Jumat, 14 Agustus 2009

Pengaruh Terapi Autis

PENGARUH TERAPI AUTIS TERHADAP KEMAJUAN ANAK AUTIS DI
SEKOLAH KHUSUS AUTISME DI KOTA PADANG
Rika Sabri,* Eti Yerizel,** Adisti Mira,***


Ringkasan

Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai
dengan gangguan dan keterlambatan dalam kognitif, bahasa, perilaku dan
interaksi sosial. Penyandang autisme mendapatkan terapi medikamentosa, terapi
biomedik, terapi wicara, terapi perilaku dan terapi okupasi untuk meminimalkan
gejala autisme. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian terapi
terhadap kemajuan anak autisme. Metode penelitian ini adalah eksperimen dan
menggunakan lembaran dan observasi. Pengambilan data dilakukan pada 40 orang
penderita autisme sekolah khusus autisme YPPA Parak Gadang dan Yayasan
BIMA dari bulan Juni- Agustus 2006. Hasil penelitian memperlihatkan dari 30
anak yang melakukan terapi perilaku dengan baik yang mengalami kemajuan 25
anak (83,3%), dari 27 anak yang melakukan terapi okupasi yang baik, ada 25 anak
(92,6%) yang mengalami kemajuan, dan dari 25 anak yang melakukan terapi
wicara yang baik ada 22 anak (88,0%) yang mengalami kemajuan. Berdasarkan
analisa statistik dengan derajat kemaknaan p<0,05 berarti pemberian terapi
perilaku, terapi okupasi dan terapi wicara berpengaruh terhadap kemajuan anak
autisme.

Kata kunci: autisme, terapi perilaku, terapi okupasi, terapi wicara

Summary
Autism is a pervasive development disorder in children that marked with
the existence of disturbance and delay in cognitive, language, behavior, and
social interaction ability. In order to minimize the autism symptoms, these
patients received medical, biomedical, behavioral, speech and occupational
therapy. The aim of this research is to observe the influence of therapy in the
children development. This Research method is an experiment study and using
research instruments and direct observation. Data collection from 40 children in
autism school of YPPA Parak Gadang and BIMA foundation from June until
August 2006. The result of this research, from 30 children whom received good
behavioral therapy, 25 children (83,3%) of them, showed some development, from
27 children who received good occupation therapy, 25 child ( 92,6%) of them
showed some development, and from 25 children who received good of speech
therapy 22 children (88,0%) of them showed some development. Based statistical
test with DF p<0,05, speech, occupational and behavior therapy accomplished a
significant development in these children

Key words: Autism, behavior therapy, occupational therapy, speech therapy





PENDAHULUAN

Angka kejadian autisme di Indonesia pada tahun 2003 telah mencapai 152-
per 10.000 anak (0,15-0,2%), meningkat tajam dibanding sepuluh tahun yang lalu
yang hanya 2-4 per 10.000 anak. Melihat angka tersebut, dapat diperkirakan di
lndonesia setiap tahun akan lahir lebih kurang 69000 anak penyandang autis
(Yanwar Hadiyanto, 2003). Hasil penelitian yang dilakukan Melly Budiman
(2001) memperlihatkan bahwa pada tahun 1987 penderita autisme 1/500 anak dan
tahun 2001 menjadi 1/150 anak. Di Sumatera Barat sendiri sampai saat ini belum
ada data resmi tentang penderita autisme. Tapi dari hasil survey yang dilakukan
pada 6 institusi yang menangani masalah autisme pada anak. Jumlah penderita
autisme yang ditangani di ke-6 institusi tersebut berjumlah 125 orang anak pada
tahun 2004.
Pertanyaan yang sering didengar adalah apakah anak dengan autisme
dapat sembuh?. Dapat dijawab bahwa autisme masih dapat ada harapan untuk
sembuh walaupun tidak sembuh secara total, karena ada kelainan pada otaknya.
Namun dapat diusahakan agar sel-sel otak yang yang masih baik dapat
mengambil alih dan berfungsi menggantikan sel yang rusak asal dilakukan
dengan cepat dan tepat dan dimulai sejak gejalanya masih ringan. Hal terpenting
yang mempengaruhi kemajuan anak autisme adalah deteksi dini yang diikuti oleh
penanganan yang tepat dan benar, serta intensitas terapi yang dijalani oleh anak
autisme. Jika keduanya dilakukan, anak dengan autisme masih mempunyai
harapan untuk lebih baik untuk dapat hidup mandiri dan bersosialisasi dengan
masyarakat yang normal. Semakin cerdas anak, semakin cepat kemajuannya
(Yanwar Hadiyanto, 2003).
Berbagai Jenis terapi telah dikembangkan untuk mengembangkan
kemampuan anak autisme agar dapat hidup mendekati normal seperti
medikamentosa, terapi biomedik, terapi perilaku, terapi wicara, terapi okupasi
(Bonny Danuatmaja, 2003). Tujuan terapi pada anak autisme adalah untuk
mengurangi masalah perilaku serta meningkatkan kemampuan belajar dan
perkembangannya, terutama dalam penggunaan bahasa. Tujuan ini dapat tercapai
dengan baik melalui suatu program terapi yang menyeluruh dan bersifat
individual (Ferizal Masra, 2003). Hal yang paling ditakuti jika anak tidak diterapi
adalah ketidak mampuan anak melakukan segala sesuatunya sendiri dengan kata
lain anak: tidak akan bisa mandiri seperti makan, minum, toileting, gasok gigi,
dan kegiatan-kegiatan lain (Y. Handoyo, 2003). Bahkan literature mengatakan
75% anak autisme yang tidak tertangani, akhimya menjadi tunagrahita (Clara
Westy, 2004).
Anak yang diberikan terapi tidak mempunyai target waktu yang
ditentukan, karena terapi dari anak autisme ini tidak mempunyai waktu yang pasti
dan terapi yang diberikan tergantung pada banyak hal seperti usia anak pada saat pertama
kali diterapi dan kemampuan terapis untuk memberikan terapi. Anak penyandang
autisme harus ditempa agar dapat hidup dan berkembang layaknya anak normal,
tetapi sejauh mana pemberian terapi dapat berpengaruh terhadap kemajuan anak
tersebut, belum pemah dilaporkan. Hal inilah yang sangat menarik sehingga
peneliti mencoba melakukan penelitian terhadap pengaruh terapi terhadap
kemajuan anak autisme khususnya di sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk
melihat apakah ada pengaruh pemberian terapi terhadap kemajuan anak autisme
di sekolah autisme di kota Padang.

METODE dan MATERIAL
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen yang melihat suatu gejala
atau pengaruh yang timbul sebagai akibat perlakuan tertentu. Desain
penelitiannya menggunakan rancangan pra-post test eksperimen (S.Notoatmodjo,
2002). Penelitian ini dilakukan di sekolah autisme YPPA Parak Gadang dan
Yayasan BIMA di kota Padang pada bulan Pebruari-September 2006.
Pengambilan data dimulai bulan Juni-Agustus 2006. Variabel indepanden
penelitian ini adalah terapi perilaku, terapi okupasi dan terapi wicara, sedangkan
variabel dependen-nya adalah kemajuan anak autisme.

Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak yang bersekolah di
sekolah autisme YPPA Parak Gadang dan Yayasan BlMA yang terdiagnosa
Autisme sebanyak 75 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah anak autisme
ringan dan sedang dengan jumlah 40 orang. Teknik pengambilan sampel adalah
dengan menggunakan total sampling kemudian diekslusi menjadi 40 orang.
Kriteria sampel untuk anak autis adalah anak dengan kategori autis ringan
sebanyak 21 orang dan autis sedang sebanyak 19 orang, jadi sampel untuk anak
autis sebanyak 40 orang. Kategori untuk anak dengan autis berat tidak
dimasukkan dengan jumlah 35 orang. Kriteria anak dengan autis berat di sekolah
ini adalah autisme ditambah dengan gangguan lain jadi anak mengalami
gangguan yang kompleks.

Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dengan menggunakan instrumen penelitian berupa pra
intervensi dan post intervensi dan diobservasi oleh peneliti. Sebelum dilakukan
intervensi, anak-anak autisme dilakukan test. Berdasarkan hasil test pra intervensi
akan dilakukan intervensi berupa latihan terapi untuk anak. Intervensi dilakukan
selama 6 minggu dan diakhir pertemuan, anak dilakukan tes kembali dengan
instrument yang sama dengan instrumen pre intervensi.
Instrumen penelitian yang digunakan pada anak autis terdiri dari terapi perilaku,
terapi wicara, terapi okupasi dengan menggunakan lembaran observasi cheklist
dengan bobot maksimal masing-masing terapi 10.
Pengolahan dan Analisa Data
Data yang terkumpul dilakukan pengolahan dengan perhitungan statistik
deskriptif untuk analisa univariatnya yaitu analisis distribusi frekwensi dengan
menggunakan rumus:
p = f x 100%
N
Keterangan :
p = presentase
f = Jumlah soal yang dijawab
N = Jumlah seluruh soal (Arikunto, 2000).


Analisa bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara dua variabel
independen dengan variabel dependen, untuk mengetahui hubungan antara kedua
variabel digunakan uji Chi-square dengan derajat kepercayaan 95 % ( p < 0,05 ),
pengolahan data dengan komputerisasi
Jika didalam sel ditemukan nilai E<5 maka analisa digunakan Fisher
Exact. Bila hasil analisa diperoleh nilai P<0,05 maka secara statistika disebut
bermakna dan jika nilai P>0,05 maka hasil penghitungan disebut tidak bermakna.

HASIL
Hasil penelitian ini didahului dengan karakteristik anak berdasarkan usia dan jenis
kelamin. Hasil yang diperoleh adalah golongan umur anak yang terbanyak kurang
dari 3 tahun (60%) dan usia lebih atau sama dengan 3 tahun sebanyak 40%. Anak
autisme yang berjenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 57,5 % dan
perempuan 42.3%.
Hasil perhitungan statistik deskriptif, jumlah anak yang mengalami kemajuan dari
terapi yang diberikan selalu meningkat untuk setiap terapi, jika dibandingkan
dengan pra intervensi. Hal lebih jelas dapat dilihat pada diagram dibawah:

19
21
30
10
15
25
27
13
19
21
25
15
0
5
10
15
20
25
30
jumlah
T. Peri laku T. Okupasi T. Wicara
Jenis Terapi
Grafik Perbandingan Hasil Penelitian Pre dan Post Intervensi
Terapi Autis di Sekolah Khusus Autisme di Kota Padang, Tahun
2006
Pre baik
Pre kurang
Post baik
Post kurang


Penelitian ini juga menggunakan analisa bivariat dengan pendekatan chi-square,
dengan tujuan melihat apakah berpengaruh intervensi yang dilakukan atau tidak
secara statistiknya. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada tabel perikut:

Tabel 1. Pengaruh Terapi Perilaku, Terapi Okupasi dan Terapi Wicara
terhadap Kemajuan Anak Autisme di Sekolah Autisme YPPA
Parak Gadang dan Yayasan BIMA Padang, Tahun 2006.

Tabel diatas menunjukkan bahwa dari 30 orang anak melakukan terapi perilaku
dengan baik, lebih setengahnya memperlihatkan kemajuan yaitu 25 orang
(83.3%), sedangkan yang melakukan terapi perilaku yang kurang baik hanya 4
orang (40%) memperlihatkan kemajuan. Tabel diatas juga memperlihatkan dari 27
responden yang melakukan terapi okupasi yang baik, hampir seluruhnya 25 orang
(92.6%) memperlihatkan kemajuan, sedangkan dari 13 responden yang
melakukan terapi okupasi yang kurang hanya 4 orang (30.8%) yang
memperlihatkan kemajuan. Terapi wicara juga dapat kita lihat pada tabel diatas,
dari 25 orang responden yang menjalani terapi wicara dengan baik, 22 orang
(88.0%) menunjukkan kemajuan sedangkan dari 15 orang responden yang
melakukan terapi wicara yang kurang hanya 7 orang (46.7%) yang
memperlihatkan kemajuan. Dari uji statistik diperoleh nilai yang bermakna yaitu
P = 0.014, 0,000 dan 0,009, dengan demikian ada pengaruh pemberian terapi
perilaku, terapi okupasi dan terapi wicara terhadap kemajuan anak autisme.

TERAPI
Kemajuan
F %

Nilai P Maju Tidak
F % F %
Terapi Perilaku
Baik 25 83.3 5 16.7 30 100 P =
0.014 Kurang 4 40.0 6 60.0 10 100
Terapi Okuasi
P =
0.000
Baik 25 92.6 2 7.4 27 100
Kurang 4 30.8 9 69.2 13 100
Terapi wicara
P =
0.009
Baik 22 88.0 3 12.0 25 100
Kurang 7 46.7 8 53.3 15 100
Jumlah 29 11 40 100
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan anak yang diintervensi secaraterus menerus
selama lebih kurang 6 minggu secara terstruktur memperlihatkan hasil yang baik.
Hal ini mungkin didukung oleh fasilitasi dalam menjalankan terapi dimana pada
saat anak diberikan terapi perilaku mereka mendapatkan satu ruangan perorang
sehingga anak bebas dari gangguan dari lingkungan sekitamya seperti bunyi-
bunyian. Ruangan yang tenang dapat membantu anak untuk menerima materi
dengan mudah karena lebih konsentrasi. Begitu juga dengan terapis lebih
konsentrasi menangkap kemajuan yang diperlihatkan oleh anak autisme.
Sebelum intervensi kondisi yang sama dengan sesudah intervensi, namun
ketidak teraturan anak datang kesekolah menyebabkan kemunduran terhadap
kemajuan anak, karena respon yang baik tidak diulang-ulang, tidak akan
menunjukkan kemajuan yang berarti. Hal ini sesuai dengan teori menurut Bonny
Danuatmaja (2003), bahwa pada saat pemberian terapi perilaku gangguan seperti
kebisingan bisa membuat anak tidak fokus dan kehilangan konsentrasi.
Anak yang melakukan terapi okupasi dengan baik sesudah intervensi 27
orang (67,5%) dan yang melakukan dengan kurang baik 13 orang (32,5%).
Sedangkan sebelum intervensi yang melakukan terapi okupasi baik 15 orang
(37,5%) dan yang kurang baik lebih setengahnya 25 orang (62.5%). Sama halnya
dengan terapi perilaku, pada terapi okupasi lebih banyak anak yang bisa
melakukan dengan baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh tekhnik dan
pengetahuan terapis dalam memberikan materi. Pada saat terapi okupasi dilakukan
terapis melatih keterampilan anak dengan suasana yang menyenangkan sambil
mengajak anak bermain sehingga membangkitkan minat anak untuk berlatih.
Terapi yang diberikan tidak terlalu lama tapi sering dan terapis akan
menghentikannya jika anak tampak bosan.
Sama halnya dengan dua terapi diatas pada terapi wicara hasil penelitian
menunjukkan perubahan setelah intervensi. Pada terapi wicara banyak juga anak
yang melakukan dengan baik, hal ini disebabkan oleh persiapan yang dilakukan
terapis untuk melakukan terapi, seperti mengajak anak berkomunikasi dengan
suasana yang menyenangkan bagi anak.

Pada tabel diatas, kemajuan dapat dilihat dari ketiga terapi (terapi perilaku,
terapi wicara dan terapi okupasi), yang mengalami kemajuan yaitu 29 orang
(72,5%). Hal ini mungkin disebabkan oleh metode yang diterapkan oleh sekolah
ini dimana metode yang diterapkan sistematis dan terukur. Kemampuan terapis
juga memegang peranan penting dalam mengoptimalkan terapi pada anak
autisme. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa anak yang mengalami kemajuan
ternyata lebih banyak dari golongan umur <3 tahun sehingga hal ini mungkin
mempercepat kemajuan anak. Menurut Y.Handoyo (2003), usia anak bisa
berpengaruh terhadap kemajuannya terutama untuk umur < 3 tahun karena pada
masa itu perkembangan otak paling cepat
Terapi perilaku merupakan salah satu terapi yang diberikan kepada
penyandang autisme dimana terapi ini difokuskan kepada kemampuan anak untuk
berespon terhadap lingkungan dan mengajarkan anak perilaku-perilaku yang
umum (Yanwar Hadiyanto, 2004). Pemberian terapi perilaku pada anak autisme,
dapat meningkatkan kemajuan terutama pada anak yang melakukan terapi ini
dengan baik. Hal ini bisa disebabkan oleh metode yang diterapkan dimana materi
yang diajarkan sistematik, terstruktur dan terukur, dimulai dari sistem one on one,
adanya prompt (bimbingan, model, arahan) kemudian respon yang benar akan
mendapatkan imbalan. Latihan yang dilakukan oleh terapis juga sangat
mendukung dimana latihan dilakukan dengan berulang-ulang sampai anak
berespon dengan sendiri tanpa prompt serta adanya evaluasi yang sesuai dengan
kriteria yang sudah dibuat (Y.Handoyo, 2003). Kemampuan terapis juga ikut
mendukung kemajuan dari anak autisme. Menurut Dyah Puspita (2004), salah
satu yang mempengaruhi keberhasilan kemajuan pada anak autisme adalah
kecerdasan anak. Dengan pemberian terapi yang baik dan kemampuan anak
dalam menangkap materi yang diajarkan akan dapat mengoptimalkan kemajuan
pada anak autisme.
Pada 10 anak yang melakukan terapi perilaku dengan kurang baik yang
memperlihatkan kemajuan hanya 4 orang (40%). Hal ini bisa saja disebabkan oleh
efek terapi yang lain yang diterima oleh anak autisme yaitu terapi medikamentosa
atau terapi obat-obatan. Anak autisme mendapatkan obat-obatan yang bekerja
pada susunan saraf pusat karena pada penyandang autisme adanya kelainan pada
otak mereka, contoh obat-obatan yang diberi adalah risperdal dan vitamin B6
(Pyridoksin) sehingga efek dan pengaruh obat yang mereka terima membuat anak
masih berada dalam keadaan yang sulit untuk fokus terhadap materi yang
diberikan (Y.Handoyo, 2003). Pemakaian obat yang tidak tepat bisa membuat
penyaluran informasi antar otak semakin kacau mengingat obat yang dipakai
adalah obat-obatan yang bekerja pada susunan saraf pusat (Agus Suryana, 2004).
Sama halnya dengan terapi perilaku ataupun dengan terapi wicara, terapi
inipun banyak anak yang mengalami kemajuan dimana hal tersebut bisa
disebabkan pad a saat akan dilakukan terapi okupasi anak terlebih dulu diberikan
terapi bermain dimana hal ini dilakukan untuk memberikan persiapan pada anak.
Menurut Bonny Danuatmaja (2004), pada latihan prevokasional yang merupakan
salah satu tahapan dari terapi okupasi dimana anak harus diberi peluang persiapan
untuk menghadapi tugas dan pekerjaan.
Pada beberapa anak yang tidak mengalami kemajuan pada saat dilakukan
terapi anak dalam keadaan emosi sehingga anak menarik diri. Salah satu tujuan
terapi okupasi yaitu diversional dimana kegiatan ini untuk menyalurkan emosi dan
kekesalan, sehingga walaupun anak marah pada situasi atau tekanan yang
dihadapi, anak tidak akan menarik diri dan mudah tersinggung (Y.Handoyo,
2003). Dalam memberikan terapi harus sesuai dengan kebutuhan anak dan
diusahakan anak memberikan reaksi yang baik terhadap stimulasi walaupun
bukan reaksi yang dituntut, melainkan dibimbing sesuai kebutuhan, kemampuan
dan tingkat perkembangan anak. Sedikit demi sedikit anak diberi aktivitas yang
lebih dapat mengembangkan proses pengolahan informasi sensorik yang lebih
baik (Bonny Danuatmaja, 2003).
Bagi penyandang autisme oleh karena semua penyandang autisme
mempunyai keterlambatan dalam bicara dan kesulitan dalam berbahasa, maka
terapi ini adalah suatu keharusan (Y.Handoyo, 2003). Terapi wicara yang
dilakukan pada anak autisme disekolah ini banyak yang memperlihatkan
kemajuan dimana hal ini bisa disebabkan oleh karena anak sudah pemah
mempunyai konsep pemahaman, konsep ujaran decoding (menerima atau
memberi tanggapan) dan encoding (memberi ransangan atau atau stimulus) sesuai
umumya (Bonny Danuatmaja, 2003).
Selain itu anak yang bisa mengikuti terapi ini dengan baik telah sampai
pada terapi symptomatic jadi pemahaman sudah lebih baik. Terapi symptomatic
merupakan tahapan dari terapi wicara dimana terapi ini bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan anak berbicara sesuai kemampuan sendiri atau
ekspresif (Bonny Danuatmaja, 2003). Pada beberapa anak yang tidak mengalami
kemajuan terapi wicara dimana hal ini bisa disebabkan oleh koordinasi otot mulut
yang tidak baik dan adanya gangguan di pusat bahasa pada otak anak sehingga
perkembangan bahasa dan wicaranya belum mempunyai konsep pemahaman dan
ujaran dan belum terhubungnya antara pusat pemahaman bahasa (area wemicke's)
dengan pusat motoriknya (area broca 's) (Agus Suryana, 2004).
Dari segi pendidikan, bahasa memiliki kedudukan penting dan mendasar
karena dengan memiliki kemampuan bahasa, anak akan mengerti dan memahami
materi yang disampaikan oleh orang lain dan akhimya mampu
mengoperasikannya (Dyah Puspita, 2003). Komunikasi akan lebih baik
didapatkan oleh anak apabila selain disekolah anak juga diajarkan berkomunikasi
dengan baik oleh keluarga.
Penelitian dari terapi perilaku, terapi wicara dan terapi okupasi
memperlihatkan bahwa anak yang melakukan terapi pada pra intervensi dengan
kurang baik ternyata masih bisa memperlihatkan kemajuan. Hal ini bisa
disebabkan oleh karena anak masih dalam kategori autis ringan, partsipasi
orangtua dalam memberikan terapi yang dilakukan dirumah juga ikut mendukung
dan tehnik serta keterampilan terapis dalam memberikan terapi pada anak autisme
sehingga materi bisa diterima dan dilakukan dengan baik.

KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian yang dilakukan tentang pengaruh pemberian terapi terhadap
kemajuan anak autisme dilakukan untuk meyakinkan keluarga dengan terapi
bahwa anak dengan autisme dapat disembuhkan dengan cara bertahap, sistematis
dan kesabaran. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang menunjukkan terjadinya
peningkatan kemampuan perilaku, okupasi dan wicara anak autisme yang
diintervensi selama l6 minggu. Sudah dapat dijawab bahwa ada pengaruh
pemberian terapi teerhadap kemajuan anak autisme. Anak yang melakukan terapi
Agar penelitian ini dapat bermanfaat dan dapat direkomendasikan pada pihak
yang berwenang dalam hal ini pemerintah, dan pihak pengelola sekolah, peneliti
menyarankan :
1. Bagi sekolah dan terapis sebaiknya waktu pelaksanaan terapi untuk anak
lebih ditingkatkan, agar kemajuan program terapi anak lebih optimal.
2. Pelaksanaan terapi yang terus menerus atau kontinu dapat diteruskan
keluarga (terutama ibu) di rumah.
3. Bagi Diknas sebaiknya melakukan pemantauan seperti monitoring yang
bersifar reguler ke sekolah-sekolah autisme sehingga pemberian terapi
tetap teratur dan sistematis.
4. Bagi mata ajar komunitas, dapat dilakukan intervensi terapi anak autis
sebagai salah satu sasaran kelompok khusus yang berisiko dengan
berkolaborasi dengan mata ajar keperawatan anak yang melihat
pertumbuhan dan perkembangan anak autisme.
5. Penting dilakukan penelitian lebih lanjut dengan tentang anak autisme
mengingat prevalensi autisme semakin meningkat belakangan ini seperti
pemberian diet yang tepat untuk anak autisme

∗ Ns. Rika Sabri, S.Kp.,M.Kes.,Sp.Kom Staf pengajar bagian keperawata
komunitas PSIK-FK Unand
** Dra. Eti Yerizel, MS : Staf pengejar FK Unand
*** Adisti Mira, S.Kep : Mahasiswa PSIK FK Unand












DAFTAR PUSTAKA


Arikunto, S. (1998). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi
Revisi Jakarta: EGC.
Budiman, Melly. (2001). Langkah Awal Menanggulangi Autisrne. Jakarta,
Nirmala
Danuatmaja, Bonny. (2003). Terapi Anak Autisme di Rumah. Jakarta, Swara
Puspa

Faisal Y. (2003) Autisme: Suatu gangguan jiwa pada anakanak. Pustaka
Popular Obor

Hadiyanto, Yanwar. (2004). Autisme. Diakses dan www.autism.society
org.2002 diakses kamis tanggal 09 Juni 2005
Handoyo, Y . (2003). Autisma. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2003
Nursalam. (2001), Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta: CV Infomedika
Notoatmodjo, Soekidjo. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi,
Rineka Cipta, Jakarta
Puspita,Dyah. (2003). Kiat Praktis Mempersiapkan dan Membantu Anak
Autis mengikuti Pendidikan di Sekolah Umum. Makalah Seminar
MANDIGA, 22 Maret 2003. Indosiar.
Soetadi, Rudy. (2004). Terapi Tata Laksana Autisme. Jakarta Yayasan Autisma
Indonesia.
Suryana, Agus. (2004). Terapi Autisme. Progress: Jakarta.

Tidak ada komentar: