Rabu, 12 Agustus 2009

PENYANDANG KETUNAAN: ISTILAH PENGGANTI “PENYANDANG CACAT”

Oleh Didi Tarsidi

Diterbitkan tepat pada hari ulang tahun Pertuni ke-43, 26 Januari 2009.

Pada tanggal 8-9 Januari 2009 diselenggarakan semiloka tentang terminology “penyandang cacat”, disponsori oleh Komnas HAM dan Departemen Sosial RI, bertempat di Balai Besar Rehabilitasi Binadaksa, Cibinong, Jawa Barat. Istilah alternative yang dihasilkan dari semiloka tersebut akan direkomendasikan untuk dipergunakan guna menerjemahkan frase “persons with disabilities” yang dipergunakan dalam International Convention on the Rights of Persons with Disabilities yang akan dituangkan ke dalam penyusunan RUU tentang ratifikasi konvensi tersebut.

Mengapa Perlu Istilah Pengganti?

Kamus Umum Bahasa Indonesia (Purwadarminta) memberikan beberapa arti untuk kata “cacat” yang mencakup: (1) kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau ahlak); (2) lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (kurang sempurna); (3) cela atau aib; (4) tidak/kurang sempurna.

Sebagaimana dapat kita lihat dari pengertian-pengertian yang diberikan dalam kamus bahasa Indonesia tersebut, kata cacat selalu diasosiasikan dengan atribut-atribut yang negatif dan oleh karenanya istilah “penyandang cacat” cenderung membentuk opini publik bahwa orang-orang dengan kecacatan ini malang, patut dikasihani, tidak terhormat, tidak bermartabat. Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan Konvensi untuk mempromosikan penghormatan atas martabat “penyandang cacat” dan melindungi dan menjamin kesamaan hak asasi mereka sebagai manusia. Oleh karena itu, kita harus menemukan istilah alternative yang bermartabat untuk mengacu pada orang-orang yang menyandang kecacatan ini.

Apa Istilah yang Dipergunakan di PBB dan Negara-negara Lain?

Perserikatan Bangsa-bangsa dan Negara-negara berbahasa Inggris menggunakan istilah “disability”. Lihat misalnya judul dokumen-dokumen berikut ini: Disability Discrimination Act (undang-undang Kerajaan Inggris, 1995); Americans with Disabilities Act (undang-undang Amerika Serikat, 1999); Convention on the Rights of Persons with Disabilities (konvensi PBB, 2006).

Dalam the International Classification of Impairments, Disabilities and Handicaps, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 1980), mendefinisikan tiga aspek kecacatan, yaitu impairment, disability, dan handicap.
Impairment adalah kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi psikologis, fisiologis, atau anatomis (Any loss or abnormality of psychological, physiological, or anatomical structure or function).
Disability adalah suatu keterbatasan atau kehilangan kemampuan [sebagai akibat dari suatu impairment] untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi seorang manusia (Any restriction or lack (resulting from an impairment) of ability to perform an activity in the manner or within the range considered normal for a human being).
Handicap adalah suatu kerugian, bagi seorang individu tertentu, sebagai akibat dari suatu impairment atau disability, yang membatasi atau menghambat terlaksananya suatu peran yang normal, tergantung pada usia, jenis kelamin, faktor-faktor sosial atau budaya (A disadvantage, for a given individual, resulting from an impairment or disability, that limits or prevents the fulfillment of a role that is normal, depending on age, sex, social and cultural factors).

Definisi-definisi di atas menunjukkan bahwa disability hanyalah salah satu dari tiga aspek kecacatan itu. Sementara impairment merupakan aspek kecacatan pada level organ tubuh, dan handicap merupakan aspek yang dipengaruhi oleh factor-faktor yang tidak terkait langsung dengan kecacatan, disability merupakan aspek kecacatan pada level keberfungsian individu.
Suatu impairment belum tentu mengakibatkan disability. Misalnya, seseorang yang kehilangan sebagian dari jari kelingking tangan kanannya tidak akan menyebabkan orang itu kehilangan kemampuannnya untuk melakukan kegiatan sehari-hari secara selayaknya.
Demikian pula, disability tidak selalu mengakibatkan seseorang mengalami handicap. Misalnya, orang yang kehilangan penglihatan (impairment) tidak mampu mengoperasikan computer secara visual (disability) tetapi dia dapat mengatasi keterbatasannya itu dengan menggunakan software pembaca layer bersuara (speech screen reader) dan oleh karenanya dia tetap dapat berperan sebagai seorang programmer komputer. Akan tetapi, handicap dalam bidang programming itu akan muncul manakala dia dihadapkan pada komputer yang tidak dilengkapi dengan speech screen reader. Ini berarti bahwa keadaan handicap itu ditentukan oleh factor-faktor di luar dirinya.

UU RI No. 4/1997, Pasal 1 ayat 1, mendefinisikan “penyandang cacat” sebagai “setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya”. Definisi ini sebenarnya memiliki pengertian yang senada dengan “disability”. Jadi, kalau orang tidak suka dengan istilah penyandang cacat itu bukan karena konsepnya yang salah, melainkan karena pilihan kata yang dipergunakan untuk mewakili konsep itu (cacat) yang bermasalah - sebagaimana telah dikupas pada bagian awal dari artikel ini, yang telah membawa kita pada perlunya menemukan istilah alternatif.

Apa Sebaiknya Istilah Alternative Itu?

Semiloka selama dua hari sebagaimana disebutkan di atas tidak berhasil menyepakati satu istilah pengganti “penyandang cacat”. Ada sembilan istilah alternative yang direkomendasikan untuk dipertimbangkan lebih jauh oleh sebuah tim khusus, yang hasilnya akan diajukan untuk uji public. Istilah alternative itu harus memenuhi criteria sebagai berikut:
a. Deskriptif realistis tetapi
b. tidak mengandung unsur perendahan martabat (non-derogatory);
c. Bahasa Indonesia; dan
d. Sudah cukup familier bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Tiga dari sembilan istilah yang direkomendasikan oleh semiloka itu adalah: “difabel”, “orang berkebutuhan khusus”, dan “penyandang ketunaan”.

Saya pertama kali mendengar istilah diffabled pada tahun 1981 dalam suatu diskusi pada konferensi ketunanetraan Asia yang diselenggarakan bersama oleh International Federation of the Blind (IFB) dan World Council for the Welfare of the Blind (WCWB) di Singapura. Istilah ini kemudian diIndonesiakan menjadi “difabel”. Diffabled merupakan akronim dari differently abled, dan kata bendanya diffability (akronim dari different ability) dipromosikan oleh orang-orang yang tidak menyukai istilah disabled dan disability. Orang-orang ini mengartikan istilah disability secara tidak lengkap sebagai “ketidakmampuan”. Mereka berargumen bahwa orang-orang dengan disability bukan tidak mampu melainkan memiliki kemampuan yang berbeda.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, WHO mendefinisikan disability bukan sekedar ketidakmampuan, melainkan ketidakmampuan untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara-cara yang dipandang normal, dan oleh karenanya istilah ini tetap memberi ruang bagi orang dengan disability untuk melakukan kegiatan dengan cara yang berbeda (sebagaimana dicontohkan dengan kasus programmer tunanetra di atas). Contoh itu dengan jelas menunjukkan bahwa orang dengan disability bukan memiliki “kemampuan yang berbeda” seperti yang diklaim oleh istilah “diffability”, melainkan dapat memiliki kemampuan yang sama tetapi harus menggunakan cara yang berbeda.
Perlu difahami bahwa “disability” bukan lawan kata “ability” (kemampuan). Lawan kata ability adalah inability; sedangkan lawan kata disability adalah non-disability. Jadi, istilah “diffabled” atau “diffability” itu mengandung pengertian yang secara konseptual mengundang perdebatan.
Lebih jauh, istilah diffabled ataupun diffability merupakan istilah yang asing bahkan bagi penutur asli bahasa Inggris, mungkin sama asingnya dengan istilah “difabel” bagi orang Indonesia. Oleh karenanya, orang-orang tertentu berpandangan bahwa penggunaan istilah ini cenderung merupakan upaya untuk menutup-nutupi kekurangan, melarikan diri dari kenyataan, meskipun saya sendiri berpandangan bahwa pelarian diri dari keadaan kecacatan bukan esensi di balik penggunaan istilah “difabel” ini, melainkan merupakan satu upaya untuk menghindari istilah “cacat” yang cenderung merendahkan martabat.
Dengan demikian, istilah difabel hanya memenuhi satu dari empat criteria istilah yang tepat, yaitu hanya “tidak mengandung unsur perendahan martabat”.

Istilah “orang berkebutuhan khusus” memenuhi keempat criteria di atas tetapi memiliki pengertian yang terlalu luas. Istilah “persons with special needs” pertama kali dicantumkan dalam dokumen kebijakan internasional dalam Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi mengenai Pendidikan Kebutuhan Khusus yang dihasilkan dalam Konferensi Dunia tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus, Salamanca, Spanyol, 1994, diselenggarakan oleh UNESCO bekerjasama dengan pemerintah Spanyol. Pada paragraph 3 pendahuluan Kerangka Aksi itu dinyatakan bahwa kebutuhan khusus itu dapat dihadapi oleh anak penyandang kecacatan dan anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari penduduk terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok linguistik, etnik ataupun kebudayaan minoritas, serta anak dari daerah atau kelompok lain yang tak beruntung. Pernyataan ini menunjukkan dengan jelas bahwa kecacatan hanyalah merupakan salah satu dari banyak penyebab kebutuhan khusus. Oleh karena itu, istilah “orang berkebutuhan khusus” tidak dapat digunakan untuk menggantikan istilah “penyandang cacat”.

“Penyandang ketunaan” sebagai istilah alternative yang paling tepat

Kata “tuna” berasal dari bahasa Jawa kuno yang berarti rusak atau rugi. Penggunaan kata ini diperkenalkan pada awal tahun 1960-an sebagai bagian dari istilah yang mengacu pada kekurangan yang dialami oleh seseorang pada fungsi organ tubuhnya; lihat misalnya istilah tunanetra, tunarungu, dll. Penggunaan istilah tuna ini pada awalnya dimaksudkan untuk memperhalus kata cacat demi tetap menghormati martabat penyandangnya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya kata tuna digunakan juga untuk membentuk istilah yang mengacu pada kekurangan non-organik; lihat misalnya istilah tunawisma, tunasusila, dll. Akan tetapi, kata tuna tidak lazim digunakan untuk mengacu pada barang yang rusak, tidak seperti kata cacat yang dapat digunakan untuk mengatakan, misalnya, “sepatu ini cacat”.
Secara kebahasaan, tuna adalah kata sifat (adjective), dan kata bendanya adalah ketunaan, yang secara harafiah berarti kerugian atau kerusakan. Paralel dengan kata “tuna” yang digunakan untuk memperhalus kata “cacat”, maka kata “ketunaan” dapat pula digunakan untuk memperhalus kata “kecacatan”. Oleh karenanya, istilah “penyandang ketunaan” dapat digunakan untuk pengganti istilah „penyandang cacat” (yang secara gramatik seharusnya “penyandang kecacatan”).
Istilah “penyandang ketunaan” memenuhi keempat kriteria di atas. Istilah ini deskriptif realistis, yaitu tetap menggambarkan keadaan yang sesungguhnya (kerusakan, kekurangan atau kerugian sebagaimana arti harafiah kata tuna itu), tetapi tidak mengandung unsur perendahan martabat berkat hakikat eufemisme yang sudah melekat pada kata tersebut. Lebih jauh, istilah „tuna“ juga sudah dikenal dan diterima secara luas, baik oleh penyandangnya maupun oleh masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, istilah „penyandang ketunaan“ tidak terdengar sebagai istilah baru, dan bahkan sudah banyak yang menggunakannya. Pencarian kata „ketunaan“ di Internet dengan Google pada tanggal 25 Januari 2009 pukul 21.29 memunculkan 23900 hasil, sedangkan pencarian frase „penyandang ketunaan” pada pukul 21.30 memunculkan 158 hasil.
Kata tuna atau ketunaan bahkan juga sudah tercantum dalam berbagai dokumen perundang-undangan, antara lain: Undang-undang Nomor 19/2002 tentang Hak Cipta; Peraturan Pemerintah Nomor 72/1991 tentang Pendidikan Luar Biasa; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 104/Menkes/Per/II/1999 tentang Rehabilitasi Medik; Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas Dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.

Oleh karena itu, mengingat keseluruhan rasional yang telah dipaparkan dalam artikel ini, sangat dianjurkan agar kita menggunakan istilah „penyandang ketunaan“ untuk mengacu pada orang-orang yang menyandang kecacatan atau untuk menerjemahkan frase persons with disabilities.

Tentang Penulis

DR. Didi Tarsidi adalah dosen pada Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, dan Ketua Umum Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni). Dia sendiri adalah seorang penyandang ketunaan, tunanetra.

Anak Penyandang Autisme dan Pendidikannya

Oleh Didi Tarsidi dan Zaenal Alimin

Pengertian dan Definisi

Autisme adalah ganguan perkembangan yang berdampak pada kemampuan berkomunikasi, memahami bahasa, bermain, dan berinteraksi dengan orang lain.

Autisme merupakan sindrom perilaku, yang definisinya didasarkan atas pola perilaku yang ditunjukkan oleh orang ybs.

Autisme bukan penyakit, tidak menular, tidak didapat melalui kontak dengan lingkungan.
Autisme merupakan kelainan neurologis yang dibawa sejak lahir dan selalu terdeeteksi sebelum usia tiga tahun.
Penyebabnya belum diketahui; diperkirakan karena multi-sebab, yang masing-masing termanifestasikan dalam berbagai bentuk autisme.

Autisme adalah salah satu jenis kelainan yang termasuk Autisme Spectrum Disorder (ASD) yang mencakup:
1) Pervasive Developmental Disorder - Not Otherwise Specified (PDD NOS), yang ciri-cirinya menyerupai autisme tetapi tidak parah;
2) Rett's syndrome, kelainan genetik yang hanya menyerang anak perempuan, dengan tanda-tanda neurologis yang berat termasuk seizures, (seperti gila atau kesurupan) yang tampak lebih jelas dengan pertambahan usia;
3) Asperger syndrome, ciri-cirinya seperti autisme tetapi kemampuan bahasanya relatif baik;
4) Childhood Disintegrative Disorder: perkembangannya tampak normal untuk beberapa tahun pertama, tetapi keterampilan bicara dan keterampilan lainnya terus mundur hingga akhirnya memiliki karakteristik autisme.

Kemampuan dan kepribadian penyandang autisme dan ASD sangat bervariasi:
- retardasi mental berat hingga gifted;
- mengisolasi diri hingga memiliki afeksi tingkat tinggi dan senang kontak sosial;
- pasif dan lambat merespon, hingga sangat aktif dan tampak terus berinteraksi dengan aspek lingkungan yang disukainya.

Deskripsi Perilaku Autis
- Kesulitan dalam perkembangan komunikasi verbal maupun non-verbal, interaksi sosial, dan kegiatan bermain.
- menunjukkan gerakan-gerakan tak lazim, repetitif, berkelamaan; - resistensi terhadap perubahan dalam rutinitas dan roman lingkungannya;
- terlalu peka atau kurang peka terhadap jenis-jenis stimulasi tertentu, menunjukkan tantrum, agresi atau bentuk-bentuk perilaku dramatis lainnya;
- Pola perkembangan keterampilan yang tidak merata (misalnya superior dalam musik, mekanik, dan berhitung; tetapi bidang-bidang lain terhambat).

Diagnosis, Evaluasi dan Prevalensi

Diagnosis dan Evaluasi
- Alat diagnosis: Diagnostic and Statistical Manual of the American Psychiatric Association, Fourth Edition (DSM IV,1994).
- Diagnosis dilakukan setelah anak mengembangkan keterampilan bahasa yang kompleks (sekitar usia tiga tahun), oleh dokter spesialis anak, psikolog, psikiatris anak, atau spesialis neurologi.
- Evaluasi pendidikan dan perkembangannya dilakukan oleh guru PLB dengan melibatkan keluarga, untuk membantu mengembangkan rencana intervensi dini.

Prevalensi
- Autisme sebagai satu sindrom pertama kali teridentifikasi pada awal abad k-20.
- Autisme atau ASD dengan definisi yang luas terjadi pada 1/500 orang.
- Autisme lebih banyak menyerang anak laki-laki daripada anak perempuan (4:1).
- Prevalensi autisme tidak mengenal perbedaan ras, budaya, status sosial ataupun ekonomi.

Pendidikan Anak Autis

Siswa penyandang autisme lebih banyak persamaanya daripada perbedaanya dengan siswa-siswa lain. Meskipun banyak di antara mereka memberikan tantangan pengajaran yang berat bagi guru, tetapi mereka dapat belajar dengan baik bila pengajarannya menggunakan praktek pengajaran yang tepat, sistematis, dan terindividualisasi.

Pedoman Umum Pengajaran Siswa Autis:
- Program pengajaran yang diindividualisasikan (IEP).
- Lingkungan belajar yang terstruktur, dengan pedoman yang jelas mengenai perilaku apa yang diharapkan dan tidak diharapkan.
- Kelas dilengkapi dengan alat-alat bantu informasi visual agar anak dapat memahami dan memprediksi alur kegiatan kelas.
- Kurikulum didasarkan atas karakteristik individual anak, bukan atas dasar label autisme.
- Fokus pada pengembangan keterampilan yang akan bermanfaat bagi kehidupan anak sehari-hari.
- Penggunaan sistem visual, bahasa isyarat, atau alat peraga untuk berkomunikasi dengan anak.
- Keterlibatan orang tua anak serta keluarganya untuk berpartisipasi dalam proses asesmen, perencanaan kurikulum, pengajaran, dan monitoring.
- Mengidentifikasi kegiatan atau obyek yang dapat memotivasi anak, dan menggunakannya untuk pengajaran atau sebagai reinforcement.
- Anak berkesempatan memilih kegiatan belajar yang disukainya.
- Pendekatan behavioristik: trial and error training, prompting, reinforcement.
- Dalam kelas inklusif, teman-teman sekelasnya harus didorong untuk suportif dan kooperatif.
- Bagi penyandang autisme dengan perilaku destruktif, gunakan pendekatan positive behavior support:
mengajarkan perilaku alternatif dan mengubah lingkungan belajar dan aspek-aspek kurikulum yang terkait dengan masalah anak.

Referensi

Dunlap, G. & Bunton Pierce, M. (1999). Autisme and Autisme Spectrum Disorder (ASD). The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC). Tersedia: http://ericec.org/digests/e583.html

Dunlap, g. & Fox, L. (1999). Teaching Students with Autisme. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC). Tersedia: http://ericec.org/digests/e582.htm

Pernyataan Salamanca

PERNYATAAN SALAMANCA DAN KERANGKA AKSI MENGENAI PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS

KONFERENSI DUNIA TENTANG PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS: AKSES DAN KUALITAS

Salamanca, Spanyol, 7-10 Juni 1994

Alih Bahasa Oleh Didi Tarsidi

Untuk versi bahasa Inggris silakan kunjungi The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education

Kata Pengantar

Lebih dari 300 peserta yang mewakili 92 pemerintah dan 25 organisasi internasional bertemu di Salamanca, Spanyol, dari tanggal 7 sampai 10 Juni 1994, untuk memperluas tujuan Pendidikan bagi Semua (Education for All) dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan mendasar yang diperlukan untuk menggalakkan pendekatan pendidikan inklusif, agar sekolah-sekolah dapat melayani semua anak, terutama mereka yang mempunyai kebutuhan pendidikan khusus. Diselenggarakan oleh Pemerintah Spanyol bekerjasama dengan UNESCO, konferensi ini mempertemukan para pejabat tinggi dan pembuat kebijakan serta para ahli di bidang pendidikan, maupun pejabat, pengelola serta perwakilan Perserikatan Bangsa-bangsa dan badan-badan spesialisasinya, organisasi pemerintah tingkat internasional, organisasi non-pemerintah serta lembaga-lembaga donor. Konferensi ini menetapkan Pernyataan Salamanca tentang Prinsip, Kebijakan dan Praktek dalam Pendidikan Kebutuhan Khusus, serta kerangka aksinya. Dokumen-dokumen ini disusun berdasarkan prinsip inklusi, dengan mengakui perlunya dilakukan upaya ke arah terwujudnya "sekolah bagi semua" - yang merupakan lembaga yang menerima setiap orang, menghargai adanya perbedaan-perbedaan, mendukung proses belajar, dan berupaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan individual. Dengan demikian, dokumen ini merupakan kontribusi yang penting bagi agenda untuk mencapai Pendidikan bagi Semua dan untuk membuat pendidikan di sekolah lebih efektif.


Pendidikan kebutuhan khusus - suatu permasalahan yang sama pentingnya bagi negara-negara Utara maupun Selatan - tidak dapat maju apabila terisolasi. Dia harus merupakan bagian dari strategi pendidikan secara keseluruhan, dan bagian dari kebijakan-kebijakan sosial ekonomi baru. Pendidikan kebutuhan khusus ini menuntut adanya reformasi pada sekolah-sekolah reguler.
Dokumen-dokumen ini menggambarkan konsensus masyarakat dunia mengenai arah masa depan pendidikan kebutuhan khusus. UNESCO merasa bangga telah turut menyelenggarakan konferensi ini, yang telah mengambil keputusan yang penting. Semua yang berkepentingan kini harus bangkit menghadapi tantangan ini dan bekerja untuk menjamin agar Pendidikan bagi Semua benar-benar berarti Bagi Semua, terutama bagi mereka yang paling tak berdaya dan paling memerlukan. Masa depan terbentuk bukan karena nasib, melainkan akan ditentukan oleh pemikiran dan tindakan kita serta nilai-nilai yang kita anut. Keberhasilan kita dalam tahun-tahun mendatang akan lebih tergantung pada apa yang kita capai daripada apa yang kita lakukan.

Merupakan harapan saya bahwa semua yang membaca dokumen ini akan membantu melaksanakan rekomendasi-rekomendasi yang dirumuskan dalam Konferensi Salamanca ini dengan berusaha menerjemahkan pesannya ke dalam praktek di dalam bidang tanggung jawabnya masing-masing.

Federico Mayor





Pernyataan Salamanca
TENTANG PRINSIP, KEBIJAKAN DAN PRAKTEK
DALAM PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS


Dengan menegaskan kembali hak pendidikan bagi setiap individu, sebagaimana diabadikan di dalam Deklarasi Universal 1948 tentang Hak Azazi Manusia, dan dengan memperbaharui ikrar yang diucapkan oleh masyarakat dunia dalam Konferensi Dunia 1990 tentang Pendidikan bagi Semua untuk menjamin hak semua orang tanpa memandang perbedaan-perbedaan individual yang ada,
Mengingat berbagai deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa yang berpuncak pada Peraturan Standar Perserikatan Bangsa-bangsa 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat, yang mendesak Negara-negara untuk menjamin agar pendidikan bagi para penyandang cacat merupakan bagian yang integral dari sistem pendidikan umum,
Menyatakan rasa puas atas meningkatnya keterlibatan pemerintah-pemerintah, kelompok-kelompok advokasi, kelompok-kelompok masyarakat dan orang tua, dan terutama organisasi-organisasi para penyandang cacat, dalam berupaya meningkatkan akses terhadap pendidikan yang masih belum tercapaibagi sebagian besar orang yang menyandang kebutuhan khusus; dan dengan mengakui sebagai bukti keterlibatan tersebut adalah adanya partisipasi aktif dari perwakilan tingkat tinggi dari sejumlah besar pemerintah, lembaga-lembaga spesialisasi dan organisasi-organisasi antarpemerintah dalam Konferensi Dunia ini,

1. Kami, para delegasi Konferensi Dunia tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus yang mewakili sembilan puluh dua pemerintah dan dua puluh lima organisasi internasional, yang berkumpul di sini di Salamanca, Spanyol, dari tanggal 7 10 Juni 1994, dengan ini menegaskan kembali komitmen kami terhadap Pendidikan bagi Semua, mengakui perlunya dan mendesaknya memberikan pendidikan bagi anak, remaja dan orang dewasa penyandang kebutuhan pendidikan khusus di dalam sistem pendidikan reguler, dan selanjutnya dengan ini menyetujui Kerangka Aksi mengenai Pendidikan Kebutuhan Khusus, yang semangat ketetapan-ketetapan serta rekomendasi-rekomendasinya diharapkan akan dijadikan pedoman oleh pemerintah-pemerintah serta organisasi-organisasi.

2. Kami meyakini dan menyatakan bahwa:
Setiap anak mempunyai hak mendasar untuk memperoleh pendidikan, dan harus diberi kesempatan untuk mencapai serta mempertahankan tingkat pengetahuan yang wajar,
Setiap anak mempunyai karakteristik, minat, kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda-beda,

Sistem pendidikan seyogyanya dirancang dan program pendidikan dilaksanakan dengan memperhatikan keanekaragaman karakteristik dan kebutuhan tersebut,
Mereka yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus harus memperoleh akses ke sekolah reguler yang harus mengakomodasi mereka dalam rangka pedagogi yang berpusat pada diri anak yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut,
Sekolah reguler dengan orientasi inklusi tersebut merupakan alat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan mencapai Pendidikan bagi Semua; lebih jauh, sekolah semacam ini akan memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya akan menurunkan ongkos bagi seluruh sistem pendidikan.

3. Kami meminta perhatian semua pemerintah dan mendesak mereka untuk:
Memberi prioritas tertinggi pada pengambilan kebijakan dan penetapan anggaran untuk meningkatkan sistem pendidikannya agar dapat menginklusikan semua anak tanpa memandang perbedaan-perbedaan ataupun kesulitan-kesulitan individual mereka,
Menetapkan prinsip pendidikan inklusif sebagai undang-undang atau kebijakan, sehingga semua anak ditempatkan di sekolah reguler kecuali bila terdapat alasan yang sangat kuat untuk melakukan lain,
Mengembangkan proyek percontohan dan mendorong pertukaran pengalaman dengan negara-negara yang telah berpengalaman dalam menyelenggarakan sekolah inklusif,
Menetapkan mekanisme partisipasi yang terdesentralisasi untuk membuat perencanaan, memantau dan mengevaluasi kondisi pendidikan bagi anak serta orang dewasa penyandang kebutuhan pendidikan khusus, Mendorong dan memfasilitasi partisipasi orang tua, masyarakat dan organisasi para penyandang cacat dalam perencanaan dan proses pembuatan keputusan yang menyangkut masalah pendidikan kebutuhan khusus,
Melakukan upaya yang lebih besar dalam merumuskan dan melaksanakan strategi identifikasi dan penanggulangan dini, maupun dalam aspek-aspek vokasional dari pendidikan inklusif,
Demi berlangsungnya perubahan sistemik, menjamin agar program pendidikan guru, baik pendidikan pradinas maupun dalam dinas, membahas masalah pendidikan kebutuhan khusus di sekolah inklusif.

4. Kami juga meminta perhatian masyarakat internasional; secara khusus kami meminta perhatian:

Pemerintah-pemerintah yang mempunyai program kerjasama internasional dan lembaga-lembaga pendanaan internasional, terutama para sponsor Konferensi Dunia tentang Pendidikan bagi Semua, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO), Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-bangsa (UNICEF), Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNDP), dan Bank Dunia:
Agar mendukung pendekatan pendidikan inklusif serta mendukung pengembangan pendidikan kebutuhan khusus sebagai bagian yang integral dari semua program pendidikan;
- Perserikatan Bangsa-bangsa beserta lembaga-lembaga spesialisasinya, terutama Organisasi Buruh Internasional (ILO), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), UNESCO dan UNICEF:
Agar memperkuat masukan-masukannya bagi terjalinnya kerjasama teknis, serta memperkuat kerjasama dan jaringan kerjanya agar tercipta dukungan yang lebih efisien terhadap penyelenggaraan pendidikan kebutuhan khusus yang lebih luas dan lebih terintegrasi;
Organisasi-organisasi non-pemerintah yang terlibat dalam perencanaan nasional dan penyaluran pelayanan:
Agar memperkuat kerjasamanya dengan badan-badan nasional pemerintah dan agar mengintensifkan keterlibatannya dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan pendidikan kekbutuhan khusus secara inklusif;
UNESCO, sebagai lembaga Perserikatan Bangsa-bangsa yang menangani pendidikan:
Agar menjamin bahwa pendidikan kebutuhan khusus selalu merupakan bagian dari setiap diskusi mengenai Pendidikan bagi Semua dalam berbagai forum,
Agar memobilisasi dukungan dari organisasi-organisasi profesi keguruan dalam hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan pendidikan guru mengenai penyelenggaraan pendidikan kebutuhan khusus,
Agar menstimulasi masyarakat akademik untuk meningkatkan kegiatan penelitian dan jaringan kerja serta membentuk pusat-pusat informasi dan dokumentasi regional; juga agar berfungsi sebagai pusat penerangan bagi kegiatan-kegiatan tersebut dan agar menyebarluaskan hasil-hasil serta kemajuan yang telah dicapai pada tingkat negara dalam upaya meingimplementasikan deklarasi ini,
Agar memobilisasi dana melalui perluasan program penyelenggaraan sekolah-sekolah inklusif dan program dukungan masyarakat dalam rencana jangka menengah (1996 2002), yang akan memungkinkan diluncurkannya proyek perintis guna mempertunjukkan pendekatan-pendekatan baru dalam upaya penyebarluasan informasi, serta untuk mengembangkan indikator-indikator mengenai perlunya pendidikan kebutuhan khusus dan penyelenggaraannya.

5. Akhirnya, kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pemerintah Spanyol dan kepada UNESCO atas terselenggaranya Konferensi ini, dan kami mendesak mereka untuk melakukan segala upaya agar Deklarasi ini beserta Kerangka Aksinya memperoleh perhatian masyarakat dunia, terutama dalam forum-forum penting seperti KTT Dunia tentang Pembangunan Sosial (Copenhagen, 1995) dan Konferensi Dunia tentang Wanita (Beijing, 1995).


Ditetapkan secara aklamasi,

di kota Salamanca, Spanyol,
pada tanggal 10 Juni 1994.








KERANGKA AKSI
MENGENAI
PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS



DAFTAR ISI


Pendahuluan ……………………………………………………………………14
I. Pemikiran-pemikiran Baru Dalam Pendidikan Kebutuhan Khusus …19
II. Pedoman Aksi di Tingkat Nasional …………………………………….25
A. Kebijakan dan Pengorganisasian…………………………………. 25
B. Faktor-faktor Sekolah …………………………………………………30
C. Penerimaan dan Pelatihan Personalia Kependidikan …………….35
D. Layanan Pendukung Eksternal ……………………………………39
E. Bidang-bidang Prioritas ……………………………………………..41
F. Perspektif Masyarakat ………………………………………………44
G. Sumber-sumber Yang Dibutuhkan …………………………………50
III. Pedoman Aksi di Tingkat Regional dan Internasional………………... 53

Pendahuluan


1. Kerangka Aksi mengenai Pendidikan Kebutuhan Khusus ini ditetapkan oleh Konferensi Dunia tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus yang diselenggarakan oleh Pemerintah Spanyol bekerjasama dengan UNESCO dan diadakan Salamanca dari tanggal 7 hingga 10 Juni 1994. Tujuannya adalah untuk menginformasikan kebijakan dan memberi pedoman aksi kepada pemerintah-pemerintah, organisasi-organisasi internasional, lembaga-lembaga bantuan tingkat nasional, organisasi-organisasi non-pemerintah serta badan-badan lain dalam mengimplementasikan Pernyataan Salamanca mengenai Prinsip, Kebijakan dan Praktek dalam Pendidikan Kebutuhan Khusus. Kerangka Aksi ini disusun berdasarkan pengalaman nasional dari negara-negara peserta maupun berbagai resolusi, rekomendasi dan publikasi badan-badan PBB serta organisasi-organisasi antarpemerintah lainnya, terutama Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat. Kerangka Aksi ini juga mempertimbangkan berbagai usulan, pedoman dan rekomendasi yang dicetuskan dalam lima seminar regional yang telah diselenggarakan untuk mempersiapkan Konferensi Dunia ini.

2. Hak setiap anak atas pendidikan dinyatakan dalam Deklarasi Universal tentang Hak Azazi Manusia dan secara kuat dipertegas oleh Deklarasi Dunia tentang Pendidikan bagi Semua. Setiap penyandang cacat berhak menyatakan keinginannya sehubungan dengan pendidikannya, sejauh hal tersebut dapat difahami. Orang tua berhak untuk dikonsultasi mengenai bentuk pendidikan yang paling sesuai dengan kebutuhan, keadaan dan aspirasi anaknya.

3. Prinsip yang dijadikan pedoman dalam Kerangka Aksi ini adalah bahwa sekolah seyogyanya mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik ataupun kondisi-kondisi lainnya. Ini seyogyanya mencakup anak cacat dan anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari penduduk terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok linguistik, etnik ataupun kebudayaan minoritas, serta anak dari daerah atau kelompok lain yang tak beruntung. Kondisi-kondisi tersebut menciptakan berbagai macam tantangan bagi sistem persekolahan.

Dalam konteks Kerangka Aksi ini, istilah "kebutuhan pendidikan khusus" mengacu pada semua anak dan remaja yang kebutuhannya timbul akibat kecacatan atau kesulitan belajarnya. Banyak anak mengalami kesulitan belajar dan oleh karenanya memiliki kebutuhan pendidikan khusus pada saat mereka sedang menempuh pendidikannya. Sekolah harus mencari cara agar berhasil mendidik semua anak, termasuk mereka yang memiliki kekurangan dan kecacatan yang parah. Terdapat satu konsensus bahwa anak dan remaja yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus seyogyanya tercakup dalam perencanaan pendidikan yang dibuat untuk anak pada umumnya. Hal tersebut telah membawa kita pada konsep sekolah inklusif. Tantangan yang dihadapkan pada sekolah inklusif adalah bahwa sekolah harus mengembangkan satu pedagogi yang berpusat pada diri anak, yang mampu berhasil mendidik semua anak, termasuk mereka yang memiliki kekurangan dan kecacatan yang parah. Keuntungan dari sekolah semacam ini bukan hanya mampu memberikan pendidikan yang berkualitas kepada semua anak; penyelenggaraan sekolah tersebut juga akan merupakan langkah yang sangat penting dalam membantu mengubah sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah dan menciptakan masyarakat inklusif. Perubahan dalam pandangan sosial merupakan satu keharusan. Sudah terlalu lama permasalahan yang dihadapi para penyandang cacat diperparah oleh sikap negatif masyarakat yang perhatiannya lebih difokuskan pada kecacatannya, bukan pada potensinya.

4. Pendidikan kebutuhan khusus menganut prinsip-prinsip pedagogi yang sehat yang dapat menguntungkan semua anak. Pendidikan kebutuhan khusus berasumsi bahwa perbedaan-perbedaan manusia itu normal adanya dan bahwa oleh karenanya pembelajaran itu harus disesuaikan dengan kebutuhan anak bukannya anak yang disesuaikan dengan kecepatan dan hakikat proses belajar. Pedagogi yang berpusat pada diri anak itu menguntungkan bagi semua siswa dan pada gilirannya menguntungkan bagi masyarakat secara keseluruhan. Pengalaman telah menunjukkan bahwa hal tersebut dapat sangat mengurangi angka drop out dan tinggal kelas yang sering merupakan bagian dari banyak sistem pendidikan, dan sekaligus juga menjamin tercapainya tingkat prestasi rata-rata yang lebih tinggi. Suatu pedagogi yang berpusat pada diri anak dapat membantu menghindarkan penghamburan sumber-sumber dan mencegah pudarnya harapan-harapan yang sangat sering merupakan konsekuensi dari kualitas pengajaran yang buruk dan mentalitas pendidikan "satu ukuran pas untuk semua".
Lebih jauh, sekolah yang berpusat pada diri anak merupakan tempat berlatih yang baik bagi masyarakat yang berorientasi pada orang, yang menghargai adanya perbedaan-perbedaan serta menjunjung harga diri semua umat manusia.

Kerangka Aksi ini terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut:
I. Pemikiran-pemikiran baru dalam pendidikan kebutuhan khusus
II. Pedoman aksi pada tingkat nasional
A. Kebijakan dan pengorganisasian
B. Faktor-faktor sekolah
C. Penerimaan dan pelatihan personalia kependidikan
D. Berbagai layanan pendukung eksternal

E. Bidang-bidang prioritas
F. Perspektif masyarakat
G. Sumber-sumber yang dibutuhkan
III. Pedoman aksi di tingkat regional dan internasional








I
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN BARU DALAM
PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS


6. Kecenderungan dalam kebijakan sosial selama dua dasa warsa terakhir ini adalah meningkatkan integrasi dan partisipasi serta memerangi eksklusi (keterpisahan).
Inklusi (ketercakupan) dan partisipasi merupakan hal yang sangat penting bagi harga diri manusia serta memungkinkan orang menikmati dan mempraktekkan hak-hak azazinya sebagai manusia. Di dalam bidang pendidikan, hal tersebut tercermin dalam pengembangan strategi-strategi yang berusaha memberikan kesamaan kesempatan yang sesungguhnya.
Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa integrasi anak dan remaja penyandang kebutuhan pendidikan khusus tercapai dengan sebaik-baiknya apabila mereka ditempatkan di sekolah inklusif yang melayani semua anak di masyarakatnya.
Dalam konteks inilah mereka yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus dapat sepenuhnya mencapai kemajuan pendidikan dan integrasi sosial.
Sementara sekolah inklusif memberikan lingkungan yang tepat guna mencapai kesamaan kesempatan dan partisipasi penuh, keberhasilannya menuntut usaha bersama, bukan hanya oleh guru-guru dan staf sekolah, tetapi juga oleh teman sebayanya, orang tua, keluarga dan relawan. Reformasi institusi sosial bukan merupakan tugas teknis semata; melainkan, di atas segalanya, tergantung pada keyakinan, komitmen dan niat baik dari para individu anggota masyarakat yang bersangkutan.

7. Prinsip mendasar dari sekolah inklusif adalah bahwa, selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama, tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada diri mereka. Sekolah inklusif harus mengenal dan merespon terhadap kebutuhan yang berbeda-beda dari para siswanya, mengakomodasi berbagai macam gaya dan kecepatan belajarnya, dan menjamin diberikannya pendidikan yang berkualitas kepada semua siswa melalui penyusunan kurikulum yang tepat, pengorganisasian yang baik, pemilihan strategi pengajaran yang tepat, pemanfaatan sumber dengan sebaik-baiknya, dan penggalangan kemitraan dengan masyarakat sekitarnya. Seyogyanya terdapat dukungan dan pelayanan yang berkesinambungan sesuai dengan sinambungnya kebutuhan khusus yang dijumpai di tiap sekolah.


8. Di dalam sekolah inklusif, anak yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus seyogyanya menerima segala dukungan tambahan yang mereka perlukan untuk menjamin efektifnya pendidikan mereka. Pendidikan inklusif merupakan alat yang paling efektif untuk membangun solidaritas antara anak penyandang kebutuhan khusus dengan teman-teman sebayanya. Pengiriman anak secara permanen ke sekolah luar biasa atau kelas khusus atau bagian khusus di sebuah sekolah reguler seyogyanya merupakan suatu kekecualian, yang direkomendasikan hanya pada kasus-kasus tertentu di mana terdapat bukti yang jelas bahwa pendidikan di kelas reguler tidak dapat memenuhi kebutuhan pendidikan atau sosial anak, atau bila hal tersebut diperlukan demi kesejahteraan anak yang bersangkutan atau kesejahteraan anak-anak lain di sekolah itu.

9. Situasi pendidikan kebutuhan khusus sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya. Misalnya, terdapat sejumlah negara yang mempunyai sistem sekolah luar biasa yang tertata dengan baik bagi penyandang kecacatan tertentu. SLB semacam ini dapat dijadikan sumber yang sangat baik bagi pengembangan sekolah inklusif. Staf di institusi-institusi khusus seperti ini memiliki keahlian yang dibutuhkan untuk penyaringan dan identifikasi dini anak-anak penyandang cacat.
SLB juga dapat berfungsi sebagai pusat pelatihan dan pusat sumber bagi staf di sekolah reguler. Akhirnya, SLB - atau unit-unit tertentu di sekolah inklusif dapat terus memberikan pendidikan yang paling cocok bagi sejumlah kecil anak penyandang cacat yang tidak dapat dilayani secara memadai di kelas atau sekolah reguler. Investasi di SLB-SLB yang ada seyogyanya diarahkan ke perannya yang baru dan lebih besar sebagai penyedia dukungan profesional bagi sekolah-sekolah reguler dalam memenuhi kebutuhan pendidikan khusus. Satu kontribusi yang penting kepada sekolah-sekolah reguler, yang dapat diberikan oleh staf SLB, adalah mencocokkan isi kurikulum dan metode pengajaran dengan kebutuhan individual murid.
10. Negara-negara yang hanya mempunyai sedikit atau tidak mempunyai SLB disarankan agar memusatkan upayanya dalam pengembangan sekolah-sekolah inklusif dan pusat-pusat pelayanan khusus yang dibutuhkan untuk memungkinkan mereka melayani sebagian terbesar anak dan remaja terutama penyediaan pendidikan guru untuk pendidikan kebutuhan khusus dan pendirian pusat-pusat sumber yang diperlengkapi dengan tenaga dan peralatan yang tepat untuk mendukung sekolah-sekolah inklusif.
Terutama di negara-negara berkembang, pengalaman menunjukkan bahwa karena tingginya biaya penyelenggaraan SLB, hanya sejumlah kecil siswa saja yang mendapatkan manfaatnya, biasanya hanya mereka yang berada di perkotaan. Akibatnya, sebagian besar siswa penyandang kebutuhan khusus, terutama di daerah pedesaan, tidak mendapat pelayanan sama sekali. Memang, di banyak negara berkembang diperkirakan bahwa kurang dari satu persen anak penyandang kebutuhan pendidikan khusus tertampung di lembaga-lembaga yang ada. Di pihak lain, pengalaman menunjukkan bahwa sekolah inklusif yang melayani semua anak di lingkungan masyarakatnya, sangat berhasil dalam menggalang dukungan dari masyarakat dan dalam menemukan cara-cara yang imaginatif dan inovatif untuk memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas yang tersedia.


11. Perencanaan pendidikan oleh pemerintah seyogyanya berkonsentrasi pada pendidikan bagi semua orang, di semua wilayah negara dan dalam semua kondisi ekonomi, melalui sekolah negeri maupun suasta.

12. Karena di masa lalu relatif sedikit anak penyandang cacat yang mempunyai akses ke pendidikan, terutama di wilayah dunia berkembang, maka kini terdapat jutaan orang dewasa penyandang cacat yang pendidikan dasar pun belum pernah mereka peroleh. Oleh karenanya upaya bersama perlu dilakukan untuk mengajarkan baca/tulis/hitung dan keterampilan-keterampilan dasar kepada para penyandang cacat melalui program pendidikan dewasa.

13. Sangatlah penting diakui bahwa perempuan sering menghadapi permasalahan ganda, yakni bahwa purbasangka yang didasarkan atas gender memperberat kesulitan yang diakibatkan oleh kecacatannya. Perempuan dan laki-laki seyogyanya memiliki pengaruh yang sama terhadap perancangan program pendidikan dan memperoleh kesempatan yang sama pula dalam mendapatkan keuntungan dari program tersebut. Upaya-upaya khusus perlu dilakukan untuk mendorong perempuan penyandang cacat agar berpartisipasi dalam program-program pendidikan.

14. Kerangka Aksi ini dimaksudkan sebagai pedoman umum bagi perencanaan aksi dalam bidang pendidikan kebutuhan khusus. Tentu saja Kerangka Aksi ini tidak dapat memperhitungkan segala situasi yang sangat beragam di berbagai wilayah dan negara di seluruh dunia, maka dari itu harus diadaptasikan agar sesuai dengan kebutuhan dan keadaan setempat. Agar efektif, Kerangka Aksi ini harus dilengkapi dengan rencana aksi tingkat regional, nasional dan daerah yang dijiwai keinginan politik dan kemauan masyarakat untuk mencapai Pendidikan bagi Semua.






II
PEDOMAN AKSI
DI TINGKAT NASIONAL


A. KEBIJAKAN DAN PENGORGANISASIAN


15. Pendidikan terpadu (integrated education) dan rehabilitasi berbasis masyarakat (community-base rehabilitation) merupakan pendekatan-pendekatan pelengkap dan pendukung bagi pelayanan terhadap penyandang kebutuhan khusus. Keduanya didasarkan atas prinsip-prinsip inklusi, integrasi dan partisipasi, dan merupakan pendekatan-pendekatan yang sudah teruji kebaikannya serta efektif dalam pembiayaannya untuk meningkatkan kesamaan akses bagi mereka yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus, sebagai bagian dari satu strategi nasional yang ditujukan untuk mewujudkan Pendidikan bagi Semua. Negara-negara disarankan untuk mempertimbangkan aksi-aksi berikut ini sekaitan dengan kebijakan dan pengorganisasian sistem pendidikannya.

16. Peraturan perundang-undangan seyogyanya mengakui prinsip kesamaan kesempatan bagi anak, remaja maupun dewasa penyandang cacat dalam pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan tinggi, yang dilaksanakan secara terintegrasi, selama hal itu memungkinkan.

17. Langkah-langkah legislatif yang paralel dan bersifat melengkapi seyogyanya diambil dalam bidang kesehatan, kesejahteraan sosial, latihan kerja serta penempatan kerja untuk mendukung peraturan perundang-undangan dalam bidang pendidikan.

18. Kebijakan pendidikan pada semua tingkatan, dari tingkat nasional hingga tingkat daerah, seyogyanya menetapkan bahwa seorang anak penyandang cacat seyogyanya bersekolah di lingkungannya, di sekolah yang akan dimasukinya seandainya dia tidak cacat. Kekecualian pada peraturan ini seyogyanya dipertimbangkan atas dasar kasus perkasus, apabila hanya pendidikan pada SLB atau perpantian yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan individual anak tersebut.

19. Praktek pengintegrasian anak penyandang cacat di sekolah reguler seyogyanya merupakan bagian yang integral dari perencanaan nasional untuk mewujudkan Pendidikan bagi Semua. Bahkan dalam kasus-kasus kekecualian di mana anak ditempatkan di SLB, pendidikan mereka tidak harus seluruhnya terpisah dari pendidikan reguler. Kehadiran mereka secara paruh waktu di sekolah reguler seyogyanya dianjurkan.

Perlu juga ditetapkan peraturan untuk menjamin agar inklusi remaja dan dewasa penyandang kebutuhan khusus dilaksanakan juga di sekolah menengah dan perguruan tinggi maupun dalam program-program pelatihan. Perhatian khusus seyogyanya diberikan untuk menjamin adanya kesamaan akses dan kesempatan bagi perempuan penyandang cacat.

20. Perhatian khusus seyogyanya diberikan terhadap kebutuhan anak dan remaja yang menyandang kecacatan berat atau kecacatan ganda. Mereka memiliki hak yang sama dengan orang lain di masyarakat untuk mencapai kemandirian yang maksimal sebagai orang dewasa dan seyogyanya diberi pendidikan hingga ke batas kapasitas potensi mereka ke arah tersebut.

21. Kebijakan-kebijakan pendidikan seyogyanya sepenuhnya mempertimbangkan perbedaan-perbedaan dan berbagai macam situasi individual. Pentingnya bahasa isyarat sebagai media komunikasi di kalangan penyandang tunarungu, misalnya, seyogyanya diakui, dan seyogyanya ditetapkan peraturan yang menjamin bahwa semua penyandang tunarungu memiliki akses ke pendidikan yang dilaksanakan dalam bahasa isyarat nasional mereka. Mengingat kebutuhan khusus penyandang tunarungu dan tunanetra-rungu dalam bidang komunikasi, pendidikan bagi mereka mungkin akan lebih tepat dilaksanakan di SLB atau di kelas khusus atau unit khusus di sekolah reguler.

22. Rehabilitasi berbasis masyarakat seyogyanya dikembangkan sebagai bagian dari satu strategi global untuk mendukung pendidikan dan pelatihan yang efektif biaya bagi penyandang kebutuhan pendidikan khusus. Rehabilitasi berbasis masyarakat seyogyanya dipandang sebagai satu pendekatan yang spesifik dalam pengembangan masyarakat yang ditujukan untuk rehabilitasi, kesamaan kesempatan dan integrasi sosial semua penyandang cacat; pendekatan ini seyogyanya diimplementasikan melalui upaya bersama para penyandang cacat itu sendiri, keluarganya dan masyarakat lingkungannya, serta dinas-dinas terkait dalam bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan kesejahteraan.

23. Penetapan kebijakan maupun anggaran keuangan seyogyanya mendorong dan memfasilitasi pengembangan sekolah-sekolah inklusif. Hambatan-hambatan yang menghalangi pergerakan dari sekolah khusus (SLB) ke sekolah reguler seyogyanya ditiadakan, dan struktur administrasi yang mencakup keduanya hendaknya diwujudkan. Kemajuan ke arah inklusi seyogyanya dipantau secara cermat melalui pengumpulan data statistik yang mampu mengungkapkan jumlah siswa penyandang cacat yang memperoleh keuntungan dari sumber-sumber, keahlian dan peralatan yang dimaksudkan untuk pendidikan kebutuhan khusus, maupun jumlah siswa penyandang kebutuhan pendidikan khusus yang bersekolah di sekolah reguler.


24. Koordinasi antara para pejabat pendidikan dan mereka yang bertanggung jawab dalam bidang kesehatan, penempatan kerja dan pelayanan sosial seyogyanya diperkuat pada semua tingkatan agar terfokus pada sasaran yang sama dan saling melengkapi. Perencanaan dan koordinasi juga seyogyanya mempertimbangkan potensi dan peran nyata yang dapat dimainkan oleh lembaga-lembaga semi-publik dan organisasi-organisasi non-pemerintah. Satu upaya khusus perlu dilakukan untuk mendapatkan dukungan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pendidikan khusus.

25. Para pejabat tingkat nasional bertanggung jawab memantau pendanaan pendidikan kebutuhan khusus yang berasal dari luar negeri dan, bekerjasama dengan mitra kerja internasionalnya, menjamin bahwa pendanaan tersebut sesuai dengan prioritas dan kebijakan nasional yang ditujukan untuk mewujudkan Pendidikan bagi Semua. Lembaga-lembaga bantuan bilateral dan multilateral seyogyanya mempertimbangkan secara cermat kebijakan-kebijakan nasional dalam bidang pendidikan kebutuhan khusus bila merencanakan dan mengimplementasikan program-program dalam bidang pendidikan dan bidang-bidang terkait.


B. FAKTOR-FAKTOR SEKOLAH


26. Mengembangkan sekolah inklusif yang dapat melayani sejumlah besar siswa di daerah perkotaan maupun pedesaan menuntut adanya:
- penetapan kebijakan yang jelas dan tegas mengenai inklusi disertai penyediaan dana yang memadai
upaya penerangan masyarakat yang efektif untuk memerangi purbasangka dan menciptakan pemahaman serta sikap positif
program orientasi dan pelatihan staf yang ekstensif dan
penyediaan berbagai layanan pendukung yang diperlukan. Perubahan dalam semua aspek persekolahan berikut ini, maupun dalam banyak aspek lainnya, diperlukan untuk mewujudkan keberhasilan sekolah inklusif: kurikulum, bangunan, organisasi sekolah, pedagogi, asesmen, personalia, etos sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler.

27. Sebagian besar dari tuntutan perubahan tersebut tidak secara khusus berhubungan dengan inklusi anak-anak penyandang kebutuhan pendidikan khusus. Perubahan-perubahan tersebut merupakan bagian dari reformasi pendidikan yang lebih luas yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas dan relevansinya serta untuk mempertinggi tingkat prestasi belajar semua siswa. Deklarasi Dunia tentang Pendidikan bagi Semua menegaskan perlunya pendekatan yang berpusat pada diri anak yang ditujukan untuk menjamin keberhasilan pendidikan bagi semua anak. Penetapan sistem yang lebih fleksibel dan lebih adaptif yang mampu memenuhi berbagai macam kebutuhan anak secara lebih penuh akan merupakan kontribusi terhadap keberhasilan pendidikan maupun inklusi. Pedoman berikut ini berfokus pada hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam mengintegrasikan anak-anak penyandang kebutuhan pendidikan khusus ke dalam sekolah inklusif.


Fleksibilitas Kurikulum

28. Kurikulum seyogyanya disesuaikan dengan kebutuhan anak, bukan sebaliknya. Oleh karena itu sekolah seyogyanya memberikan kesempatan kurikuler yang disesuaikan dengan anak yang memiliki bermacam-macam kemampuan dan minat.

29. Anak penyandang kebutuhan khusus seyogyanya memperoleh dukungan pembelajaran tambahan dalam konteks kurikulum reguler, bukan kurikulum yang berbeda. Prinsip yang dijadikan pedoman seyogyanya adalah memberi pendidikan yang sama kepada semua anak, dengan memberikan bantuan dan dukungan tambahan bagi anak yang memerlukannya.

30. Perolehan pengetahuan bukan sekedar masalah pembelajaran formal dan teoritis. Pendidikan seyogyanya berisi hal-hal yang menimbulkan kesanggupan untuk mencapai standar yang lebih tinggi dan memenuhi kebutuhan individu demi memungkinkannya berpartisipasi secara penuh dalam pembangunan. Pengajaran seyogyanya dihubungkan dengan pengalaman siswa sendiri dan dikaitkan dengan hal-hal yang praktis agar mereka lebih termotivasi.

31. Untuk mengikuti kemajuan masing-masing anak, prosedur asesmen harus ditinjau. Evaluasi formatif seyogyanya dimasukkan ke dalam proses pendidikan reguler agar siswa dan guru senantiasa terinformasi tentang penguasaan pelajaran yang sudah dicapai maupun untuk mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi dan membantu siswa mengatasinya.

32. Bagi anak penyandang kebutuhan pendidikan khusus, seyogyanya disediakan dukungan yang berkesinambungan, yang berkisar dari bantuan minimal di kelas reguler hingga program pelajaran tambahan di sekolah itu dan, bila perlu, diperluas dengan penyediaan bantuan dari guru spesialis dan staf pendukung eksternal.

33. Teknologi yang tepat dengan biaya terjangkau seyogyanya dipergunakan bila diperlukan untuk mempertinggi keberhasilan dalam kurikulum sekolah dan untuk membantu komunikasi, mobilitas dan belajar. Bantuan teknis dapat diberikan secara lebih ekonomis dan efektif jika disediakan dari sebuah pusat sumber yang didirikan di setiap wilayah, di mana terdapat tenaga ahli yang dapat mencocokkan jenis alat bantu dengan kebutuhan individu dan menjamin pemeliharaannya.


34. Kapabilitas seyogyanya dibangun dan penelitian dilakukan pada tingkat nasional dan regional untuk mengembangkan sistem teknologi pendukung yang tepat untuk pendidikan kebutuhan khusus. Negara-negara yang telah meratifikasi Persetujuan Florence (the Florence Agreement) seyogyanya didorong untuk menggunakan instrumen tersebut untuk membebaskan sirkulasi bahan-bahan dan peralatan yang berkaitan dengan kebutuhan para penyandang cacat. Di samping itu, Negara-negara yang belum meratifikasi persetujuan tersebut disarankan agar melakukannya agar dapat membebaskan sirkulasi jasa dan barang kependidikan dan kebudayaan.

Manajemen Sekolah

35. Administrator daerah dan para kepala sekolah dapat memainkan peran utama dalam menjadikan sekolah-sekolah agar lebih responsif terhadap anak penyandang kebutuhan pendidikan khusus jika mereka diberi wewenang yang diperlukan dan pelatihan yang memadai untuk berbuat demikian. Mereka seyogyanya diminta untuk mengembangkan prosedur manajemen yang lebih fleksibel, mengatur kembali penyaluran sumber-sumber pembelajaran, memperbanyak pilihan pelajaran, menggalakkan bantuan dari anak ke anak, menawarkan bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan dan mengembangkan hubungan yang erat dengan orang tua dan masyarakat. Keberhasilan manajemen sekolah tergantung pada keterlibatan yang aktif dan kreatif dari para guru serta staf sekolah, dan pengembangan kerjasama dan kerja tim yang efektif untuk memenuhi kebutuhan para siswa.

36. Kepala sekolah mempunyai satu tanggung jawab khusus dalam meningkatkan sikap yang positif di seluruh masyarakat sekolahnya dan dalam mengatur kerjasama yang efektif antara guru kelas dan staf pendukung.
Pengaturan yang tepat atas faktor-faktor pendukung dan peran pasti yang harus dimainkan oleh berbagai mitra kerja dalam proses pendidikan seyogyanya ditetapkan melalui konsultasi dan negosiasi.
37. Setiap sekolah seyogyanya merupakan sebuah masyarakat yang secara kolektif bertanggung jawab atas keberhasilan ataupun kegagalan setiap siswanya. Tim pendidikan, bukannya guru-guru secara individu, seyogyanya berbagi tanggung jawab atas pendidikan anak-anak penyandang kebutuhan khusus. Orang tua dan relawan seyogyanya diundang untuk mengambil peran aktif dalam pekerjaan sekolah. Namun demikian, guru memegang peran kunci sebagai manajer proses pendidikan, membantu anak melalui pemanfaatan sumber-sumber yang tersedia baik di dalam maupun di luar kelas.

Informasi dan Penelitian

38. Penyebarluasan contoh praktek yang baik dapat membantu meningkatkan kualitas kegiatan belajar/mengajar. Informasi mengenai temuan-temuan penelitian juga akan berharga. Pengumpulan pengalaman dan pengembangan pusat dokumentasi seyogyanya didukung pada tingkat nasional, dan akses ke sumber-sumber informasi tersebut seyogyanya diperluas.


39. Pendidikan kebutuhan khusus seyogyanya diintegrasikan ke dalam program penelitian dan pengembangan dari institusi-institusi riset dan pusat pengembangan kurikulum. Perhatian khusus seyogyanya diberikan dalam bidang ini pada kaji tindak (action-research) yang berfokus pada strategi belajar-mengajar yang inovatif. Guru-guru kelas seyogyanya berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan maupun analisis hasil penelitian tersebut. Eksperimen perintis dan studi yang mendalam juga seyogyanya diluncurkan untuk membantu dalam pembuatan keputusan dan dalam menetapkan pedoman bagi aksi pada masa mendatang. Eksperimen dan studi tersebut dapat dilaksanakan dalam bentuk kerjasama oleh beberapa negara.


C. PENERIMAAN DAN PELATIHAN PERSONALIA KEPENDIDIKAN


40. Penyiapan semua personalia kependidikan secara tepat merupakan faktor kunci dalam mempercepat kemajuan ke arah terselenggaranya sekolah-sekolah inklusif.
Lebih jauh, penerimaan guru-guru yang menyandang kecacatan yang dapat berfungsi sebagai model peran (role models) bagi anak-anak penyandang cacat semakin diakui pentingnya. Sejumlah aksi berikut ini dapat dilakukan.

41. Program pelatihan pra-dinas bagi semua mahasiswa keguruan, baik calon guru sekolah dasar maupun sekolah menengah, seyogyanya memberikan orientasi yang positif terhadap kecacatan, dan dengan demikian akan mengembangkan pemahaman tentang apa yang dapat mereka capai di sekolah dengan memanfaatkan layanan pendukung yang tersedia di daerah masing-masing. Pengetahuan dan keterampilan yang dituntut terutama adalah yang berkaitan dengan cara mengajar yang baik termasuk cara melakukan asesmen kebutuhan khusus, mengadaptasikan isi kurikulum, memanfaatkan teknologi asistif, mengindividualisasikan prosedur pengajaran yang disesuaikan dengan kemampuan-kemampuan yang terdapat pada diri anak, dsb. Di lembaga pendidikan guru, perhatian khusus seyogyanya difokuskan pada penyiapan semua guru untuk mempraktekkan otonominya dan menerapkan keterampilannya dalam mengadaptasikan kurikulum dan pengajaran untuk memenuhi kebutuhan siswa serta melakukan kerjasama dengan para spesialis dan bekerjasama dengan para orang tua.

42. Keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk merespon kebutuhan pendidikan khusus seyogyanya menjadi bahan pertimbangan pada saat melakukan asesmen mata-mata kuliah dan pemberian akta keguruan.

43. Berdasarkan prioritas, bahan-bahan tertulis seyogyanya dipersiapkan dan seminar-seminar diselenggarakan bagi para administrator daerah, pengawas, kepala sekolah dan guru senior untuk mengembangkan kapasitasnya sebagai pimpinan dalam bidang ini dan untuk mendukung dan memberi pelatihan kepada staf pengajar yang belum begitu berpengalaman.


44. Tantangan utama dalam memberikan pelatihan dalam dinas bagi semua guru adalah mempertimbangkan semua kondisi yang bervariasi, yang sering kali sulit, tempat mereka berdinas. Pelatihan dalam dinas, bila memungkinkan, seyogyanya dikembangkan di tingkat sekolah dengan cara berinteraksi dengan para pelatih dan didukung oleh pendidikan jarak jauh serta teknik-teknik pembelajaran mandiri lainnya.

45. Pendidikan spesialisasi dalam bidang pendidikan kebutuhan khusus yang mengarah pada dimilikinya kualifikasi tambahan seyogyanya diintegrasikan atau didahului dengan pendidikan dan pengalaman sebagai guru reguler demi menjamin dikuasainya berbagai pengetahuan yang saling melengkapi dan mempertinggi mobilitas.

46. Pendidikan guru-guru khusus perlu ditinjau ulang dengan tujuan agar mereka mampu bekerja dalam berbagai bentuk penyelenggaraan pendidikan dan agar dapat memainkan peran kunci dalam program-program pendidikan kebutuhan khusus. Suatu pendekatan non-kategorikal yang mencakup semua jenis kecacatan seyogyanya dikembangkan sebagai inti umum program, sebelum mahasiswa mengambil spesialisasi dalam satu atau lebih jenis kecacatan tertentu.

47. Universitas mempunyai peran advisoris utama dalam proses pengembangan pendidikan kebutuhan khusus, terutama dalam bidang penelitian, evaluasi, penyiapan guru pelatih, serta merancang program dan bahan pelatihan. Jaringan kerja antara universitas dan lembaga pendidikan tinggi di negara-negara maju dan negara-negara berkembang seyogyanya ditingkatkan. Menjalin jaringan penelitian dan pelatihan seperti ini sangat besar artinya. Juga penting memberi peran kepada penyandang cacat agar terlibat aktif dalam penelitian dan pelatihan tersebut untuk menjamin agar pandangan-pandangannya dapat menjadi bahan pertimbangan.

48. Satu masalah yang sering terjadi pada sistem pendidikan, termasuk sistem yang memberikan pelayanan pendidikan yang sangat baik kepada siswa-siswa penyandang cacat, adalah tidak adanya model peran bagi para siswa tersebut. Siswa penyandang kebutuhan khusus membutuhkan kesempatan untuk berinteraksi dengan orang dewasa penyandang cacat yang telah mencapai keberhasilan agar mereka dapat memolakan gaya hidup dan aspirasinya pada harapan-harapan yang realistis. Di samping itu, siswa penyandang cacat seyogyanya diberi pelatihan dan contoh tentang pemberdayaan penyandang cacat dan kepemimpinan agar mereka dapat membantu dalam perumusan kebijakan yang akan mempengaruhi kehidupannya kelak. Oleh karena itu sistem pendidikan seyogyanya juga menerima guru dan tenaga kependidikan lainnya dari kalangan penyandang cacat yang berkualifikasi, dan seyogyanya juga melibatkan individu penyandang cacat yang berhasil dari daerah setempat dalam pendidikan anak-anak penyandang kebutuhan khusus.



D. LAYANAN PENDUKUNG EKSTERNAL


49. Tersedianya layanan pendukung merupakan faktor yang sangat penting bagi keberhasilan kebijakan pendidikan inklusif. Untuk menjamin agar layanan pendukung eksternal tersedia bagi anak penyandang kebutuhan khusus pada semua tingkatan, para pejabat di bidang pendidikan seyogyanya mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut.

50. Layanan pendukung bagi sekolah biasa dapat disediakan oleh lembaga pendidikan guru dan oleh staf SLB yang sudah ditingkatkan wewenangnya. SLB seyogyanya semakin banyak dipergunakan sebagai pusat sumber bagi sekolah biasa yang memberikan pelayanan langsung kepada anak-anak penyandang kebutuhan pendidikan khusus. Baik lembaga pendidikan guru maupun SLB dapat memberikan akses ke peralatan atau materi khusus serta pelatihan dalam strategi-strategi pembelajaran yang tidak tersedia di kelas reguler.

51. Layanan pendukung oleh narasumber dari berbagai lembaga, departemen dan institusi, seperti guru BP, psikolog pendidikan, ahli terapi bicara dan ahli terapi okupasional, dll., seyogyanya dikoordinasikan di tingkat daerah. Pengelompokan sekolah telah terbukti merupakan strategi yang bermanfaat dalam memobilisasi sumber-sumber kependidikan maupun keterlibatan masyarakat. Kelompok-kelompok sekolah tersebut dapat diserahi tanggung jawab kolektif untuk memenuhi kebutuhan pendidikan khusus siswa-siswa di daerahnya dan diberi keleluasaan untuk mengalokasikan sumber-sumber yang diperlukan. Pengaturan semacam ini seyogyanya melibatkan pelayanan non-kependidikan juga. Memang, pengalaman menunjukkan bahwa pelayanan pendidikan akan sangat meningkat hasilnya apabila upaya yang lebih besar dilakukan untuk menjamin penggunaan semua keahlian dan sumber-sumber yang tersedia secara optimal.


E. BIDANG-BIDANG PRIORITAS


52. Integrasi anak dan remaja penyandang kebutuhan pendidikan khusus akan lebih efektif dan berhasil jika, dalam rencana pengembangan pendidikan, pertimbangan khusus diberikan pada bidang-bidang target berikut: pendidikan kanak-kanak usia dini untuk mempertinggi tingkat edukabilitas semua anak, pendidikan anak perempuan, dan transisi dari dunia pendidikan ke kehidupan kerja orang dewasa.

Pendidikan Kanak-kanak Usia Dini


53. Keberhasilan sekolah inklusif sangat tergantung pada identifikasi dini, asesmen dan stimulasi anak penyandang kebutuhan khusus pada usia sangat muda. Program pengasuhan dan pendidikan kanak-kanak usia dini bagi anak-anak hingga usia enam tahun harus dikembangkan dan/atau direorientasi untuk mempercepat perkembangan fisik, intelektual dan sosial dan kesiapan bersekolah. Program-program tersebut memiliki nilai ekonomi tinggi bagi individu yang bersangkutan, keluarganya serta masyarakatnya karena akan mencegah semakin parahnya kondisi kecacatannya itu. Program-program pada tingkatan ini seyogyanya mengakui prinsip inklusi dan dikembangkan secara komprehensif dengan mengkombinasikan kegiatan-kegiatan prasekolah dan perawatan kesehatan kanak-kanak usia dini.

54. Banyak negara telah mengambil kebijakan-kebijakan yang menggalakkan pendidikan kanak-kanak usia dini, baik dengan mendukung pengembangan taman kanak-kanak atau taman asuh (tempat penitipan anak) atau dengan menyelenggarakan kegiatan penerangan dan kesadaran keluarga yang dikaitkan dengan pelayanan masyarakat (kesehatan, perawatan ibu dan bayi), sekolah, dan paguyuban keluarga atau organisasi perempuan setempat.

Pendidikan Anak Perempuan

55. Anak perempuan penyandang cacat menghadapi kesulitan ganda. Suatu upaya khusus diperlukan untuk memberikan pelatihan dan pendidikan bagi anak perempuan penyandang kebutuhan pendidikan khusus. Di samping harus memperoleh akses ke sekolah, anak perempuan penyandang cacat seyogyanya juga memperoleh akses ke informasi dan bimbingan serta mempunyai model yang dapat membantu mereka menentukan pilihan-pilihan yang realistis dan persiapan untuk peran masa depannya sebagai wanita dewasa.

Persiapan untuk Kehidupan Dewasa

56. Remaja penyandang kebutuhan pendidikan khusus seyogyanya dibantu untuk melewati masa transisi secara efektif dari dunia sekolah ke kehidupan kerja orang dewasa.
Sekolah seyogyanya membantu mereka untuk menjadi pelaku ekonomi yang aktif dan memberinya keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, menawarkan latihan keterampilan yang dapat merespon berbagai tuntutan sosial dan komunikasi serta harapan-harapan kehidupan orang dewasa. Untuk hal tersebut diperlukan teknologi pelatihan yang tepat, termasuk pengalaman langsung dalam situasi kehidupan nyata di luar sekolah. Kurikulum bagi siswa penyandang kebutuhan pendidikan khusus di kelas-kelas tinggi seyogyanya mencakup program-program transisional tertentu, yang mendukung masuknya mereka ke perguruan tinggi jika memungkinkan, dan latihan kerja yang mempersiapkan mereka untuk berfungsi sebagai anggota masyarakat yang mandiri dan kontributif setelah mereka tamat sekolah. Kegiatan-kegiatan tersebut seyogyanya dilaksanakan dengan keterlibatan aktif konselor bimbingan vokasional, instansi penyaluran tenaga kerja, organisasi pekerja, pejabat pemerintah setempat, dan berbagai dinas pelayanan serta lembaga-lembaga terkait.


Pendidikan Dewasa dan Pendidikan Luar Sekolah

57. Para penyandang cacat seyogyanya mendapat perhatian khusus dalam perancangan dan implementasi program-program pendidikan dewasa dan pendidikan luar sekolah. Para penyandang cacat seyogyanya diberi prioritas untuk memperoleh akses ke program-program tersebut. Kursus-kursus khusus seyogyanya juga dirancang agar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi bermacam-macam kelompok orang dewasa penyandang cacat.


F. PERSPEKTIF MASYARAKAT


58. Menyadari bahwa keberhasilan pendidikan anak penyandang kebutuhan pendidikan khusus bukan tugas Kementerian Pendidikan dan sekolah semata. Hal tersebut menuntut kerjasama dari keluarga, dan mobilisasi organisasi-organisasi masyarakat dan relawan serta dukungan masyarakat pada umumnya.
Pengalaman dari negara-negara atau daerah-daerah yang telah menyaksikan kemajuan dalam menyamakan kesempatan pendidikan bagi anak dan remaja penyandang kebutuhan pendidikan khusus memberi beberapa pelajaran yang berharga.

Kemitraan Orang Tua

59. Mendidik anak penyandang kebutuhan pendidikan khusus merupakan tugas bersama dari orang tua dan para profesional. Sikap positif dari pihak orang tua sangat kontributif terhadap keberhasilan integrasi pendidikan dan sosial. Para orang tua membutuhkan dukungan untuk dapat menjalankan perannya sebagai orang tua dari anak penyandang kebutuhan khusus. Peran keluarga dan orang tua dapat diperbesar dengan pemberian informasi yang diperlukan dalam bahasa yang sederhana dan jelas.
Memberikan informasi dan pelatihan dalam keterampilan mengasuh anak merupakan tugas yang sangat penting dalam lingkungan budaya di mana terdapat sedikit sekali tradisi menykolahkan anak. Baik orang tua maupun guru mungkin membutuhkan dukungan dan dorongan untuk belajar bekerjasama sebagai mitra yang sejajar.

60. Orang tua merupakan mitra istimewa sehubungan dengan kebutuhan pendidikan khusus bagi anaknya, dan sejauh memungkinkan seyogyanya memperoleh persetujuan tentang pilihan mengenai jenis penyelenggaraan pendidikan yang diinginkannya bagi anaknya.


61. Kemitraan yang kooperatif dan suportif antara administrator sekolah, guru dan orang tua seyogyanya dikembangkan, dan orang tua seyogyanya dipandang sebagai mitra aktif dalam pembuatan keputusan. Orang tua seyogyanya didorong untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di rumah maupun di sekolah (di mana mereka dapat mengamati teknik-teknik yang efektif dan belajar cara mengorganisasikan kegiatan ekstrakurikuler), serta dalam mengawasi dan membantu kegiatan belajar anaknya.

62. Pemerintah seyogyanya berada di depan dalam upaya meningkatkan kemitraan orang tua, baik melalui penetapan kebijakan maupun peraturan perundang-undangan mengenai hak-hak orang tua. Pengembangan persatuan orang tua seyogyanya ditingkatkan dan perwakilannya dilibatkan dalam perancangan dan implementasi program-program yang dimaksudkan untuk meningkatkan pendidikan bagi anaknya.
Organisasi-organisasi para penyandang cacat pun seyogyanya dikonsultasi mengenai perancangan dan implementasi program-program tersebut.

Keterlibatan Masyarakat

63. Desentralisasi dan perencanaan yang berbasis daerah setempat akan lebih meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pendidikan dan pelatihan para penyandang kebutuhan pendidikan khusus. Para pejabat setempat seyogyanya mendorong partisipasi masyarakat dengan memberi dukungan kepada perwakilan dari organisasi-organisasi masyarakat setempat dan mengundang mereka untuk ambil bagian dalam pembuatan keputusan. Untuk maksud tersebut, seyogyanya ditetapkan mekanisme mobilisasi dan pemantauan yang terdiri dari pemerintah daerah setempat, otoritas pendidikan, kesehatan dan pembangunan, pemuka masyarakat dan organisasi sosial, di wilayah geografis yang tidak terlalu besar untuk menjamin adanya partisipasi masyarakat yang berarti.

64. Keterlibatan masyarakat seyogyanya diaktifkan untuk melengkapi kegiatan-kegiatan intra-sekolah, memberikan bantuan dalam mengerjakan pekerjaan rumah dan untuk mengatasi kurangnya dukungan dari keluarga. Dalam hubungan ini perlu juga disebutkan peran kerukunan masyarakat sekitar untuk menyediakan tempat, peran paguyuban keluarga, klub dan gerakan pemuda, serta potensi peran orang-orang usia lanjut dan relawan lainnya, termasuk para penyandang cacat, baik dalam program-program intra-sekolah maupun luar sekolah.

65. Bilamana aksi untuk rehabilitasi berbasis masyarakat dimulai dari pihak luar, masyarakat sendirilah yang harus memutuskan apakah program tersebut akan menjadi bagian dari kegiatan pembangunan masyarakat yang sedang berlangsung. Berbagai mitra dalam masyarakat, termasuk organisasi penyandang cacat dan organisasi-organisasi non-pemerintah lainnya, seyogyanya diberdayakan untuk turut memikul tanggung jawab atas program tersebut. Bilamana dipandang tepat, instansi pemerintah di tingkat nasional maupun daerah seyogyanya juga memberi dukungan finansial dan bentukj-bentuk dukungan lainnya.

Peran Organisasi Sosial


66. Karena kelompok-kelompok relawan dan organisasi-organisasi non-pemerintah tingkat nasional memiliki lebih banyak keleluasaan untuk bertindak dan dapat memberikan respon secara lebih cepat terhadap berbagai kebutuhan yang muncul, mereka seyogyanya didukung dalam mengembangkan gagasan-gagasan baru dan memelopori metode-metode pemberian layanan yang inovatif. Mereka dapat memainkan peran sebagai inovator dan katalisator serta penyampai program-program yang tersedia kepada masyarakat.

67. Organisasi-organisasi para penyandang cacat - yaitu organisasi di mana para penyandang cacat itu sendiri mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan seyogyanya diajak untuk mengambil peran aktif dalam mengidentifikasi kebutuhan, mengungkapkan pandangan mengenai skala prioritas, menyampaikan pelayanan, mengevaluasi pelaksanaan serta mengadvokasi perubahan.

Kesadaran Masyarakat

68. Para pembuat kebijakan di semua tingkatan, termasuk tingkat sekolah, seyogyanya secara berkala menegaskan kembali komitmennya terhadap inklusi dan meningkatkan sikap positif di kalangan anak-anak, di kalangan para guru dan di kalangan masyarakat secara luas terhadap mereka yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus.

69. Media massa dapat memainkan peran yang sangat kuat dalam meningkatkan sikap positif terhadap integrasi para penyandang cacat di dalam masyarakat, mengatasi purbasangka dan misinformasi, serta menanamkan optimisme yang lebih besar dan imaginasi mengenai kemampuan para penyandang cacat. Media juga dapat meningkatkan sikap positif dari para penyedia kerja untuk mempekerjakan para penyandang cacat. Media seyogyanya dimanfaatkan untuk memberi penerangan kepada masyarakat tentang pendekatan-pendekatan baru dalam pendidikan, khususnya mengenai penyelenggaraan pendidikan kebutuhan khusus di sekolah reguler, dengan mempopulerkan contoh-contoh praktek yang baik dan pengalaman-pengalaman yang berhasil.


G. SUMBER-SUMBER YANG DIBUTUHKAN



70. Pengembangan sekolah inklusif sebagai cara yang paling efektif untuk mencapai Pendidikan bagi Semua harus diakui sebagai sebuah kebijakan kunci pemerintah dan diberi tempat istimewa dalam agenda pembangunan nasional. Hanya dengan cara inilah sumber-sumber yang memadai dapat diperoleh. Perubahan dalam kebijakan dan skala prioritas tidak dapat efektif jika tidak dibarengi dengan penyediaan sumber-sumber yang dibutuhkan secara memadai. Komitmen politik, pada tingkat pemerintah maupun masyarakat, diperlukan, baik untuk mendapatkan sumber-sumber tambahan maupun untuk merealokasi sumber-sumber yang ada. Sementara masyarakat harus memainkan peran kunci dalam mengembangkan sekolah inklusif, dorongan dan dukungan pemerintah juga sangat penting dalam menciptakan cara pemecahan yang efektif dan terjangkau.

71. Pendistribusian sumber-sumber ke sekolah-sekolah seyogyanya didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang realistis mengenai perbedaan-perbedaan dalam pengeluaran yang dibutuhkan untuk memberikan pendidikan yang tepat bagi semua anak, dengan mengingat kebutuhan dan keadaan mereka. Mungkin realistis bila dimulai dengan mendukung sekolah-sekolah tertentu yang berkeinginan meningkatkan pendidikan inklusif dan meluncurkan proyek perintis di beberapa daerah untuk mendapatkan keahlian yang diperlukan untuk perluasan dan penerapan kebijakan secara umum. Dalam penerapan pendidikan inklusif secara umum, tingkat dukungan dan keahlian untuk masing-masing sekolah harus disesuaikan dengan kebutuhannya.

72. Sumber-sumber juga harus dialokasikan untuk mendukung layanan pelatihan bagi guru-guru reguler, untuk pendirian pusat-pusat sumber dan untuk guru pendidikan khusus atau guru sumber. Bantuan teknis yang tepat juga harus diberikan untuk menjamin keberhasilan operasianal sistem pendidikan terpadu. Oleh karena itu, pendekatan terpadu seyogyanya dikaitkan dengan pengembangan berbagai pelayanan pendukung pada tingkat pusat dan menengah.

73. Memadukan sumber-sumber daya manusia, kelembagaan, logistik, materi dan keuangan dari berbagai departemen kementerian (Pendidikan, Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, Tenaga Kerja, Kepemudaan, dll.), para pejabat teritorial dan daerah, serta lembaga-lembaga lainnya merupakan cara yang efektif untuk memaksimalkan dampaknya. Menggabungkan pendekatan pendidikan dan sosial terhadap pendidikan kebutuhan khusus menuntut adanya struktur manajemen yang efektif agar berbagai pelayanan dapat bekerjasama pada tingkat nasional maupun daerah, dan memungkinkan para tokoh masyarakat dan badan-badan keorganisasian memadukan kekuatan.





III
PEDOMAN AKSI
DI TINGKAT REGIONAL DAN INTERNASIONAL


74. Kerjasama internasional antara berbagai organisasi pemerintah dan non-pemerintah, regional dan interregional, dapat memainkan suatu peran yang sangat penting dalam mendukung gerakan menuju pendidikan inklusif. Berdasarkan pengalaman di masa lampau dalam bidang ini, organisasi-organisasi internasional, lembaga donor antarpemerintah dan non-pemerintah serta bilateral, dapat mempertimbangkan untuk memadukan kekuatan dalam mengimplementasikan pendekatan-pendekatan strategis berikut ini.

75. Bantuan teknis seyogyanya diarahkan ke bidang-bidang intervensi strategis yang berdampak majemuk, terutama di negara-negara berkembang. Satu tugas bagi kerjasama internasional adalah mendukung peluncuran proyek perintis yang dimaksudkan untuk mengujicobakan pendekatan-pendekatan baru dan meningkatkan kapasitas.

76. Penyelenggaraan kemitraan regional atau kemitraan di kalangan negara-negara yang menganut pendekatan yang serupa dalam pendidikan kebutuhan khusus dapat menghasilkan perencanaan untuk melakukan kegiatan bersama di bawah naungan mekanisme regional yang sudah ada atau mekanisme kerjasama lainnya. Kegiatan semacam ini seyogyanya dirancang sedemikian rupa sehingga dapat memanfaatkan kemajuan ekonomi dan pengalaman negara-negara peserta, dan dapat mempercepat perkembangan kapabilitas nasional.
77. Satu misi prioritas yang wajib diemban oleh organisasi-organisasi internasional adalah mempermudah pertukaran data, informasi dan hasil program-program perintis dalam bidang pendidikan kebutuhan khusus antara negara-negara dan wilayah-wilayah.
Koleksi yang berisikan indikator-indikator mengenai kemajuan dalam pelaksanaan inklusi dalam pendidikan dan penempatan tenaga kerja dari berbagai negara seyogyanya menjadi bagian dari database dunia mengenai pendidikan. Sejumlah titik fokus dapat didirikan di pusat-pusat subregional untuk mempermudah pertukaran informasi tersebut. Struktur-struktur yang sudah ada di tingkat regional dan internasional seyogyanya diperkuat dan kegiatannya diperluas ke bidang-bidang lain seperti pembuatan kebijakan, perumusan program, pelatihan personalia, dan evaluasi.


78. Tingginya persentase kecacatan merupakan akibat langsung dari kurangnya informasi, kemiskinan dan rendahnya standar kesehatan. Karena prevalensi kecacatan di seluruh dunia meningkat terus, terutama di negara-negara berkembang, maka seyogyanya dilakukan aksi internasional bersama yang dikaitkan secara erat dengan upaya-upaya nasional untuk mencegah faktor-faktor penyebab kecacatan melalui pendidikan, yang pada gilirannya akan mengurangi insiden dan prevalensi kecacatan, dan dengan demikian semakin mengurangi tuntutan kebutuhan sumber-sumber keuangan dan daya manusia yang terbatas dari sebuah negara.

79. Bantuan teknis dan bantuan internasional untuk pendidikan kebutuhan khusus berasal dari berbagai sumber. Oleh karena itu, penting menjamin adanya pertalian dan saling melengkapi di kalangan badan-badan PBB serta badan-badan internasional lainnya yang memberikan bantuan dalam bidang ini.

80. Badan-badan kerjasama internasional seyogyanya mendukung diselenggarakannya seminar-seminar pelatihan bagi para pengelola dan ahli pendidikan di tingkat regional, dan menjalin kerjasama antara universitas dan institusi pendidikan di berbagai negara untuk menyelenggarakan studi banding serta untuk mempublikasikan dokumen-dokumen referensi dan bahan-bahan pengajaran.

81. Badan-badan kerjasama internasional seyogyanya membantu dalam pengembangan asosiasi-asosiasi profesi tingkat regional dan internasional yang memberi perhatian khusus pada peningkatan pendidikan kebutuhan khusus, dan seyogyanya mendukung penerbitan dan pengedaran majalah atau jurnal serta penyelenggaraan pertemuan-pertemuan dan konferensi tingkat regional.

82. Pertemuan-pertemuan tingkat regional dan internasional yang membahas masalah-masalah yang terkait dengan pendidikan seyogyanya juga membahas kebutuhan pendidikan khusus sebagai bagian integral dari perdebatannya, bukan sebagai masalah terpisah. Sebagai contoh konkret, masalah pendidikan kebutuhan khusus seyogyanya dimasukkan ke dalam agenda konferensi menteri-menteri tingkat regional yang diselenggarakan oleh UNESCO dan badan-badan antarpemerintah lainnya.

83. Lembaga-lembaga pendanaan dan kerjasama teknis internasional yang terlibat dalam prakarsa pemberian dukungan dan pengembangan Pendidikan bagi Semua seyogyanya menjamin bahwa pendidikan kebutuhan khusus merupakan bagian integral dari semua proyek pembangunannya.

84. Seyogyanya terdapat koordinasi internasional untuk mendukung terpenuhinya spesifikasi aksesibilitas yang universal dalam teknologi komunikasi sebagai fondasi bagi infrastruktur informasi.


85. Kerangka Aksi ini ditetapkan secara aklamasi setelah melalui diskusi dan amandemen pada sesi penutupan Konferensi pada tanggal 10 Juni 1994. Kerangka Aksi ini dimaksudkan untuk memberi pedoman kepada Negara-negara anggota serta organisasi-organisasi pemerintah dan non-pemerintah dalam mengimplementasikan Pernyataan Salamanca tentang Prinsip, Kebijakan dan Praktek dalam Pendidikan Kebutuhan Khusus.

Labels: