kata misalnya simbol-simbol yang diakibatkan berkurangnya kemampuan mengintegrasikan kebermaknaan bahan tertulis. Problem tersebut tampaknya merefleksikan suatu pola gangguan dasar organisasi neurologis karena sebab biologis atau endogenous (Helen M.Robinson,1968:167).
Kesulitan membaca yang tidak diharapkan (kesulitan membaca pada seseorang yang tidak sesuai dengan kemampuan kognitif orang tersebut atau tidak sesuai dengan usia, tingkat kepandaian dan tingkat pendidikan), selain itu terdapat masalah yang berhubungan dengan fonologik.
Pada anak usia prasekolah, adanya riwayat keterlambatan berbahasa atau tidak tampaknya bunyi dari suatu kata (kesulitan bermain kata-kata yang berirama, kebingungan dalam menghadapi kata-kata yang mirip, kesulitan belajar mengenal huruf) disertai dengan adanya riwayat keluarga yang menderita disleksia, menunjukkan faktor risiko yang bermakna untuk menderita disleksia.
Pada anak usia sekolah biasanya keluhan berupa kurangnya tampilan di sekolah tetapi sering orangtua dan guru tidak menyadari bahwa anak tersebut mengalami kesulitan membaca. Biasanya anak akan terlihat terlambat berbicara, tidak belajar huruf di taman kanak-kanak dan tidak belajar membaca pada sekolah dasar. Anak tersebut akan makin tertinggal dalam hal pelajaran sedangkan guru dan orangtua biasanya makin heran mengapa anak dengan tingkat kepandaian yang baik mengalami kesulitan membaca.

I.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu Disleksia ?
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Disleksia ?
3. Bagaimana ciri-ciri anak yang mengalami Disleksia ?
4. Bagaimana cara mengatasi anak yang mengalami Disleksia ?

I.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan, agar pembaca dapat mengetahui apa itu disleksia, dan mengapa hal itu bisa terjadi. Karena di zaman sekarang ini, anak-anak yang mengalami disleksia makin banyak, dan terkadang sering kita jumpai.

I.4 Manfaat Penulisan
Manfaat bagi penulis ialah agar penulis dapat mengerti dan mengetahui tentang sebab-sebab atau faktor-faktor yang menyebabkan anak menjadi disleksia. Makalah ini juga berguna bagi orang tua yang tidak ingin anaknya mengalami disleksia, serta bagaimana cara orang tua, atau guru mengatasi atau membimbing anak yang mengalami disleksia.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Apa Itu Disleksia ?
Asal istilah disleksia diatributkan pada Kausmaul, yang pada tahun 1877 mengartikan kata aleksia sebagai kebutaan kata (word blindness). Pada tahun 1891 Jules Dejerine, seorang dokter ahli bedah dan patologi klinis, menyajikan data autopsi tentang individu yang mengalami luka penyempitan pembuluh otak dan belahan otak kiri, dan ia mengistilahkan ketakmampuan/kesulitan membaca (reading disabilities), untuk kata kebutaan kata (Reynold & Mann, 1987:489). W.Tringle Morgan, Optalmog berkebangsaan Inggris tahun 1896 memberikan hasil studi kasusnya tentang disleksia yang dimuat dalam Journal Kedokteran Inggris, mengusulkan istilah kebutaan kata bawaan (congenital word blindness) untuk menunjuk konsep dislkesia (Reynold & Mann, 1987:1304; Harre & Lamb, 1984:166).
Disleksia terdiri daripada dua perkataan Yunani yaitu "DYN" bermakna susah, dan "LEXIA" bermakna tulisan. Disleksia bukannya satu penyakit, tetapi merupakan salah satu gangguan dalam pembelajaran yang biasanya dialami oleh kanak-kanak. Lazimnya, masalah pembelajaran yang dihadapi adalah seperti membaca, menulis, mengeja, dan kemahiran mengira. Oleh itu dyslexia merujuk kepada mereka yang menghadapi masalah untuk membaca dan menulis walaupun mempunyai daya pemikiran yang normal.
Disleksia adalah gangguan akan kemampuan membaca, yaitu kemampuan membaca anak berada di bawah kemampuan seharusnya, dengan mempertimbangkan tingkat inteligensi, usia, dan pendidikannya.
Gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti masalah penglihatan, tetapi mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut. Kesulitan ini biasanya baru terdeteksi
setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu.
Menurut T. L. Harris dan R. E Hodges (Corsini, 1987:44) disleksia menunjuk pada anak yang tidak dapat membaca sekalipun penglihatan, pendengaran intelegensinya normal, dan keterampilan usia bahasanya sesuai.
Bryan & Brayan sebagaimana dikutip oleh Mercer (1987, 310-311) mentakrifkan disleksia sebagai suatu bentuk kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, yang secara histories menjukkan perkembangan bahasa lambat dan hampir selalu bermasalah dalam menulis dan mengeja serta berkesulitan dalam mempelajari sistem repsentasional misalnya berkenaan dengan waktu, arah dan masa.
Tetapi yang paling penting diingat adalah disleksia tidak ada kaitannya dengan inteligensia seseorang. Psikolog dari Perkumpulan Disleksia Singapura, Kevin Smith, menjelaskan disleksia pada anak tidak ada hubungannya dengan tingkat inteligensia, bahkan beberapa jenius dunia, seperti Albert Einstein, Galileo Galilei, Thomas Alfa Edison, Beethoven, Tom Cruise, Whoopi Goldberg, pun mengalami disleksia pada masa kecilnya. Sebuah majalah terbitan Amerika Serikat menerbitkan laporan tentang dugaan gangguan disleksia yang dialami Presiden AS, George W Bush, menjelang pemilihan umum kemarin. Disebutkan, Bush selama masa kampanye sering salah menyebutkan kata-kata. Misalnya, ia ingin menyatakan AS sebagai negara peacemaker (pencipta perdamaian), namun ia mengucapkan pacemaker (alat pacu jantung). Kata tariffs and barriers (bea dan cukai), diucapkan terriers (jenis anjing terier) untuk kata barriers. Selain itu, ada beberapa kata lagi yang diucapkan salah, dan pengucapan kata-kata dan kalimat yang salah tadi dilakukan secara konsisten, sehingga bisa diindikasikan ia.
menderita disleksia.
Disleksia ditandai dengan adanya kesulitan membaca pada anak maupun dewasa yang seharusnya menunjukkan kemampuan dan motivasi untuk membaca secara fasih dan akurat. Disleksia merupakan salah satu masalah tersering yang terjadi pada anak dan dewasa. angka kejadian di dunia berkisar 5-17% pada anak usia sekolah. Disleksia adalah gangguan yang paling sering terjadi pada masalah belajar. Kurang lebih 80% penderita gangguan belajar mengalami disleksia.
Angka kejadian disleksia lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan dengan perempuan yaitu berkisar 2:1 sampai 5:1. Ada juga yang mengatakan bahwa ternyata tidak terdapat perbedaan angka kejadian antara laki-laki dan perempuan.

2. Faktor-faktor Penyebab Disleksia
Disleksia adalah gangguan akan kemampuan membaca, yaitu kemampuan membaca anak berada di bawah kemampuan seharusnya, dengan mempertimbangkan tingkat inteligensi, usia, dan pendidikannya.
Gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti masalah penglihatan, tetapi mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut. Kesulitan ini biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu.
Disleksia disebabkan adanya masalah di bagian otak, yang mengatur proses belajar. Faktor genetik atau keturunan juga berperan. Misalnya, jika seorang ayah susah membaca atau mengalami disleksia, bukan tidak mungkin si anak akan mengalami kesulitan serupa.
Meski belum ada yang dapat memastikan penyebab disleksia ini, penelitian-penelitian menyimpulkan adanya 3 faktor penyebab, yaitu;
• Faktor keturunan
Disleksia cenderung terdapat pada keluarga yang mempunyai anggota kidal. Orang tua yang disleksia tidak secara otomatis menurunkan gangguan ini kepada anak-anaknya, atau anak kidal pasti disleksia. Penelitian John Bradford (1999) di Amerika menemukan indikasi, bahwa 80 persen dari seluruh subjek yang diteliti oleh lembaganya mempunyai sejarah atau latar belakang anggota keluarga yang mengalami learning disabilities, dan 60% di antaranya punya anggota keluarga yang kidal.

• Problem pendengaran sejak usia dini
Apabila dalam 5 tahun pertama, seorang anak sering mengalami flu dan infeksi tenggorokan, maka kondisi ini dapat mempengaruhi pendengaran dan perkembangannya dari waktu ke waktu hingga dapat menyebabkan cacat. Kondisi ini hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan intensif dan detail dari dokter ahli.
Jika kesulitan pendengaran terjadi sejak dini dan tidak terdeteksi, maka otak yang sedang berkembang akan sulit menghubungkan bunyi atau suara yang didengarnya dengan huruf atau kata yang dilihatnya. Padahal, perkembangan kemampuan ini sangat penting bagi perkembangan kemampuan bahasa yang akhirnya dapat menyebabkan kesulitan jangka panjang, terutama jika disleksia ini tidak segera ditindaklanjuti. Konsultasi dan penanganan dari dokter ahli amatlah diperlukan.

• Faktor kombinasi
Ada pula kasus disleksia yang disebabkan kombinasi dari 2 faktor di atas, yaitu problem pendengaran sejak kecil dan faktor keturunan. Faktor kombinasi ini menyebabkan kondisi anak dengan gangguan disleksia menjadi kian serius atau parah, hingga perlu penanganan menyeluruh dan kontinyu. Bisa jadi, prosesnya berlangsung sampai anak tersebut dewasa.
Dengan perkembangan teknologi CT Scan, bisa dilihat bahwa perkembangan sel-sel otak penderita disleksia berbeda dari mereka yang nondisleksia. Perbedaan ini mempengaruhi perkembangan fungsi-fungsi tertentu pada otak mereka, terutama otak bagian kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis.
Selain itu, terjadi perkembangan yang tidak proporsional pada sistem magno-cellular di otak penderita disleksia. Sistem ini berhubungan dengan kemampuan melihat benda bergerak. Akibatnya, objek yang mereka lihat tampak berukuran lebih kecil. Kondisi ini menyebabkan proses membaca jadi lebih sulit karena saat itu otak harus mengenali secara cepat huruf-huruf dan sejumlah kata berbeda yang terlihat secara bersamaan oleh mata.
Diambil dari buku “ Pendidikan Bagi Anak Disleksia “ Debdikbud. Sebab terjadinya disleksia antara lain :
1. Gangguan persepsi penglihatan
Kinsbourmen dan Warrington ( Williams, 1981:122) menyatakan bahwa anak disleksia mungkin memiliki kesulitan dalam mengfiksasi rangsangan, sehingga banyak bagian kata atau kalimat tak terpersepsi secara baik. Selain itu pada anak disleksia juga mengalami kesulitan dalam mengikuti urutan dari kiri ke kanan sehingga cendrung melihat kata-kata dengan cara sembarangan. Anak disleksia juga tak mampuy mengenal aspek-aspek visual tentang huruf atau kata, namun ia akan mampu berbuat jika mengangkat tangannya untuk mendekatkan bahan tertulis.
2. Kurang dominannya belahan otak
Otak dibedakan menjadi dua belahan yaitu hemisfer kiri dan kanan. Bagi kebanyakan orang, hemisfer kiri lebih dominan dari pada kanan. Pada kasus disleksia, menunjukkan adanya gangguan atau kekurangan cerebral atau dominasi kemisfer. Jadi, satu paroan otak gagal mengambil kontrol lebih banyak pada fungsi-fungsi bahasa.
3. Difungsi minimal otak
Anak disleksia banyak yang mengalami gangguan saraf otak dan atau cidera otak. Namun banyak kasus para neurolog tidak mampu menemukan suatu gangguan neurologis, karena kesimpulan disfungsi minimal otak adalah kadang-kadang dipaksakan ( Kirk, Kliebhan & Lerner, 1978:17 ).
4. Gangguan keterampilan perseptual-motor
Dalam kegiatan membaca diperlukan gerak tertentu. Gerak ini muncul akibat adanya stimulus berupa huruf, kata, dan kalimat serta keinginan si pembaca untuk memberikan sambutan terhadap stimulus yang ada. Gerak yang saat membaca berpusat pada mata bagi individu awas dan berpusat pada jari bagi individu tak awas. Gerak mata saat membca ditandai oleh gerakan fiksasi, gerakan interfiksasi, gerakan regresi dan mata gerak (jalan) kembali. Adapun waktu yang diperlukan mempunyai dua elemen yaitu waktu fikasasi dan waktu gerak ( Dechant & Smith, 1977:122-123). Fiksasi yaitu berhentinya mata sejenak sehingga membuatnya dapat mereaksi stimulus yang ada.
5. Gangguan indokrin dan keseimbangan kimiawi
secara umum kesehatan yang baik akan menopang membaca yang baik, dan kesehatan yang jelek sering diasosiasikan dengan gangguan membaca. Park dan Schneider mengatakan bahwa ada sejumlah penelitian memperlakukan pengaruh disfungsi kelenjer terutama tidak berfungsi kelenjer dibwah otak , kekurangan vitamin, gangguan kelenjer indokrin, gangguan saraf, malnutrisi, dan problema peredaran nutrisi, dan perubahan system metabolisme terhadap kesulitan membaca ( Dechant, 1982:85 ). Studi lain menekankan efek adenoid, penularan atau peradangan amandel, gigi jarang, alergi, asma, tuberculosis, rachitis, demam encok dan sakit berkepanjangan terhadap kesulitan membaca ( Dechant, 1982:85 ).
6. Pengalaman masa kecil tak menyenangkan ( tarumatis)
Menurut Dechant (1982:30), pengalaman kehidupan khusus seseorang merupakan penentuan umum hakikat interprestasi yang akan diberikan pada suatu peristiwa atau kata. Individu adalah gudang pengalaman masa lampau yang menjadi basis penginterprestasian pengalaman atau rangsangan-rangsangan baru.
7. Kurangnya pelayanan kesehatan
Dalam pelayanan kesehjatan paling tidak konsep yang tercakup di dalamnya, yaitu (a) pelayanan kesehatan saat janin masih dalam kandungan, (b) pelayanan kesehatan saat bayi lahir sampai usia enam tahun, dan (c) pelayanan kesehatan usia sekolah sampai dewasa.
8. Kelahiran prematur
Berat kelahiran rendah ditemukan sebagai faktor beresiko tinggi pada berbagai gangguan perkembangan. S. Cohen ( Kavanagh & Truss, 1988:91-92 ) menekankan akibat masalah kelahiran prematur mencakup: gangguan intelegensi, perkembangan motorik, perilaku dan juga kesulitan belajar termasuk kesulitan belajar membaca.
9. Penyakit masa kanak-kanak
Penyakit-penyakit yang dialami oleh anak-anak selama tahun-tahun pertama atau priode-priode kehidupan kritis cukup memberikan efek terhadap rendahnya kesehatan anak. Bila penyakit yang dialami oleh anak di masa ini berlangsung lama, kronis, dan penyakitnya amat berbahaya bagi perkembangan anak di masa-masa yang akan datang, maka diasumsikan anak akan mengalami gangguan perkembangan, termasuk gangguan dalam belajar membaca.
10. Malnutrisi
Sekalipun belum banyak penelitian bahkan boleh dikata tidak ada penelitian yang mengkaji secara khusus akibat malnutrisi terhadap disleksia, namun secara logis bisa diyakini bahwa kekurangan gizi atau malnutrisi diduga cukup memberikan sumbangan berarti terhadap disleksia.
11. Kekurangan vitamin
Individu yang mengalami kekurangan vitamin A bisa menjadi aviataminosis A. ia lama kelamaan bisa mengalami tunanetra. Individu yang kekurangan vitamin C mudah terserang penyakit flu. Penyakit ini bila dibiarkan akan mengakibatkan radang pada hidung atau tenggorokkan. Individu yang kekurangan vitamin B atau B kompleks, akan mudah terserang penyakit, mudah lelah, perkembangan fisik terganggu dan konsentrasi berfikir kurang. Bila perkembangan fisik yang terganggu tersebut mengenai perkembangan organ otak dan pematangan fungsi-fungsi organ otak maka dapat menyebabkan individu mengalami disleksia.
12. Infeksi saat ibu hamil
Infeksi saat ibu hamil beresiko tinggi terhadap kelahiran tak normal atau melahirkan anak berkelainan. Infeksi yang dialami ibu masa mengandung mislanya akibat rubella, sifilis, tuberkulosis dapat mengakibatkan janin luka otak. Bila ini terjadi, maka bayi yang dilahirkan mungkin akan mengalami kesulitan belajar membaca saat waktunya tiba.
13. Kelainan pewarisan
Para ahli menyepakati bahwa kesulitan membaca banyak ditandai oleh faktor genetika dan faktor pewarisan. Sebagaimana dijelaskan oleh Hallgren dan Herrman bahwa kesulitan membaca berbasis dari keturunan, beberapa anak kesulitan membaca berat kadang-kadang ditemukan dari generasi atau dari keluarga yang sama. Studi lain terhadap anak kembar dan saudara kandung mengindikasikan bahwa kesulitan membaca ada dalam keluarga mengalami disleksia ( Kirk, Kleibhan dan Learner, 1978:19 ).
14. Efek gangguan emosional
Hubungan antara salahsuai kepribadian atau emosional dengan membca belajar sebagai berikut: (a) salahsuai menyebabkan kesulitan membaca, (b) kesulitan membaca menyebabkan salahsuai, (c) salahsuai dan kesulitan membaca memiliki suatu sebab umum, (d) hubungan bersifat sirkuler, salahsuai menyebabkan kesulitan membaca dan kesulitan memvaca lebih lanjut meningkatkan salahsuai; atau kesulitan membaca menyebkan salahsuai yang berikutnya meningkatkan kesulitan membaca ( Dechant, 1982:80; Dechant & Smith, 1977:196), (e) salahsuai dan kesulitan membaca masing-masing memiliki sebab yang berbeda ( Dechant & Smith, 1977:196 ).
15. Konsep diri rendah
Preyor menyatakan bahwa perubahan suatu konsep diri anak berkesulitan membaca ( disleksia ) disokong oleh perasaannya tentang dirinya sendiri adalah mungkin langkah pertama menuju perbaikan problem akademik ( Ekwall & Shanker, 1988:18 ).
16. Perkembangan bahasa lambat
Perkembangan bahasa lambat tersebut sebagai akibat perkembangan dan kematangan fungsi otak pusat memori dan bahasa mengalami perkembangan yang lambat, tak integratifnya belahan otal kanan dan kiri sehingga jadi disleksia.
17. Perkembangan bahasa terhenti
Perkembangan bahasa terhenti menunjuk pada perkembangan bahasa menyimpang. Istilah ini digunakan membedakan dengan istilah perkembangan bahasa lambat.


3. Ciri-ciri Anak Disleksia
Gangguan disleksia biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu. Di TK, kemampuan membaca anak tidak menjadi tuntutan, itulah mengapa gejalanya sulit diketahui sejak usia dini. Inilah ciri-cirinya:
1. Tidak dapat mengucapkan irama kata-kata secara benar dan proporsional.
2. Kesulitan dalam mengurutkan huruf-huruf dalam kata. Misalnya kata "saya" urutan hurufnya adalah s ¬ a ¬ y ¬ a.
3. Sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya menjadi sebuah kata.
4. Sulit mengeja secara benar. Bahkan bisa jadi anak tersebut akan mengeja satu kata dengan bermacam ucapan. Walaupun kata tersebut berada di halaman buku yang sama.
5. Sulit mengeja kata atau suku kata dengan benar. Bisa terjadi anak dengan gangguan ini akan terbalik-balik membunyikan huruf, atau suku kata. Anak bingung menghadapi huruf yang mempunyai kemiripan bentuk, seperti d - b, u - n, m - n. Ia juga rancu membedakan huruf/fonem yang memiliki kemiripan bunyi, seperti v, f, th.
6. Membaca suatu kata dengan benar di satu halaman, tapi keliru di halaman lainnya.
7. Bermasalah ketika harus memahami apa yang dibaca. Ia mungkin bisa membaca dengan benar, tapi tidak mengerti apa yang dibacanya.
8. Sering terbalik-balik dalam menuliskan atau mengucapkan kata, misalnya "hal" menjadi "lah" atau "Kucing duduk di atas kursi" menjadi "Kursi duduk di atas kucing."
9. Rancu terhadap kata-kata yang singkat. Misalnya, ke, dari, dan, jadi.
10. Bingung menentukan harus menggunakan tangan yang mana untuk menulis.
11. Lupa mencantumkan huruf besar atau mencantumkannya pada tempat yang salah.
12. Lupa meletakkan titik dan tanda-tanda seperti koma, tanda seru, tanda tanya, dan tanda baca lainnya.
13. Menulis huruf dan angka dengan hasil yang kurang baik.
14. Terdapat jarak pada huruf-huruf dalam rangkaian kata. Anak dengan gangguan ini biasanya menulis dengan tidak stabil, tulisannya kadang naik dan kadang turun.
15. Menempatkan paragraf secara keliru.

Diambil dari Tabloid Nova, ciri-ciri anak disleksia antara lain:
- Kesulitan dalam mengurutkan huruf-huruf dalam kata.
- Kesulitan merangkai huruf-huruf dan kadang ada huruf yang hilang.
- Sulit membedakan huruf. Anak bingung menghadapi huruf yang mempunyai kemiripan bentuk seperti b - d, u - n, m - n.
- Sulit mengeja kata atau suku kata dengan benar. Misalnya, sulit membeda - kan huruf-huruf pada kata 'soto' dan 'sate'.
- Membaca satu kata dengan benar di satu halaman, tapi salah di halaman lainnya.
- Kesulitan memahami apa yang dibaca.
- Sering terbalik dalam menuliskan atau mengucapkan kata. Misalnya, 'hal' menja- di 'lah.
- Terdapat jarak pada huruf-huruf dalam rangkaian kata. Tulisannya tidak stabil, kadang naik, kadang turun.

Anak baru bisa didiagnosis disleksia atau tidak saat anak di usia SD, yaitu sekitar 7-8 tahun. Karena di usia balita seorang anak belum ditargetkan untuk bisa membaca. "Jadi, paling tidak ada pengalaman satu atau dua tahun membaca, setelah itu baru dilihat apakah ada kesulitan, baru lalu didiagnosis disleksia,"


4. Mengatasi Anak Yang Mengalami Disleksia
Pada dasarnya ada berbagai variasi tipe disleksia. Penemuan para ahli memperlihatkan bahwa perbedaan variasi itu begitu nyata, hingga tidak ada satu pola baku atau kriteria yang betul-betul cocok semuanya terhadap ciri-ciri seorang anak disleksia. "Misalnya, ada anak disleksia yang bermasalah dengan kemampuan mengingat jangka pendeknya, sebaliknya ada pula yang ingatannya justru baik sekali. Lalu, ada yang punya kemampuan matematis yang baik, tapi ada pula yang parah. Untuk itulah bantuan ahli (psikolog) sangat diperlukan untuk menemukan pemecahan yang tepat.”
Sebagai gambaran, para ahli akan membantu mereka dengan menggunakan berbagai metode berikut:
• Metode multi-sensory
Dengan metode yang terintegrasi, anak akan diajarkan mengeja tidak hanya berdasarkan apa yang didengarnya lalu diucapkan kembali, tapi juga memanfaatkan kemampuan memori visual (penglihatan) serta taktil (sentuhan). Dalam prakteknya, mereka diminta menuliskan huruf-huruf di udara dan di lantai, membentuk huruf dengan lilin (plastisin), atau dengan menuliskannya besar-besar di lembaran kertas. Cara ini dilakukan untuk memungkinkan terjadinya asosiasi antara pendengaran, penglihatan dan sentuhan sehingga mempermudah otak bekerja mengingat kembali huruf-huruf.
• Membangun rasa percaya diri Gangguan disleksia pada anak-anak sering tidak dipahami atau diketahui lingkungannya, termasuk orang tuanya sendiri. Akibatnya, mereka cenderung dianggap bodoh dan lamban dalam belajar karena tidak bisa membaca dan menulis dengan benar seperti kebanyakan anak-anak lain. Oleh karena itu mereka sering dilecehkan, diejek atau pun mendapatkan perlakuan negatif, sementara kesulitan itu bukan disebabkan kemalasan. Alangkah baiknya, jika orang tua dan guru peka terhadap kesulitan anak. Dari situ dapat dilakukan deteksi dini untuk mencari tahu faktor penghambat proses belajarnya. Setelah ditemukan, tentu bisa diputuskan strategi yang efektif untuk mengatasinya. Mulai dari proses pengenalan dan pemahaman fonem sederhana, hingga permainan kata dan kalimat dalam buku-buku cerita sederhana. Penguasaan anak terhadap bahan-bahan tersebut, dalam proses yang bertahap, dapat membangkitkan rasa percaya diri dan rasa amannya. Jadi, berkat usaha dan ketekunan mereka, para penyandang disleksia ini dapat juga menguasai kemampuan membaca dan menulis. Orang tua dan guru serta pendamping lainnya mungkin melihat dan menemukan adanya kelebihan dari anak-anak seperti ini. Menurut penelitian, mereka cenderung mempunyai kelebihan dalam hal koordinasi fisik, kreativitas, dan berempati pada orang lain. Untuk membangun rasa percaya dirinya, ajaklah mereka mengevaluasi dan memahami diri sendiri, disertai kelebihan serta kekurangan yang dimiliki. Tujuannya agar mereka dapat melihat secara objektif dan tidak hanya terfokus pada kekurangannya sebagai anak dengan gangguan disleksia. Anak-anak tersebut perlu diajak mencari dan mencatat semua kelebihan dan kekurangannya, untuk kemudian dibahas bersama satu demi satu. Misalnya, anak melihat bahwa dirinya bukan orang yang mampu menulis dan mengarang dengan baik, tapi di lain pihak ia adalah seorang pemain basket yang handal dan sekaligus perenang yang tangguh. Bisa juga, dia melihat dirinya tidak bisa mengeja dengan benar, tapi dia juga lucu, humoris dan menarik hingga banyak orang suka padanya. Intinya, bantulah mereka menemukan keunggulan diri, agar bisa merasa bangga dan tidak pesimis terhadap hambatan yang saat ini sedang diatasi. Kalau perlu, jelaskan pada mereka figur-figur orang terkenal yang mampu mengatasi problem disleksianya dan melakukan sesuatu yang berguna untuk masyarakat.
• Terapi
Menurut Kevin, saat anak diketahui mengalami gangguan disleksia, patut diberikan terapi sedini mungkin, seperti terapi mengulang dengan penuh kesabaran dan ketekunan untuk membantu si anak mengatasi kesulitannya. Anak-anak yang mengalami disleksia sering merasakan tidak dapat melakukan atau menghasilkan yang terbaik seperti yang mereka inginkan. Oleh karena itu mereka tidak bisa diberikan porsi yang sama dengan anak-anak lainnya.
Umumnya, anak-anak penderita disleksia sering dicap sebagai malas, bebal, bodoh, dan sebagainya. Padahal mereka adalah anak-anak pintar, jika diberi peluang dan mendapat bimbingan yang tepat. Apa yang bisa dilakukan untuk menolong anak-anak yang menderita gangguan disleksia ini? Bagi orangtua,
hal pertama yang perlu ditanamkan adalah menyayangi mereka, sama seperti anak-anak yang lain, baru kemudian membimbing sesuai dengan kesulitan yang dihadapi.
Orangtua dapat membantu menyiapkan jadwal harian agar anak-anak mengetahui apa yang harus dilakukan. Selain itu, dapat pula membantu menyiapkan alat sekolah dan perlengkapan sehari-hari lainnya. Bahkan jika di rumah ada perangkat komputer, ada baiknya anak dilatih menulis dan membaca dengan menggunakan komputer karena ada fasilitas pengecek ejaan (spelling checker).
Sementara guru-guru di sekolah bisa melakukan beberapa cara untuk membantu anak-anak ini, seperti menggunakan alat tulis berbagai warna untuk menulis kata yang penting, memberikan waktu istirahat selama 10 menit dari setiap 20 menit belajar membaca, memberikan waktu lebih saat menulis dan membaca.
Guru juga dapat memberikan soal atau tulisan dengan ukuran huruf yang lebih besar agar terlihat jelas dan dapat menarik penglihatan mereka. Intinya, anak-anak penderita disleksia perlu diberikan kesempatan yang sama dengan anak-anak lainnya karena mereka juga memiliki potensi yang besar. Dan anak-anak itu tidak boleh diberikan cap negatif.
Anak-anak tertentu, khususnya mereka yang disleksia, tidak akan pernah mampu membaca dengan kecepatan tinggi dan akan selalu mengalami kesulitan mengembangkan kemampuan mengeja yang sesuai usia. Disleksia dipandang sebagai gangguan biologis yang dimanifestasikan dengan kesulitan dalam belajar membaca dan mengeja walaupun diberi pengajaran konvensional dan memiliki kecerdasan yang memadai (Snowling, 1987).














BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kesulitan pokok yang dialami oleh anak disleksia terletak pada adanya kesulitan membaca. Kesulitan membaca yang mereka alami bervariasi, ada yang ringan, ada yang sedang, dan ada juga ynag berat. Berat ringannya kesulitan membaca yang dialami oleh anak disleksia amat menentukan tingkat tuntutan pengajaran membaca mereka.

Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis mengharapkan saran dan kritiknya, agar dikemudian hari makalah ini dapat lebih baik.




















DAFTAR PUSTAKA

M. Shodig. PENDIDIKAN BAGI ANAK DISLEKSIA. Depdikbud Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
http://www.balita-anda.com/balita_395_DISLEKSIA_pada_anak.html
http://ms.wikipedia.org/wiki/Dyslexia
http://www.kikil.com/archive/index.php/t-12069.html
http://www.mail-archive.com/milis-nakita@news.gramedia.com/msg02653.html
http://www.idp-europe.org/indonesia/buku-inklusi/Bahasa_dan_Membaca.php
http://www.tabloidnova.com/articles.asp?id=13992