Senin, 21 September 2009

PELAYANAN TERPADU DAN BERKELANJUTAN TERHADAP PENYANDANG CACAT (ANAK)

Machdar Somadisastra *)

Keinginan dan Pemikiran

Anak adalah amanah dari Tuhan Yang Maha Pencipta, baik bagi orang tua, dewasa lainnya, masyarakat, bangsa maupun negara. Anak ada yang ditakdirkan dalam keadaan tidak cacat dan ada pula yang ditakdirkan dalam keadaan cacat, baik cacat fisik, mental maupun cacat fisik dan mental atau cacat ganda.

Sebagian orang tua, masyarakat dan negara telah mengerti akan amanah ini khususnya terhadap penyandang cacat anak. Sejak berdirinya Republik ini sudah ditegaskan tujuannya baik dalam pembukaan maupun dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan kesejahteraan umum, sudah barang tentu tentu termasuk untuk anak-anak. Kemudian secara khusus dikeluarkan pula berbagai perundangan dan sebagian dengan peraturan pemerintahnya, seperti Undang-Undang Kependudukan, Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Peradilan Anak, Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat berikut Peraturan Pemerintah No 43 tahun 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.

Undang-Undang No 4 tahun 1997 selain mengutarakan berbagai kewajiban, juga mengatur tentang berbagai hak penyandnag cacat termasuk cacat (anak). Beberapa pasal yang perlu diutarakan di sini diantaranya pasal 6 berbunyi:
Setiap penyandang cacat berhak memperoleh:
1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan;
2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya;
3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya;
4. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya;
5. Rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial dan;
6. Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Khusus pasal 6 ayat 6 dijelaskan dalam Undang-Undang ini bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar penyandang cacat anak memperoleh:
a. Hak untuk hidup menjalani separuhnya kehidupan kanak-kanak dalam suatu keadaan yang memungkinkan dirinya meningkatkan martabat dan kepercayaan diri, serta mampu berperan aktif dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat
b. Hak untuk mendapat perlakuan dan pelayanan secara wajar baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.
c. Hak untuk sedini mungkin mendapatkan akses pendidikan, latihan ketrampilan, perawatan kesehatan, rehabilitasi dan rekreasi sehingga mampu mandiri dan menyat dalam masyarakat.

Kesemua itu merupakan keharusan atau keinginan. Realisasi dari keinginan itu masih jauh dari harapan. Masih ada celah antara keinginan dan kenyataan.

Kenyataan sekarang dan masalahnya

Sejak pemerintah kolonial hingga Pemerintah Republik sekarang sudah ada usaha pelayanan terhadap penyandang cacat anak baik pelayanan kesehatan, pelayanan sosial maupun pelayanan pendidikan. Oleh karena berbagai keterbatasan pelayanan itu, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun pelayanan yang dilaksanakan oleh masyarakat termasuk keluarga, masih jauh dari harapan. Masih banyak ditemukan masalah-masalah yang merupakan indikator masih lemahnya pelayanan terhadap penyandang cacat anak.

Hingga kini masih cukup banyak keluarga yang menyembunyikan anaknya yang cacat dalam rumahnya, tidak disosialisasikan dengan anak-anak lainnya dalam komunitasnya. Tidak dikeluarkannya anak cacat dari rumah karena dianggap aib keluarga, malu dengan keluarga lain. Dikurungnya anak di dalam rumah merupakan masalah pertama dan utama dari penyandang cacat anak. Masalah ini merupakan hambatan utama proses sosialisasi anak.
Mungkin karena ketidaktahuan, keterbatasan dan atau fasilitas atau mungkin juga karena kelalaian, masih cukup banyak keluarga yang tidak membawa anak balitanya ke posyandu / puskesmas untuk mendapat pelayanan Deteksi Dini Kelainan Tumbuh Kembang Anak. Akibat dari itu banyak orang tua tidak dapat cepat mengenali cacat tidaknya anak. Berdasarkan Deteksi Dini Kelainan Tumbuh Kemabng Anak dapat diketahui apakah anak itu cacat atau tidak.

Pelayanan pendidikan terhadap anak tidak cacat meliputi Taman Kanan-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP), Sekolah Menengah Umum (SMU) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan selanjutnya ada yang masuk perguruan tinggi. Sedang anak cacat dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok, yaitu mampu didik, mampu latih dan mampu rawat. Anak mampu rawat tidak dapat dididik dan dilatih, mereka dimasukan ke Panti Rawat Anak. Yayasan Bhakti Luhur di Kota Malang merupakan perintis yang telah menyelenggarakan Panti Rawat Anak yang memadai. Sebagian besar kota dan kabupaten di Jawa Timur belum memiliki Panti Rawat Anak, padahal anak mampu rawat mungkin cukup besar di wilayah-wilayah itu. Anak mampu didik dan anak mampu latih masuk sekolah khusus yang disebut Sekolah Luar Biasa (SLB). Ada SLB untuk tuna netra, tuna rungu wicara dan SLB untuk tuna grahita. Jenjangnya mulai TKLB, SDLB, SLTPLB dan SMLB. Untuk perguruan tinggi tidak ada khusus. Apakah lulusan SMLB yang mampu masuk ke perguruan tinggi dapat dilayani oleh perguruan tinggi yang ada? Semoga.

Ada beberapa masalah berkaitan dengan penyelenggaraan SLB sekarang ini. Masalah pertama terpencarnya tempat tinggal anak cacat menyebabkan jauh dan mahalnya ongkos transportasi anak dari rumah ke sekolahnya. Hambatan ini dialami oleh banyak anak cacat hingga dapat menyebabkan anak cacat tidak sekolah sama sekali atau putus sekolah. Masalah kedua, lulusan SLB khususnya SLTP dan SMLB sebagian besar kualitas ketrampilannya rendah, tidak memadai hidup mandiri maupun untuk bekerja. Latihan ketrampilan yang lebih memadai mungkin yang diselenggarakan oleh Panti Rehabilitasi Sosial (PRS) untuk bina daksa di Bangil, untuk tuna netra di Panti Budi Mulia Malang dan lain-lain. Hubungan fungsional antara PRS-PRS dengan SLB-SLB mungkin belum efektif. Masalah ketiga, sebagian besar lulusan SLTPLB dan SMLB belum pernah memperoleh kesempatan mengikuti program latihan kerja. Masalah keempat, oleh karena berbagai alasan seperti rendahnya kualitas lulusan, sempitnya lapangan kerja yang tersedia terutama di sektor formal dan belum terbukanya sikap industri untuk menerima penyandang cacat sebagai tenaga kerja, menyebabkan sangat kecilnya jumlah tenaga kerja penyandang cacat yang dapat dislaurkan. Sedang masalah kelima adalah terpisahnya lembaga pendidikan ana cacat dengan anak tidak cacat merupakan praktik yang menyebabkan diferensiasi sosial yang tidak manusiawi.

Pelayanan terpadu dan berkelanjutan

Merujuk kepada permasalahan dan keinginan yang merupakan dasar yuridis dan dasar pemikiran di muka maka pelayanan Sekolah Luar Biasa selayaknya tidak berdiri sendiri, akan tetapi merupakan bagian integral dari pelayanan terhadap anak sebagai suatu sistem, mulai dari anak dalam keluarga, dalam kelompok sebaya (Play Group, Pendidikan Dini Usia, Taman Kanak-Kanak) anak dalam sekolah (SD, SLTP, SMU) sampai anak dalam latihan kerja akan masuk latihan kerja.

Kegiatan pelayanan terpadu dan berkelanjutan meliputi:

Kegiatan pertama yang perlu dilaksanakan adalah intensifikasi penyuluhan masyarakat yang ditujukan kepada keluarga-keluarga yang masih menyembunyikan anaknya yang cacat sehingga membolehkan anaknya bergaul dengan anak lainnya. Di samping itu khususnya kepada keluarga balita untuk melaksankan deteksi dini kelainan tumbuh kembang anak balita. Sudah barang tentu posyandu dan puskesmas harus sudah sedia untuk melayaninya.

Kegiatan kedua, semua keluarga melaksanakan deteksi dini kelainan tumbuh kembang anak balita didampingi dan di bawah pengawsan Kader Kesehatan, Poliklinik, Rumah Sakit. Instrumen deteksi dini terdiri dari kartu resiko keluarga, pengukuran lingkar kepala anak, kuesioner pra scoring perkembangan, kuesioner perilaku anak usia pra sekolah dan test penglihatan anak usia pra sekolah. Hasil dari kegiatan kedua ini dapat dikenali anak tidak cacat dan anak cacat.

Kegiatan ketiga, pemeriksaan kemampuan anak cacat yang dilaksanakn oleh dokter, psikolog, sarjana pendidikan Luar Biasa kerjasama Dinas kesehatan dan Dinas Pendidikan serta sekolah-sekolah luar biasa yang ada. Hasil pemeriksaan ini dapat mengetahui anak cacat mampu didik, mampu latih dan mampu rawat.
Kegiatan keempat pembukaan dan pelayanan Panti Rawat Anak Cacat pada Rumah Sakit di setiap kabupaten / kota.

Kegiatan kelima, setahap demi setahap melaksanakan rintisan pendidikan integrasi atau pendidikan inklusi, dimana anak cacat dilayani pendidikannya oleh sekolah biasa. Di sekolah biasa tersebut guru-guru yang melayani pendidikan khusus untuk anak cacat. Kegiatan kelima merupakan solusi terhadap masalah SLB sekarang ini.

Kegiatan keenam, peningkatan kualitas latihan ketrampilan anak cacat dan menghantarkan anak pada latihan kerja. Kegiatan ketujuh, negosiasi dengan perusahaan-perusahaan dan badan usaha lainnya untuk dapat menerima tenaga kerja penyandang cacat lulusan SLTPLB dan SMLB sesuai dengan Undang-Undang No 4 tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah No 43 tahun 1998.

Kepedulian, perhatian dan pelayanan terhadap penyandang cacat tidak dapat timbul dengan sendirinya tanpa pertemuan, tanpa komunikasi, tanpa pergaulan yang terus-menerus dengan penyandnag cacat. Oleh karena itu berikan akses kepada mereka sehingga terjadi proses integrasi sosial antara penyandang cacat dengan yang tidak cacat.


the laterrs

Peran Pendidikan Inklusi Bagi Anak Berkelainan

Written by Hatta Harris Rahman

Oleh Drs Sukadari SE MM

Edisi 142

PENGERTIAN tentang Pendidikan Inklusi belum banyak disosialisasikan apalagi tentang bentuk Pelaksanaan dan Sistem Pendidikan tersebut, karena merupakan hal baru. Pendidikan Inklusi sebenarnya merupakan model Penyelenggaraan Program Pendidikan bagi anak berkelainan atau cacat dimana penyelenggaraannya dipadukan bersama anak normal dan tempatnya di sekolah umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga bersangkautan. Latar belakang mucnulnya pendidikan inklusi ini karena terbatasnya Sekolah luar Biasa (SLB) atau Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) yang masih sangat terbatas jumlahnya dan sebatas tempat tertentu yaitu baru di tingkat Kecamatan, itupun milik swasta, sementara yang SLB Negeri berada di tingkat Kabupaten.

Sementara menurut data Penyandang Cacar dari Direktorat PLB baru sekitar 5 % yang bersekolah. Hal ini terjadi karena lokasi SLB dan SDLB yang sulit dijankau karena terbatasnya jumlah sekolah yang ada.Oleh karena itu Pemerinntah mengambil kebijakan untuk menyelenggarakan Pendidikan Inklusi dengan tujuan memberikan kesempatan bagi anak untuk menngembangkan kemampuan yang dimiliki seoptimal mungkin.

Tidak kalah pentinganya adalah untuk memudahkan layanan pendidikan anak cacat yan keberadaannya menyebar di berbagai daerah pedesaaan atau pelosok yang tidak berkesempatan sekolah di SLB. Memberi kesempatan kepada anak cacat untuk berintegarasi dengan anak normal baik d dalam mengikuti pendidikan maupun adaptasi dengan lingkungannya sangat diperlukan, karena dasar dari pelaksanaan Pendidikan Inklusi sangat jelas yaitu UUD 1945, UU No. 29 Tahun 2003, juga dijelaskan pada UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacar, PP No. 72 Tahun 1991 tentang PLB dan SE Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003.

Dalam menangani anak berkelainan diperlukan keahlian tersendiri karena tidak semua aktivitas di sekolajh namun dapat diikuti oleh anak cacat, missal anak cacat netra tak mampu mengikuti pelajaran menggambar atau olah raga begitu pula anak tuna rungu sulit mengikuti pelajaran seni suara dan cacat yang lain perlu penanganan khusus karena keterbatasannya. Maka sangat diperlukan guru pembimbing khusus yang mampu memehami sekaligus menangani keberadaan anak cacat termasuk di dalamnya memahami karakter dari masing-masing jenis kecacatannya.

Di samping membutuhkan guru khusus, juga perlu membekali pengetahuan tentang karakter anak cacat terhadap guru umum, siswa yang normal maupun masyarakat sekitar dnegan harapan anak cacat tersbut dapat diperlalukan secara wajar.

Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi memang tidak sesederhana menyelenggarakan sekolah umum. Kenyataan di lapangan memerlukan sarana yang cukup, misalnya gedung sekolah dengan menyesuaikan kondisi anak. Peralatan pendidikan yang memadai, contoh bagi tuna netra perlu alat tulis Braille, tuna rungu perlu alat Bantu dengar, tuna daksa perlu kursi roda dan masih banyak lagi fasilitas yang harus disediakan dengan harapan anak cacat dapat berkembang kemampuannya secara optimal.

Mengingat mahalnya fasilitas yang harus disediakan maka sampai tahun 2005, di seluruh Indonesia baru ada 504 Sekolah Inklusi yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Sebenarnya cukup banyak sekolah regular yang mengajukan menjadi Sekolah Inklusi, yakni 1200 sekolah, sedang yang dilaksanakan baru 504 sekolah dan yang lain perlu dipelajari kesiapan karena konsekuensinya Pemerintah memebrikan subsidi Rp. 5 juta di setiap sekolah dan fasilitas lain sebagai penunjang kegiatan bagi anak yang cacat tersebut.

Keberadaan anak cacat (diffable) tak lepas dari peran serta tenaga ahli. APabila Pendidikan Inklusi benar-benar diselenggarakan secara ideal setiap sekolah harus ada, sebab tanpa pengawasan dan penanganan secara khusus dapat erakibat fatal. Suatu contoh : anak cerebral Palsy (jenis tuna dasa) perlu dokter syaraf, orthopedic dan psikolog, sebab anak seperti ini memerlukan ketenangan jiwa sehingga mampu menjaga kondisi yang prima. Belum lagi cacat yang lain.

Konsekuensi dari penyelenggaraan program ini harus embutuhkan biaya yang mahal, sehingga idealnya pemerintah mengambil peran agar benar-benar pendidikan ini dapat terlaksana dengan baik. Untuk menopang suksesnya penyelenggaraan Pendidikan Inklusi perlu kerjasama dengan semua pihak mengingat kemampuan Pemerintah untuk membantu masih sangat terbatas sementara anak cacat yang belum tertampung mengikuti pendidikan formal semakin banyak sehingga dapat menjadikan kendala suksesnya Wajar 9 Tahun.

Keterpaduan kerjasama sangat mendesak sehingga pemerintah tak perlu menunggu waktu lama dengan alasan dana pendidikan terbatas. Alokasi 20 % masih sangat jauh dan sebagainya. Namun, memfungsikan beberapa unsur terkait dapat mengalokasikan program ini. Apabila di sekolah-sekolah umum kekurangan guru khusus dapat mengangkat lulusan SGPLB dan S1 PLB atau mengoptimalkan guru-guru khusus di sekolah terpadu dengan system guru kunjung.

Tentang masalah tenaga ahli dapat kerjasama dengan puskesmas atau rumah sakit terdekat dengan cara menjalin kerjasama antara departemen atau institusi dengan diperluas adanya SKB (Surat keputasan Bersama) para pejabat pemerintah.

Pendidikan Inklusi dalam penyelenggaraannya memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pendidikan terpadu atau pendidikan khusus (segregasi) sehingga sangat tepat apabila pemerintah menyelenggarakan dan mengembangkan program ini.

Dengan diselenggarakannya pendidikan Inklusi bukan berarti SLB (Sekolah Luar Biasa), sekolah terpadu dan SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) ditutup, akan tetapi dijadikan mitra kerja yang baik dengan penyelenggaraan Sekolah Inklusi , bahkan kalau perlu dijadikan laboratorium sekolah dan nara sumber bagi guru0guru khusus yang mengajar di sekolah inklusi.

Munculnya sekolah inklusi karena memiliki beberapa keistimewaan antara lain : 1) keberadaan anak cacat diakui sejajar dengan anak normal; 2) lingkungan mengajarkan kebersamaan dan menghilangkan diskriminasi; 3) memberi kesan pada orang tua dan masyarakat bahwa anak cacat pun mampu seperti anak pada umumnya; 4) anak yang berkelainan akan belajar meerima dirinya sebagaimana adanya dan juga tidak menkadi asing lagi di lingkungannya; 5) aktivitas yang mungkin dapat diikuti anak cacat ada kesempatan untk berpartisipasi sehingga dapat menunjukkan kemampuannya di lingkungan anak normal; dan 6) membutuhkan pegangan diri yaitu dnegan belajar secara kompetitif, eksistensi anak caat akan teruji dalam persaingan secara sehat dengan anak pada umumnya.

Penyelenggaraan tersebut pada hakekatnya memebrikan kesempatan yang sama setiap peserta didik dalam mengikuti pendidikan denganSistem Persekolahan Reguler sesuai dengankebutuhan individunya tanpa membedakanlatar belakang agama, budaya, social, sekonomi maupun suku. Namun menngharap anak manusia yang berkualitas sekalipun cacat.

Sungguh merupakan harapan kita semua Program Penyelenggaraan Sekolah Inklusi ini dapat terlaksana dengan baik atas dasar kepedulian Pemerintah dan kepedulian kita bersama. ***

(Penulis adalah Dosen Negeri DPK pada STKIP Catur Sakti Yogyakarta,

Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan STKIP Catur Sakti Yogyakarta,

Mahasiswa S3 Prodi Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.)

http://www.madina-sk.com/index.php?option=com_content&task=view&id=812&Itemid=10

Baru 64.000 Anak Cacat Mendapat Pendidikan Khusus

Jakarta (ANTARA News) - Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi (YAB) Jakarta Ny RA Aryanto.

"Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu.

Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain.

"Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya.

Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembang dan memiliki keterampilan untuk mandiri.

Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.

Karena itu, dia menilai keliru jika ada masyarakat atau keluarga yang "malu" memiliki anak penyandang cacat, tapi perlu meberikan pelayanan yang sama dengan anak normal, seperti menyekolahkan ke SLB atau memberikan keterampilan tertentu.

Ny Aryanto menegaskan, YAB yang dipimpinnya bergerak menyelenggrakan pendidikan bagi anak tuna grahita di Jakarta yakni tanpa dikenakan biaya dari keluarga miskin, para anak tuna grahita mendapat pendidikan dan keterampilan, seperti menjahit dan pertukangan.

"Selain itu, anak tuna grahita dapat berprestasi bagus dalam olah raga, seperti dalam olimpide tuna grahita di Shanghai, Cina, 2007, tim Indonesia berhasil mendapatkan 9 medali emas dan 11 perak," katanya.

Pada HUT ke-50 YAB tersebut diisi lomba gerak jalan yang diikuti 300 anak tuna grahita dan 200 pembina, lomba olahraga futsal, pentas seni serta pameran hasil kerajinan anak tuna grahita se-Jakarta.(*)

http://www.antara.co.id/view/?i=1197779450&c=NAS&s=