Senin, 21 September 2009

PELAYANAN TERPADU DAN BERKELANJUTAN TERHADAP PENYANDANG CACAT (ANAK)

Machdar Somadisastra *)

Keinginan dan Pemikiran

Anak adalah amanah dari Tuhan Yang Maha Pencipta, baik bagi orang tua, dewasa lainnya, masyarakat, bangsa maupun negara. Anak ada yang ditakdirkan dalam keadaan tidak cacat dan ada pula yang ditakdirkan dalam keadaan cacat, baik cacat fisik, mental maupun cacat fisik dan mental atau cacat ganda.

Sebagian orang tua, masyarakat dan negara telah mengerti akan amanah ini khususnya terhadap penyandang cacat anak. Sejak berdirinya Republik ini sudah ditegaskan tujuannya baik dalam pembukaan maupun dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan kesejahteraan umum, sudah barang tentu tentu termasuk untuk anak-anak. Kemudian secara khusus dikeluarkan pula berbagai perundangan dan sebagian dengan peraturan pemerintahnya, seperti Undang-Undang Kependudukan, Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Peradilan Anak, Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat berikut Peraturan Pemerintah No 43 tahun 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.

Undang-Undang No 4 tahun 1997 selain mengutarakan berbagai kewajiban, juga mengatur tentang berbagai hak penyandnag cacat termasuk cacat (anak). Beberapa pasal yang perlu diutarakan di sini diantaranya pasal 6 berbunyi:
Setiap penyandang cacat berhak memperoleh:
1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan;
2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya;
3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya;
4. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya;
5. Rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial dan;
6. Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Khusus pasal 6 ayat 6 dijelaskan dalam Undang-Undang ini bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar penyandang cacat anak memperoleh:
a. Hak untuk hidup menjalani separuhnya kehidupan kanak-kanak dalam suatu keadaan yang memungkinkan dirinya meningkatkan martabat dan kepercayaan diri, serta mampu berperan aktif dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat
b. Hak untuk mendapat perlakuan dan pelayanan secara wajar baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.
c. Hak untuk sedini mungkin mendapatkan akses pendidikan, latihan ketrampilan, perawatan kesehatan, rehabilitasi dan rekreasi sehingga mampu mandiri dan menyat dalam masyarakat.

Kesemua itu merupakan keharusan atau keinginan. Realisasi dari keinginan itu masih jauh dari harapan. Masih ada celah antara keinginan dan kenyataan.

Kenyataan sekarang dan masalahnya

Sejak pemerintah kolonial hingga Pemerintah Republik sekarang sudah ada usaha pelayanan terhadap penyandang cacat anak baik pelayanan kesehatan, pelayanan sosial maupun pelayanan pendidikan. Oleh karena berbagai keterbatasan pelayanan itu, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun pelayanan yang dilaksanakan oleh masyarakat termasuk keluarga, masih jauh dari harapan. Masih banyak ditemukan masalah-masalah yang merupakan indikator masih lemahnya pelayanan terhadap penyandang cacat anak.

Hingga kini masih cukup banyak keluarga yang menyembunyikan anaknya yang cacat dalam rumahnya, tidak disosialisasikan dengan anak-anak lainnya dalam komunitasnya. Tidak dikeluarkannya anak cacat dari rumah karena dianggap aib keluarga, malu dengan keluarga lain. Dikurungnya anak di dalam rumah merupakan masalah pertama dan utama dari penyandang cacat anak. Masalah ini merupakan hambatan utama proses sosialisasi anak.
Mungkin karena ketidaktahuan, keterbatasan dan atau fasilitas atau mungkin juga karena kelalaian, masih cukup banyak keluarga yang tidak membawa anak balitanya ke posyandu / puskesmas untuk mendapat pelayanan Deteksi Dini Kelainan Tumbuh Kembang Anak. Akibat dari itu banyak orang tua tidak dapat cepat mengenali cacat tidaknya anak. Berdasarkan Deteksi Dini Kelainan Tumbuh Kemabng Anak dapat diketahui apakah anak itu cacat atau tidak.

Pelayanan pendidikan terhadap anak tidak cacat meliputi Taman Kanan-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP), Sekolah Menengah Umum (SMU) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan selanjutnya ada yang masuk perguruan tinggi. Sedang anak cacat dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok, yaitu mampu didik, mampu latih dan mampu rawat. Anak mampu rawat tidak dapat dididik dan dilatih, mereka dimasukan ke Panti Rawat Anak. Yayasan Bhakti Luhur di Kota Malang merupakan perintis yang telah menyelenggarakan Panti Rawat Anak yang memadai. Sebagian besar kota dan kabupaten di Jawa Timur belum memiliki Panti Rawat Anak, padahal anak mampu rawat mungkin cukup besar di wilayah-wilayah itu. Anak mampu didik dan anak mampu latih masuk sekolah khusus yang disebut Sekolah Luar Biasa (SLB). Ada SLB untuk tuna netra, tuna rungu wicara dan SLB untuk tuna grahita. Jenjangnya mulai TKLB, SDLB, SLTPLB dan SMLB. Untuk perguruan tinggi tidak ada khusus. Apakah lulusan SMLB yang mampu masuk ke perguruan tinggi dapat dilayani oleh perguruan tinggi yang ada? Semoga.

Ada beberapa masalah berkaitan dengan penyelenggaraan SLB sekarang ini. Masalah pertama terpencarnya tempat tinggal anak cacat menyebabkan jauh dan mahalnya ongkos transportasi anak dari rumah ke sekolahnya. Hambatan ini dialami oleh banyak anak cacat hingga dapat menyebabkan anak cacat tidak sekolah sama sekali atau putus sekolah. Masalah kedua, lulusan SLB khususnya SLTP dan SMLB sebagian besar kualitas ketrampilannya rendah, tidak memadai hidup mandiri maupun untuk bekerja. Latihan ketrampilan yang lebih memadai mungkin yang diselenggarakan oleh Panti Rehabilitasi Sosial (PRS) untuk bina daksa di Bangil, untuk tuna netra di Panti Budi Mulia Malang dan lain-lain. Hubungan fungsional antara PRS-PRS dengan SLB-SLB mungkin belum efektif. Masalah ketiga, sebagian besar lulusan SLTPLB dan SMLB belum pernah memperoleh kesempatan mengikuti program latihan kerja. Masalah keempat, oleh karena berbagai alasan seperti rendahnya kualitas lulusan, sempitnya lapangan kerja yang tersedia terutama di sektor formal dan belum terbukanya sikap industri untuk menerima penyandang cacat sebagai tenaga kerja, menyebabkan sangat kecilnya jumlah tenaga kerja penyandang cacat yang dapat dislaurkan. Sedang masalah kelima adalah terpisahnya lembaga pendidikan ana cacat dengan anak tidak cacat merupakan praktik yang menyebabkan diferensiasi sosial yang tidak manusiawi.

Pelayanan terpadu dan berkelanjutan

Merujuk kepada permasalahan dan keinginan yang merupakan dasar yuridis dan dasar pemikiran di muka maka pelayanan Sekolah Luar Biasa selayaknya tidak berdiri sendiri, akan tetapi merupakan bagian integral dari pelayanan terhadap anak sebagai suatu sistem, mulai dari anak dalam keluarga, dalam kelompok sebaya (Play Group, Pendidikan Dini Usia, Taman Kanak-Kanak) anak dalam sekolah (SD, SLTP, SMU) sampai anak dalam latihan kerja akan masuk latihan kerja.

Kegiatan pelayanan terpadu dan berkelanjutan meliputi:

Kegiatan pertama yang perlu dilaksanakan adalah intensifikasi penyuluhan masyarakat yang ditujukan kepada keluarga-keluarga yang masih menyembunyikan anaknya yang cacat sehingga membolehkan anaknya bergaul dengan anak lainnya. Di samping itu khususnya kepada keluarga balita untuk melaksankan deteksi dini kelainan tumbuh kembang anak balita. Sudah barang tentu posyandu dan puskesmas harus sudah sedia untuk melayaninya.

Kegiatan kedua, semua keluarga melaksanakan deteksi dini kelainan tumbuh kembang anak balita didampingi dan di bawah pengawsan Kader Kesehatan, Poliklinik, Rumah Sakit. Instrumen deteksi dini terdiri dari kartu resiko keluarga, pengukuran lingkar kepala anak, kuesioner pra scoring perkembangan, kuesioner perilaku anak usia pra sekolah dan test penglihatan anak usia pra sekolah. Hasil dari kegiatan kedua ini dapat dikenali anak tidak cacat dan anak cacat.

Kegiatan ketiga, pemeriksaan kemampuan anak cacat yang dilaksanakn oleh dokter, psikolog, sarjana pendidikan Luar Biasa kerjasama Dinas kesehatan dan Dinas Pendidikan serta sekolah-sekolah luar biasa yang ada. Hasil pemeriksaan ini dapat mengetahui anak cacat mampu didik, mampu latih dan mampu rawat.
Kegiatan keempat pembukaan dan pelayanan Panti Rawat Anak Cacat pada Rumah Sakit di setiap kabupaten / kota.

Kegiatan kelima, setahap demi setahap melaksanakan rintisan pendidikan integrasi atau pendidikan inklusi, dimana anak cacat dilayani pendidikannya oleh sekolah biasa. Di sekolah biasa tersebut guru-guru yang melayani pendidikan khusus untuk anak cacat. Kegiatan kelima merupakan solusi terhadap masalah SLB sekarang ini.

Kegiatan keenam, peningkatan kualitas latihan ketrampilan anak cacat dan menghantarkan anak pada latihan kerja. Kegiatan ketujuh, negosiasi dengan perusahaan-perusahaan dan badan usaha lainnya untuk dapat menerima tenaga kerja penyandang cacat lulusan SLTPLB dan SMLB sesuai dengan Undang-Undang No 4 tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah No 43 tahun 1998.

Kepedulian, perhatian dan pelayanan terhadap penyandang cacat tidak dapat timbul dengan sendirinya tanpa pertemuan, tanpa komunikasi, tanpa pergaulan yang terus-menerus dengan penyandnag cacat. Oleh karena itu berikan akses kepada mereka sehingga terjadi proses integrasi sosial antara penyandang cacat dengan yang tidak cacat.


the laterrs

Peran Pendidikan Inklusi Bagi Anak Berkelainan

Written by Hatta Harris Rahman

Oleh Drs Sukadari SE MM

Edisi 142

PENGERTIAN tentang Pendidikan Inklusi belum banyak disosialisasikan apalagi tentang bentuk Pelaksanaan dan Sistem Pendidikan tersebut, karena merupakan hal baru. Pendidikan Inklusi sebenarnya merupakan model Penyelenggaraan Program Pendidikan bagi anak berkelainan atau cacat dimana penyelenggaraannya dipadukan bersama anak normal dan tempatnya di sekolah umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga bersangkautan. Latar belakang mucnulnya pendidikan inklusi ini karena terbatasnya Sekolah luar Biasa (SLB) atau Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) yang masih sangat terbatas jumlahnya dan sebatas tempat tertentu yaitu baru di tingkat Kecamatan, itupun milik swasta, sementara yang SLB Negeri berada di tingkat Kabupaten.

Sementara menurut data Penyandang Cacar dari Direktorat PLB baru sekitar 5 % yang bersekolah. Hal ini terjadi karena lokasi SLB dan SDLB yang sulit dijankau karena terbatasnya jumlah sekolah yang ada.Oleh karena itu Pemerinntah mengambil kebijakan untuk menyelenggarakan Pendidikan Inklusi dengan tujuan memberikan kesempatan bagi anak untuk menngembangkan kemampuan yang dimiliki seoptimal mungkin.

Tidak kalah pentinganya adalah untuk memudahkan layanan pendidikan anak cacat yan keberadaannya menyebar di berbagai daerah pedesaaan atau pelosok yang tidak berkesempatan sekolah di SLB. Memberi kesempatan kepada anak cacat untuk berintegarasi dengan anak normal baik d dalam mengikuti pendidikan maupun adaptasi dengan lingkungannya sangat diperlukan, karena dasar dari pelaksanaan Pendidikan Inklusi sangat jelas yaitu UUD 1945, UU No. 29 Tahun 2003, juga dijelaskan pada UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacar, PP No. 72 Tahun 1991 tentang PLB dan SE Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003.

Dalam menangani anak berkelainan diperlukan keahlian tersendiri karena tidak semua aktivitas di sekolajh namun dapat diikuti oleh anak cacat, missal anak cacat netra tak mampu mengikuti pelajaran menggambar atau olah raga begitu pula anak tuna rungu sulit mengikuti pelajaran seni suara dan cacat yang lain perlu penanganan khusus karena keterbatasannya. Maka sangat diperlukan guru pembimbing khusus yang mampu memehami sekaligus menangani keberadaan anak cacat termasuk di dalamnya memahami karakter dari masing-masing jenis kecacatannya.

Di samping membutuhkan guru khusus, juga perlu membekali pengetahuan tentang karakter anak cacat terhadap guru umum, siswa yang normal maupun masyarakat sekitar dnegan harapan anak cacat tersbut dapat diperlalukan secara wajar.

Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi memang tidak sesederhana menyelenggarakan sekolah umum. Kenyataan di lapangan memerlukan sarana yang cukup, misalnya gedung sekolah dengan menyesuaikan kondisi anak. Peralatan pendidikan yang memadai, contoh bagi tuna netra perlu alat tulis Braille, tuna rungu perlu alat Bantu dengar, tuna daksa perlu kursi roda dan masih banyak lagi fasilitas yang harus disediakan dengan harapan anak cacat dapat berkembang kemampuannya secara optimal.

Mengingat mahalnya fasilitas yang harus disediakan maka sampai tahun 2005, di seluruh Indonesia baru ada 504 Sekolah Inklusi yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Sebenarnya cukup banyak sekolah regular yang mengajukan menjadi Sekolah Inklusi, yakni 1200 sekolah, sedang yang dilaksanakan baru 504 sekolah dan yang lain perlu dipelajari kesiapan karena konsekuensinya Pemerintah memebrikan subsidi Rp. 5 juta di setiap sekolah dan fasilitas lain sebagai penunjang kegiatan bagi anak yang cacat tersebut.

Keberadaan anak cacat (diffable) tak lepas dari peran serta tenaga ahli. APabila Pendidikan Inklusi benar-benar diselenggarakan secara ideal setiap sekolah harus ada, sebab tanpa pengawasan dan penanganan secara khusus dapat erakibat fatal. Suatu contoh : anak cerebral Palsy (jenis tuna dasa) perlu dokter syaraf, orthopedic dan psikolog, sebab anak seperti ini memerlukan ketenangan jiwa sehingga mampu menjaga kondisi yang prima. Belum lagi cacat yang lain.

Konsekuensi dari penyelenggaraan program ini harus embutuhkan biaya yang mahal, sehingga idealnya pemerintah mengambil peran agar benar-benar pendidikan ini dapat terlaksana dengan baik. Untuk menopang suksesnya penyelenggaraan Pendidikan Inklusi perlu kerjasama dengan semua pihak mengingat kemampuan Pemerintah untuk membantu masih sangat terbatas sementara anak cacat yang belum tertampung mengikuti pendidikan formal semakin banyak sehingga dapat menjadikan kendala suksesnya Wajar 9 Tahun.

Keterpaduan kerjasama sangat mendesak sehingga pemerintah tak perlu menunggu waktu lama dengan alasan dana pendidikan terbatas. Alokasi 20 % masih sangat jauh dan sebagainya. Namun, memfungsikan beberapa unsur terkait dapat mengalokasikan program ini. Apabila di sekolah-sekolah umum kekurangan guru khusus dapat mengangkat lulusan SGPLB dan S1 PLB atau mengoptimalkan guru-guru khusus di sekolah terpadu dengan system guru kunjung.

Tentang masalah tenaga ahli dapat kerjasama dengan puskesmas atau rumah sakit terdekat dengan cara menjalin kerjasama antara departemen atau institusi dengan diperluas adanya SKB (Surat keputasan Bersama) para pejabat pemerintah.

Pendidikan Inklusi dalam penyelenggaraannya memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pendidikan terpadu atau pendidikan khusus (segregasi) sehingga sangat tepat apabila pemerintah menyelenggarakan dan mengembangkan program ini.

Dengan diselenggarakannya pendidikan Inklusi bukan berarti SLB (Sekolah Luar Biasa), sekolah terpadu dan SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) ditutup, akan tetapi dijadikan mitra kerja yang baik dengan penyelenggaraan Sekolah Inklusi , bahkan kalau perlu dijadikan laboratorium sekolah dan nara sumber bagi guru0guru khusus yang mengajar di sekolah inklusi.

Munculnya sekolah inklusi karena memiliki beberapa keistimewaan antara lain : 1) keberadaan anak cacat diakui sejajar dengan anak normal; 2) lingkungan mengajarkan kebersamaan dan menghilangkan diskriminasi; 3) memberi kesan pada orang tua dan masyarakat bahwa anak cacat pun mampu seperti anak pada umumnya; 4) anak yang berkelainan akan belajar meerima dirinya sebagaimana adanya dan juga tidak menkadi asing lagi di lingkungannya; 5) aktivitas yang mungkin dapat diikuti anak cacat ada kesempatan untk berpartisipasi sehingga dapat menunjukkan kemampuannya di lingkungan anak normal; dan 6) membutuhkan pegangan diri yaitu dnegan belajar secara kompetitif, eksistensi anak caat akan teruji dalam persaingan secara sehat dengan anak pada umumnya.

Penyelenggaraan tersebut pada hakekatnya memebrikan kesempatan yang sama setiap peserta didik dalam mengikuti pendidikan denganSistem Persekolahan Reguler sesuai dengankebutuhan individunya tanpa membedakanlatar belakang agama, budaya, social, sekonomi maupun suku. Namun menngharap anak manusia yang berkualitas sekalipun cacat.

Sungguh merupakan harapan kita semua Program Penyelenggaraan Sekolah Inklusi ini dapat terlaksana dengan baik atas dasar kepedulian Pemerintah dan kepedulian kita bersama. ***

(Penulis adalah Dosen Negeri DPK pada STKIP Catur Sakti Yogyakarta,

Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan STKIP Catur Sakti Yogyakarta,

Mahasiswa S3 Prodi Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.)

http://www.madina-sk.com/index.php?option=com_content&task=view&id=812&Itemid=10

Baru 64.000 Anak Cacat Mendapat Pendidikan Khusus

Jakarta (ANTARA News) - Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi (YAB) Jakarta Ny RA Aryanto.

"Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu.

Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain.

"Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya.

Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembang dan memiliki keterampilan untuk mandiri.

Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.

Karena itu, dia menilai keliru jika ada masyarakat atau keluarga yang "malu" memiliki anak penyandang cacat, tapi perlu meberikan pelayanan yang sama dengan anak normal, seperti menyekolahkan ke SLB atau memberikan keterampilan tertentu.

Ny Aryanto menegaskan, YAB yang dipimpinnya bergerak menyelenggrakan pendidikan bagi anak tuna grahita di Jakarta yakni tanpa dikenakan biaya dari keluarga miskin, para anak tuna grahita mendapat pendidikan dan keterampilan, seperti menjahit dan pertukangan.

"Selain itu, anak tuna grahita dapat berprestasi bagus dalam olah raga, seperti dalam olimpide tuna grahita di Shanghai, Cina, 2007, tim Indonesia berhasil mendapatkan 9 medali emas dan 11 perak," katanya.

Pada HUT ke-50 YAB tersebut diisi lomba gerak jalan yang diikuti 300 anak tuna grahita dan 200 pembina, lomba olahraga futsal, pentas seni serta pameran hasil kerajinan anak tuna grahita se-Jakarta.(*)

http://www.antara.co.id/view/?i=1197779450&c=NAS&s=

Minggu, 20 September 2009

Pelayanan Pendidikan Di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (Y.P.A.C)

Dibawakan pada Workshop Pendidikan Kecacatan Regional Sumatera dan Jawa tahun 2009 di Bukittinggi.

Pendahuluan :

Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) didirikan pada 5 Februari 1953 di Surakarta atas prakarsa Prof. Dr. Soeharso. Waktu itu beliau adalah Direktur Rumah Sakit Orthopedi (RSO) yang merawat korban-korban Perang Kemerdekaan. Pada th 1953 terjadi wabah polio myletis yang menyebabkan banyak anak-anak penderita polio di bawa ke RSO.
Prof. Dr. Soeharso kemudian menyadari bahwa perawatan terhadap anak tidak sama dengan perawatan terhadap orang dewasa. Karenanya beliau mengajak isterinya, ibu Djohar Soeharso dan beberapa kawan isterinya untuk membentuk Yayasan, YPAC bagian D.
Pada saat ini, YPAC tersebar di 16 (enam belas) Daerah di seluruh Indonesia.

Pelayanan di YPAC :

Prof. Dr. Soeharso berpendapat, bahwa pembinaan / rehabilitasi terhadap anak cacat sebaiknya merupakan rehabilitasi terpadu di bawah satu atap (total care).
Rehabilitasi tersebut adalah :
Rehabilitasi pendidikan
Rehabilitasi medik
Rehabilitasi sosial
Rehabilitasi pra vokasional

Dalam Rehabilitasi Pendidikan : YPAC mendirikan sekolah-sekolah Luar Biasa bagian D (SLB-D) dari mulai Taman Kanak-kanak hingga SMA / SMU.

Di Rehabilitasi Medik selain memerlukan dokter, dr. gigi, psikolog dan psikater juga terapi fisik, hydraterapi (terapi air), terapi okupasional, terapi musik.

Di Rehabilitasi Sosial, anak-anak melaksanakan kegiatan Pramuka, kesenian, pengenalan terhadap kehidupan masyarakat seperti ke Kantor Pos, ke pasar, dsb, ada juga asrama / Panti, kunjungan ke rumah.

Dalam bidang Pra Vokasional diperkenalkan berbagai kerajinan, bercocok tanam, dsb. Masih disebut Pra vokasional karena masih anak-anak sampai dengan usia 18 tahun dan belum bisa dikategorikan sebagai vokasional yang sebenarnya.

Seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan situasi-kondisi masyarakat dimana polio jauh berkurang, sedangkan hal-hal lain muncul ; maka kini anak yang dibina di YPAC lebih banyak terdiri dari anak-anak penderita Cerebral Palsy (CP), anak autis dan anak-anak dengan kecacatan lain yaitu anak tuna rungu wicra (bagian B) anak tuna grahita (bagian C), yakni apabila didaerah tsb. belum ada yang menangani jenis kecacatan tsb.
Karena anak-anak CP selain terkena syaraf motoriknya, juga bisa disertai dengan gangguan pada kemampuan bicara, atau pada pendengaran, dan penglihatan ataupun intelegensianya, maka sebagian besar anak-anak CP merupakan anak-anak tuna ganda.

Dengan demikian jenis terapi yang diperlukan di YPAC makin bervariasi. Terapi wicara menjadi sangat penting.
Jelaslah, untuk mencapai tujuan YPAC agar anak bisa mandiri ( sesuai dengan potensi yang dimilikinya ) anak yang kualitas hidupnya baik, kami memerlukan SDM yang handal dan memadai jumlahnya.

Pelayanan Pendidikan di YPAC :

Sekalipun dapat dikatakan terdiri dari bermacam rehabilitasi yang harus dilaksanakan bersamaan, tak dapat dimungkiri bahwa rehabilitasi Pendidikan merupakan rehabilitasi yang pertama-tama di selenggarakan.

Tidak semua YPAC Daerah memiliki ke seluruhan rehabilitasi yang secara ideal harus ada, tetapi Pendidikan selalu ada. Faktor terpenting dari pelayanan Pendidikan adalah guru. Guru merupakan penopang utama dari keberhasilan pendidikan.

Untunglah YPAC mempunyai banyak guru lulusan pendidikan luar biasa (PLB) yang sebagian besarnya adalah PNS bantuan Departemen Pendidikan Nasional. Guru-guru PLB dengan sendirinya dibekali pengetahuan yang cukup mengenai kecacatan termasuk masalah psikiatri anak cacat. Kegiatan rehabilitasi sosial dan rehabilitasi pra vokasional bisa ditangani guru-guru ini, lebih-lebih kalau guru khusus untuk kegiatan itu belum ada.

Untuk mempertinggi mutu SDM ini, YPAC Nasional menyelenggarakan pelatihan-pelatihan bagi guru dan / atau terapis, dan semua yang terlibat dalam penanganan anak YPAC, bagi seluruh YPAC Daerah.
Pelatihan ini antara lain : pelatihan asisten terapi wicara (pesertanya hanya boleh melatih di YPAC) yang telah dilaksanakan 2 x, pengenalan mengenai autisme, cara mengajar yang menyenangkan, dll.
Semua pelatihan dilaksanakan di dan oleh tenaga-tenaga Pusat Pengembangan dan Pelatihan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (PPRBM) di Solo, yang didirikan oleh YPAC Nasional pada th 1987. Menyadari bahwa pelayanan di institusi hanya mampu melayani anak-anak di sekitar perkotaan, maka agar dapat menyediakan pelayanan di pedesaan, YPAC mengembangkan konsep RBM. Program ini telah dilaksanakan dibeberapa YPAC Daerah.
Pernah pula satu YPAC Daerah mengajukan keinginan untuk mengembangkan mutu pelayanan pendidikannya dan YPAC Nasional (dengan bantuan dana fihak tertentu) menyelenggarakan program study banding bagi guru-guru YPAC tersebut ke sekolah-sekolah khusus kecacatan tertentu. Menurut laporan, mereka mengalami kemajuan pesat setelah mengetahui cara mengajar yang tepat.

Setelah guru, dan sarana prasarana sekolah, yang menjadi faktor keberhasilan pendidikan yang lain, adalah orangtua. Kadang-kadang orang tua justru menjadi penghambat misalnya karena tidak tega anaknya dilatih, disamping sebab-sebab luar seperti kurang mampu, rumah jauh dari sekolah. Kadang-kadang anak yang bersangkutan yang menjadi penyebab, misalnya tidak mau sekolah, cape, dsb.

YPAC membuat program RDK (Rehabilitasi Dalam Keluarga) karena berpendapat bahwa keluarga adalah faktor pertama dan utama dalam penanganan anak. Disini orangtua atau keluarga diberi latihan yang sesuai dengan kebutuhan anak agar bisa turut melatih dirumahnya sendiri.

Menyadari bahwa setelah usia 18 th banyak anak YPAC tidak dapat melanjutkan sekolah maupun memperoleh pekerjaan, di YPAC-YPAC Daerah dibentuk kelas karya. Di tingkat nasional, YPAC bekerja sama dengan Yanagia membentuk Bina Kemandirian Penca.
Di kelas-kelas karya maupun di Bina Kemandirian Penca diberikan latihan-latihan kerajinan ataupun bertaman dan kerja-kerja lain sesuai situasi kondisi setempat.

Kesimpulan :
Belajar, mengembangkan diri, hidup layak dan mandiri adalah merupakan hak anak.
Dibutuhkan guru-guru yang berkualifikasi dengan sarana prasarana yang memadai.
Perlu kerjasama yang baik dengan terapis maupun orang tua anak.
Penting pula : tersedia dana yang mencukupi.

Jakarta, 20 April 2009



Ny. F.P. Sidharta Soerjadi, SE
Ketua Umum YPAC Nasional

Selasa, 15 September 2009

Anak Tunarungu

Definisi :
Keadaan kehilangan pendengaran meliputi seluruh gradasi/tingkatan baik ringan, sedang, berat dan sangat berat, yang akan mengakibatkan pada gangguan komunikasi dan bahasa. Keadaan ini walaupun telah diberikan alat bantu mendengar tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

Klasifikasi Ketunarunguan :

Berdasarkan Tingkat Kerusakan/Kehilangan Kemampuan Mendengar
Ringan 20 – 40 dB
Sedang 40 – 60 dB
Berat 70 – 90 dB
Berat sekali 90 dB ke atas

Masalah yang Ditimbulkan Akibat Ketunarunguan
(Menurut: Arthur Boothroyd) :
Persepsi Auditif
Bahasa Dan Komunikasi
Kognisi Dan intelektual
Pendidikan
Vokasional
Masy & Ortu
Sosial
emosi

Gangguan Pendengaran bukan sejak Lahir dapat terdeteksi dengan pemeriksaan speech audiometry

Behaviorial audiometry memeriksa adanya respon anak terhadap rangsang suara-suara tertentu

Landasan Pemberian Layanan Khusus :
Akibat ketunarunguannya atr tidak mengalami masa pemerolehan bahasa
Akibat berikutnya atr tidak berkembang bahasanya
Akibat miskin bahasa atr mengalami masalah dalam komunikasi dan belajarnya/ pendidikannya

Cat : Yang harus diingat kapan terjadi ketunarunguan tersebut

Mengatasi Berbagai Permasalahan yang Timbul Akibat Ketunarunguan :
Dengan memberikan keterampilan berkomunikasi dan berbahasa
Dengan mengembangkan intelektual, mental, sosial dan emosi
Mengembangkan seluruh aspek kecakapan hidup
Kata: Ludwig Wetgenstein: Batas bahasaku adalah batas duniaku. Berikan anak tunarungu kemampuan berbahasa dan berkomunikasi yang cukup agar dunia mereka menjadi lebih luas

Cara berkomunikasi dengan Tunarungu :
Bicara harus berhadapan dan diusahakan sejajar
Harus melihat muka pembicara
Jarak harus sesuai dengan daya jangkau penglihatan
Bicara wajar dan jangan dibuat-buat
Berekspresi dan melodius
Cahaya harus cukup terang
Mulut tidak tertutup oleh benda lain
Artikulasi jelas
Kalimat sederhana
Pemakaian Isyarat harus simultan

Yanti D.P.

ditulis ulang dari ceramah Pendidikan Inklusi Pak Parto
http://bintangbangsaku.com/artikel/2009/02/anak-tunarungu/

Terapi Terpadu untuk Anak Tuna Rungu

By yefvie


Prinsip Dasar Terapi Ellen
(Terapi terpadu = terapi mendengar + terapi wicara)

1. Mendengar melalui telinga yang dibantu ABD, bukan karena melihat gerakan tangan atau gerakan mulut.

2. Keterbatasan si anak dalam merespon pembicaraan kita adalah karena belum mengerti kata/kalimat yang didengar (keterbatasan kosa kata, karena baru mulai mendengar selama 2 tahun), sehingga perlu dibantu dengan gambar/gerakan tangan. Tetapi bantuan inipun sifatnya hanya sesaat dalam rangka memasok kata baru, setelah kata tersebut dimengerti, bantuan visual dihilangkan.

3. Karena itu yang penting adalah memasok kosa kata ke telinga Ellen, tanpa menuntut dia segera/langsung dapat mengerti apalagi mengucapkan. John Tracy Clinic menuliskan: untuk dapat mengerti suatu kata si anak harus mendengar 100 kali, untuk dapat mengucapkan ia harus mendengar 1000 kali. Jadi sejak Ellen memakai ABD kami konsentrasi memasok dan memasok kata ke telinganya (saat bercakap-cakap normal, maupun saat spesifik mengajarkan kata-kata baru).

4. Teknik berbicara adalah dengan volume suara normal di dekat telinganya. Hal ini bertujuan agar suluruh konsonan dapat ditangkap. Bicara pada jarak yang lebih jauh dengan suara keras (berteriak) menyebabkan yang ditangkap hanya vokal saja.

5. Kami telah menerapkan point 1-4 selama 1 tahun dan telah terbukti menunjukkan hasil yang baik. Pada akhir tahun pertama, dia baru memiliki bahasa reseptif (paham beberapa kata yang kami ucapkan tanpa dia melihat gerak bibir, tapi dia belum bisa mengucapkannya), lalu setelah itu mulai muncul kata-kata pertamanya (walau pengucapan tidak sempurna, tetapi konsisten), dan langsung disusul dengan kata-kata berikutnya. Metode ini biasa disebut teknik auditory verbal. Ini yang kami terapkan…

6. Kendala yang muncul adalah pengucapan yang masih sangat lemah, karena itulah atas saran John Tracy Clinic kemudian Ellen dibantu terapi wicara (di suatu RS). Terapis wicara membantu membentuk pengucapan Ellen dengan teknik terapi wicara terhadap kata-kata yang sudah dimengerti Ellen tetapi belum bagus pengucapannya. Walaupun hanya 4 bulan (terpaksa quit karena tidak tertampung jadwal baru mereka yang hanya pagi–siang), pola ini telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Metode auditory verbal + terapi wicara ini biasa disebut auditory oral. Ini yang kami lanjut-terapkan saat ini (dengan bantuan terapis wicara di sekolah).

Catatan:
- Penelitian modern menyatakan hampir semua anak tuna rungu masih punya sisa pendengaran (tidak 100% tuli). Sisa pendengaran ini dapat dioptimalkan dengan bantuan alat bantu dengar (ABD, walaupun tidak secanggih implan koklea).
- Tetapi memakai ABD tidak sama dengan orang memakai kaca mata, yang langsung bisa melihat dengan lebih jelas. Karena respon atas stimuli visual adalah langsung, sedangkan respon atas stimuli auditori adalah melalui tahap pemahaman/interpretasi dulu. Untuk mencapai tahap pemahaman yang penting adalah harus sering mendengar dan mendengar, dengan pengucapan yang jelas, kalimat pendek, dan jika perlu disertai bantuan visual: gambar & gerakan tangan (kadang tanpa bantuan akan sulit anak memahami kata-kata baru, mirip kita nonton film berbahasa asing dimana kita mendengar pemain berbicara cas-cis-cus tanpa kita menangkap artinya). Tetapi bantuan itu perlahan dihilangkan, sehingga nantinya hanya akan berkomunikasi secara verbal.(by: mama Ellen, edited by papa Ellen)

MEMAHAMI PERKEMBANGAN,HAMBATAN PERKEMBANGAN DAN HAMBATAN BELAJAR PADA ANAK

Oleh
Zaenal Alimin
Program Studi Pendidkan Kebutuhan Khusus
Sekolah Pascasarjan UPI


A. Perkembangan Anak

Makna perkembangan pada seorang anak adalah terjadinya perubahan yang besifat terus nenerus dari keadaan sederhana ke keadaan yang lebih lengkap, lebih komleks dan lebih berdiferensiasi (Berk, 2003). Jadi berbicara soal perkembangan anak yang dibicarakan adalah perubahan. Pertanyaannya adalah perubahan apa saja yang terjadi pada diri seorang anak dalam proses perkembangan ? Untuk menjawab pertanyaan itu maka perlu dipahami tentang aspek-aspek perkembangan.

1. Aspek-Aspek Perkembangan
Perkembangan fisik yaitu perubahan dalam ukuran tubuh, proporsi anggotata badan, tampang, dan perubahan dalam fungsi-fungsi dari sistem tubuh seperti perkembangan otak, persepsi dan gerak (motorik), serta kesehatan.
Perkembangan kognitif yaitu perubahan yang bervariasi dalam proses berpikir dalam kecerdasan termasuk didalamnya rentang perhatian, daya ingat, kemampuan belajar, pemecahan masalah, imajinasi, kreativitas, dan keunikan dalam menyatakan sesuatu dengan mengunakan bahasa.
Perkembangan sosial-emosional yaitu perkembangan berkomunikasi secara emosional, memahami diri sendiri, kemampuan untuk memahami perasaan orang lain, pengetahuan tentang orang lain, keterampilan dalam berhubungan dengan orang lain, menjalin persabatan, dan pengertian tentang moral.

Harus dipahami dengan sungguh sungguh bahwa ketiga aspek perkembangan itu merupakan satu kesatuan yang utuh (terpadu), tidak terpisahkan satu sama lain. Setiap aspek perkembangan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aspek lainnya. Sebagai contoh perkembangan fisik seorang anak seperti meraih, duduk, merangkak, dan berjalan sangat mempengaruh terhadap perkembangan kognitif anak yaitu dalam memahami lingkungan sekitar di mana ia berada. Ketika seorang anak mencapai tingkat perkembangan tertentu dalam berpikifr (kognitif) dan lebih terampil dalam bertindak, maka akan mendapat respon dan stimulasi lebih banyak dari orang dewasa, seperti dalam melakukan permaianan, percakapan dan berkomunikasi sehingga anak dapat mencapai keterampilan baru (aspek sosial-emosional). Hal seperti ini memperkaya pengalaman dan pada gilirannya dapat mendorong berkembangnya semua aspek perkembangan secara menyeluruh. Dengan kata lain perkembangan itu tidak terjadi secara sendiri-sendiri.

2. Periode Perkembangan
Para peneliti biasanya membagi segmen perkembangan anak ke dalam lima periode (Berk, 2003). Ketika anak mencapai perkembangan pada periode tertentu maka akan dipereroleh kemampuan dan pengalaman sosial-emosional yang baru.
Periode pra-lahir : sejak masa konsepsi sampai lahir. Pada periode ini terjadi perubahan yang paling cepat.
Periode masa bayi dan kanak-kanak: Sejak lahir sampai usia 2 tahun. Pada periode ini terjadi perubahan badan dan pertumbuhan otak yang dramatis, mendukung terjadinya saling berhubungan antara kemampuan gerak, persepsi, kapasitas kecerdasan, bahasa dan terjadi untuk pertama kali berinteraksi secara akrab dengan orang lain. Masa bayi dihabiskan pada tahun pertama sedanga masa kanak-anak dihabiskan pada tahun kedua.
Periode awal masa anak : dari usia 2 tahun sampai 6 tahun. Pada periode ini ukuran badan menjadi lebih tinggi, keterampilan motorik menjadi lebih luwes, mulai dapat mengontrol diri sendiri dan dapat memenuhi menjadi lebih luas. Pada masa ini anak mulai bermain dengan membentuk kelompok teman sebaya.
Periode masa anak-anak: dari usia 6 sampai 11 tahun. Pada masa ini anak belajar tentang dunianya lebih luas dan mulai dapat menguasai tanggung jawab, mulai memahami aturan, mulai menguasai proes berpikir logis, mulai menguasai keterampilan baca tulis, dan lebih maju dalam memahami diri sendiri, dan pertemanan.
Periode masa remaja: dari usia 11-20 tahun. Periode ini adalah jembatan antara masa anak-anak dengan masa dewasa. Terjadi kematangan seksual, berpikir menjadi lebih abstrak dan idealistik.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Untuk melihat faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan seorang anak, maka muncul pertanyaan: apakah perkembangan itu prasyarat untuk bisa belajar atau perkembangan itu hasil dari proses belajar ? Pertanyaan itu bisa dijawab ya, bahwa perkembangan itu prasyarat untuk bisa belajar. Artinya jika seorang anak belajar perlu didasari oleh kesiapan (kematangan) yang dicapai dalam perkembangan. Misalnya seorang anak tidak mungkin akan bisa belajar bahasa dan bicara jika belum mencapai kesiapan (kematangan), meskipun lingkungan diciptakan sedemikian rupa agar anak dapat belajar bahasa dan bicara. Sebaliknya, pertanyaan itu bisa dijawab ya bahwa perkembangan itu adalah hasil belajar. Artinya perubahan yang terjadi pada diri seorang anak diperoleh melaui proses interaksi dengan lingkungannya. Misalnya meskipun setiap anak memiliki potensi untuk belajar bahasa dan bicara dan telah mencapai kematangan untuk siap belajar, tetapi anak tersebut sama sekali tidak mendapatkan rangsangan dari luar (lingkungan) untuk belajar, maka anak itu tidak akan memperoleh keterampilan berbahasa.
Oleh karena itu terdapat hubungan timbal balik atau saling mempenagruhi antara proses belajar dalam lingkungan dengan kematangan perkembangan. Dengan kata lain pada saat tetentu belajar ditentukan oleh kematangan perkembangan, tetapi pada saat yang lain perkembangan adalah hasil dari proses belajar. Konsekuensi dari keadaan ini maka jika seorang anak mengalami hambatan dalam mencapai kematangan perkembangan karena ada gangguan pada aspek fisik atau kognitif atau sosial-emosional maka dapat dipastikan akan mengalami hambatan belajar, dan anak yang mengalami hambatan belajar akan mengalami hamabtan perkembangan. Anak yang mengalami hambatan belajar dan atau hambatan perkembangan, memerlukan layanan khusus dalam pendidikan dan disebut anak berkebutuhan khusus.

B. Hambatan Perkembangan-Hambatan Belajar Anak Berkebutuhan
Khusus

1. Konsep Anak Berkebutuhan Khusus (Children with Special Needs)
Istilah anak berkebutuhan khusus memiliki cakupan yang sangat luas. Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus keberagaman anak sangat dihargai. Setiap anak memiliki latar belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang berbeda-beda, dan oleh kaarena itu setiap anak dimungkinkan akan memiliki kebutuhan khusus serta hambatan belajar yang berbeda beda pula, sehingga setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang disesuiakan sejalan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak. Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual.
Cakupan konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementra (temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang besifat menetap (permanent).

a. Anak Berkebutuhan Khusus Bersifat Sementra (Temporer)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Misalnya anak yang yang mengalami gangguan emosi karena trauma akibat diperekosa sehingga anak ini tidak dapat belajar. Pengalaman traumatis seperti itu bersifat sementra tetapi apabila anak ini tidak memperoleh intervensi yang tepat boleh jadi akan menjadi permanent. Anak seperti ini memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan yang disesuikan dengan hambatan yang dialaminya tetapi anak ini tidak perlu dilayani di sekolah khusus. Di sekolah biasa banyak sekali anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus yang bersifat temporer, dan oleh karena itu mereka memerlukan pendidikan yang disesuiakan yang disebut pendidikan kebutuhan khusus.
Contoh lain, anak baru masuk Kls I Sekolah Dasar yang mengalami kehidupan dua bahasa. Di rumah anak berkomunikasi dalam bahasa ibunya (contoh bahasa: Sunda, Jawa, Bali atau Madura dsb), akan tetapi ketika belajar di sekolah terutama ketika belajar membaca permulaan, mengunakan bahasa Indonesia. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan munculnya kesulitan dalam belajar membaca permulaan dalam bahasa Indonesia. Anak seperti ini pun dapat dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus sementra (temporer), dan oleh karena itu ia memerlukan layanan pendidikan yang disesuikan (pendidikan kebutuhan khusus). Apabila hambatan belajar membaca seeperti itu tidak mendapatkan intervensi yang tepat boleh jadi anak ini akan menjadi anak berkebutuhan khusus permanent.

b. Anak Berkebutuhan Khusus yang Bersifat Menetap (Permanen)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gannguan perkembangan kecerdasan dan kognisi, gannguan gerak (motorik), gannguan iteraksi-komunikasi, gannguan emosi, sosial dan tingkah laku. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanent sama artinya dengan anak penyandang kecacatan.
Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata lain dari anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup spektrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak berkebutuhan khusus permanent (penyandang cacat). Oleh karena itu apabila menyebut anak berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk anak penyandang cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota dari anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan pendidikan khusus yang hanya menyangkut anak penyandang cacat.

2. Memahami Hambatan Belajar dan Hambatan Perkembangan
a. Pengertian Hambatan Belajar
Dalam paradigma pendidikan khusus/PLB, label kecacatan dan karakteristiknya lebih menonjol dan dijadikan patokan dalam memberikan layanan pendidikan dan intervensi. Anak yang memiliki kecacatan tertentu dipandang sebagai kelompok yang memiliki karakteristik yang sama. Cara pandang seperti ini menghilangkan eksistensi anak sebagai individu. Anak-anak yang didiagnosis sebagai anak penyandang cacat tertentu (misalnya tunanetra) diperlakukan dalam pembelajaran dengan cara yang sama berdasarkan label kecacatannya. Cara pandang seperti ini lebih mengedepankan aspek identitas kecacatan yang dimiliki dari pada aspek individu anak sebagai manusia.
Dalam konsep pendidikan khusus/PLB (special education) lebih banyak menggunakan diagnosis untuk menentukan label kecacatan. Berdasarkan label itulah layanan pendidikan diberikan dengan cara yang sama pada semua anak yang memiliki label kecacatan yang sama, dan tidak memperimbangkan aspek-aspek lingkungan dan faktor-faktor dalam diri anak. Sebagai contoh jika hasil diagnosis menunjukkan bahwa seorang anak dikategorikan sebagai anak autisme, maka semua anak autisme akan diperlakukan dengan cara dan pendekatan yang sama berdasarkan label dan karakteristik nya.
Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus (special needs education), anak yang mempunyai kebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat permanent akan berdampak langsung kepada proses belajar, dalam bentuk hambatan untuk melakukan kegiatan belajar (barrier to learning and development). Hambatan belajar dan hambatan perkembangan dapat muncul dalam banyak bentuk, untuk mengetahui dengan jelas hambatan belajar, hambatan perkembangan dan kebutuhan yang dialami oleh seorang anak sebagai akibat dari kebutuhan khusus tertentu/kecacatan tertentu, dilakukan dengan mengunakan asesmen.
Hasil asesmen akan memberikan gambaran yang jelas mengenai hambatan belajar setiap anak. Berdasarkan data hasil asesmen itulah pembelajaran akan dilakukan. Tidak akan terjadi dua orang anak yang mempunyai kebutuhan khusus/kecacatan yang sama, memiliki hambantan belajar, hambatan perkembangan dan kebutuhan yang persis sama. Oleh karena itu pendidikan kebutuhan khusus difokuskan untuk membantu menghilangkan atau sekurang-kurangnya meminimalkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan sebagai akibat dari kondisi yang dialami oleh setiap anak secara individual. Inilah yang disebut dengan pembelajaran yang berpusat kepada anak (child center approach).
Dalam perspektif pendidikan kebutuhan khusus diyakini bahwa ada faktor-faktor lain yang sangat penting untuk dipertimbangkan yaitu faktor lingkungan, termasuk sikap terhadap anak pada umumnya dan terhadap anak tertentu karena lingkungan yang tidak responsive, kurang stimulasi, pemahaman guru dan kesalahpahaman guru akan proses pembelajaran, isi, pendekatan pembelajaran dan materi pembelajaran dapat memimbulkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan.
Selain faktor lingkungan, hal lain yang juga sangat penting untuk dipertimbangkan adalah faktor-faktor pada diri anak, seperti rasa ingin tahu, motivasi, inisiatif, interaksi/komunikasi, kompetensi sosial, kreativitas, temperamen, gaya belajar dan kemampuan potensial. Pendidikan kebutuhan khusus memandang anak sangat komprehensif dan memandang anak sebagai anak, bukan memandang anak berdasarkan label yang diberikan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa hambatan belajar dapat terjadi juga pada anak yang tidak memiliki kecacatan. Dengan pandangan yang luas seperti ini, akan meningkatkan pemahaman kita tentang keunikan setiap individu anak.
Konsep hambatan belajar dan hambatan perkembangan sangat penting untuk dipahami karena hambatan belajar dapat muncul di setiap kelas dan pada setiap anak. Semua anak mempunyai kemungkinan yang sama untuk mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan. Pendidikan kebutuhan khusus menekankan pada upaya untuk membantu anak menghilangkan atau sekurang-kurangnya mengurangi hambatan belajar dan hambatan perkembangan sebagai akibat dari kondisi tertentu, agar anak dapat mencapai perkembangan optimum. Oleh karena itu Hambatan belajar baik pada anak-anak berkebutuhan khusus maupun pada anak pada umumnya dapat diartikan sebagai sesuatu yang menghentikan atau memperlambatm, merintangi laju kemajuan belajar seorang anak akibat dari faktor yang ada pada diri anak itu sendiri maupun karena faktor yang terjadi diluar diri anak (lingkungan).

b.Penyebab Munculnya Hambatan Belajar
Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak bisa disebabkan oleh (1) faktor internal pada diri anak itu sendiri, (2) faktor ekternal di luar diri anak dan, (3) faktor internal dan eksternal.

1) Faktor Internal
Hambatan belajar bisa terjadi akibat adanya kerusakan secara fisik pada diri anak (impairment), misalnya kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, dan gangguan pada pada gerak motorik, serta anak yang mengalami hambatan perkembangan intelektual. Keadaan impairment seperti itu menimbulkan kesulitan atau ketidakmampuan tertentu (disability), sehingga merintangi anak untuk belajar. Sebagai contoh, anak yang kehilangan fungsi penglihatan (anak tunanetra) memiiki keterbatasan dalam belajar yang berhubungan dengan informasi visual. Mereka harus mengubah informsi visual ke dalam bentuk informasi auditif, taktual atau kinestetik, tetapi tidak semua informasi visual dapat diubah ke dalam bentuk auditif, taktual dan kinestetik. Oleh karena itu pemahaman anak tunanetra terhadap informasi visual sangat terbatas dan tidak utuh dibandingkan anak awas.
Anak yang kehilangan fungsi pendengaran (tunarungu) mengalami kesulitan untuk belajar sesuatu yang berhubungan dengan informasi auditif, sehingga mereka sulit memahami konsep yang bersifat verbal. Padahal banyak sekali konsep-konsep yang harus dipahami dengan menggunakan bahasa secara abstrak.
Anak yang mengalami gangguan perkembangan intelektual (anak tunagrahita) mengalami kesulitan untuk memahami konsep abstrak yang dipelajarinya karena keterbatasan dalam menglah informasi secara kognitif. Anak-anak seperti ini bisanya mengalami kesulitan untuk memahami konsep dan prinsip dari apa yang dipelajarinya. Padahal sesungguhnya belajar lebih banyak berhubungan dengan penguasaan konsep dan prinsipkah. Hambatan belajar yang bersifat internal lainnya adalah gangguan perhatian dan hiperaktifitas, gangguan tiingkah laku, dan gangguan interaksi dan komunikasi.

2) Faktor Eksternal
Hambatan belajar pada seorang anak bisa disebabkan oleh faktor-faktor di luar diri anak itu sendiri. Anak mengalami kesulitan-kesulitan tertentu untuk belajar karena eksternal misalnya, anak sering mendapat perlakuan kasar, sering diolok-olok, tidak pernak dihargai, sering melihat kedua orang tuanya bertengkar dsb. Keadsaan seperti ini dapat menimbulakan kehilangan kepercayaan diri, sulit untuk memusatkan perhatian,cemas, gelisah, takut yang tidak beralasan dsb.
Bentuk-bentuk hambatan belajar yang dapat teridentifikasi akibat dari keadaan seperti itu misalnya, anak tidak memiliki keberaian untuk bertanya mesikipun ada yang ingin ia tanyakan kepada gurnya, tidak bisa menyatakan bahwa dia tidak mengerti sesuatu karena takut, tidak dapat mengikuti intruksi, tidak dapat mengemukakan pendapat atau keinginan secara lisan karena tidak berani. Anak-anak seperti ini tidak mungkin dapat belajar dengan benar.
Faktor eksternal lainnya yang dapat menjadi hambatan belajar bagi seorang anak seperti, pengalaman belajar di kelas yang sangat keras dan sangant kompetitif, pengalaman belajar di kelas yang terlalu mudah, sehingga tidak ada tantangan untuk belajar lebih lanjut, pembelajaran yang tidak sesuai dengan gaya belajar anak, kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak secara personal , dan ketidaktersediaan sumber belajar dan media pembelajaran.

3. Faktor Internal dan Eksternal
Hambatan belajar bisa terjaidi karena komibinasi antara faktor intenal dan faktor eksternal. Misalnya seorang anak yang mengalami gangguan perkemabngan intelektual (internal) belajar pada lingkungan kelas yang keras dan kompetip (eksternal). Sudah dapat dipastikan bahwa hambatan bejar yang dialami oleh anak ini akan berakibat lebih buruk pada perkembangan hasil belajar anak. Anak menghadapi dua hambatan bejar secara bersamaan.














Referensi

Alimin, Zaenal (2004) Reorientasi Pemahaman Konsep Pendidikan Khusus Ke Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Implikasinya terhadap Layanan Pendidikan. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus. Vol.3 No 1 (52-63)

Foreman, Phil (2002), Integration and Inclusion In Action. Mc Person Printing Group: Australia.

Hauschild, AT & Watterdal, TM (2006) Kompendium: Perjanjian, Hukum dan
Peraturan Menjamin Semua anak Memperoleh Kesamaan Hak untuk
Kualitas Pendidikan dalam Cara Inkluisif. IDP Norway: Jakarta

International Symposium (2005) Inclusion and Removal Barrier to Learning, Partisipation and development. Departeman Pebdidikan Nasional: Jakarta


Johsen, Berit and Skjorten D. Miriam, (2001) Education, Special Needs Education an Intoduction. Unifub Porlag: Oslo


Lewis, Vicky (2003), Development and Disability. Blckwell Publishing Company: Padstow, Cornwall.

Stubbs, Sue (2002) Inclusive Education: Where there are few resources. The
Atlas

UNESCO (2003) Overcoming Exclusion through Inclusive Approach in Education
A Challenge and A Vision. Division for Early Childhood and Inclusive
Education: Pari